Lima wartawan Al Jazeera tewas dalam serangan udara Israel di tenda mereka di Kota Gaza, Palestina, pada hari Minggu (10/8/25).
Ceknricek.com — Lima wartawan Al Jazeera tewas dalam serangan udara Israel di tenda mereka di Kota Gaza, Palestina, pada hari Minggu (10/8/25). Mereka terdiri dari dua koresponden, seorang reporter terkemuka, dan tiga juru kamera.
Militer Israel, dalam sebuah pernyataan, mengakui telah menargetkan Anas Al-Sharif, reporter terkemuka Al Jazeera yang dicap rezim Zionis sebagai “teroris” yang berafiliasi dengan Hamas. Serangan udara ini merupakan pengeboman terbaru yang menargetkan jurnalis dalam perang 22 bulan di Gaza.
Sudah sekitar 200 pekerja media tewas selama perang tersebut. “Jurnalis Al Jazeera Anas al-Sharif tewas bersama empat rekannya dalam serangan terarah Israel terhadap sebuah tenda yang menampung jurnalis di Kota Gaza,” bunyi siaran televisi Al Jazeera yang berbasis di Qatar, Senin (11/8/25).
“Al-Sharif, 28, tewas pada hari Minggu setelah sebuah tenda jurnalis di luar gerbang utama rumah sakit diserang.
Koresponden Al Jazeera berbahasa Arab yang terkenal itu dilaporkan telah melakukan perjalanan jauh dari Gaza utara,” lanjut siaran tersebut. Siaran itu juga mengatakan empat awak media Al Jazeera lainnya yang tewas dalam serangan Zionis Israel adalah Mohammed Qreiqeh, Ibrahim Zaher, Mohammed Noufal, dan Moamen Aliwa.
Militer Israel mengonfirmasi bahwa mereka telah melakukan serangan tersebut, dengan mengatakan bahwa serangan tersebut menghantam Al-Sharif dari Al Jazeera dan menyebutnya sebagai “teroris” yang “menyamar sebagai jurnalis”.
“Beberapa waktu lalu, di Kota Gaza, IDF [Pasukan Pertahanan Israel] menyerang teroris Anas Al-Sharif, yang menyamar sebagai jurnalis jaringan Al Jazeera,” demikian pernyataan IDF di Telegram. “Anas Al-Sharif menjabat sebagai kepala sel teroris di organisasi teroris Hamas dan bertanggung jawab atas serangan roket terhadap warga sipil Israel dan pasukan IDF,” imbuh pernyataan tersebut.
Al-Sharif adalah salah satu wajah paling dikenal di saluran tersebut yang bekerja di lapangan di Gaza, memberikan laporan harian dalam liputan rutin. Setelah konferensi pers oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu pada hari Minggu, di mana pemimpin Zionis itu membela persetujuannya terhadap serangan baru di Gaza, Al-Sharif mengunggah pesan di X yang menggambarkan “pengeboman Israel yang intens dan terkonsentrasi” di Kota Gaza.
Salah satu pesan terakhirnya termasuk video pendek yang menunjukkan serangan Israel di dekatnya yang menghantam Kota Gaza. Pada bulan Juli, Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) mengeluarkan pernyataan yang menyerukan perlindungannya karena juru bicara militer Israel berbahasa Arab, Avichay Adraee, meningkatkan serangan daring terhadap reporter tersebut dengan menuduhnya sebagai “teroris” Hamas.
Setelah serangan tersebut, CPJ mengatakan pihaknya terkejut mengetahui kematian para jurnalis Al Jazeera. “Pola Israel melabeli jurnalis sebagai militan tanpa memberikan bukti yang kredibel menimbulkan pertanyaan serius tentang niat dan penghormatannya terhadap kebebasan pers,” kata Direktur Regional CPJ, Sara Qudah, yang dilansir AFP. “Jurnalis adalah warga sipil dan tidak boleh menjadi sasaran.
Mereka yang bertanggung jawab atas pembunuhan ini harus dimintai pertanggungjawaban,” paparnya. Sindikat Jurnalis Palestina mengutuk apa yang mereka sebut sebagai “kejahatan berdarah” Israel berupa pembunuhan. Israel dan Al Jazeera telah menjalin hubungan yang penuh pertikaian selama bertahun-tahun. Otoritas Zionis melarang saluran tersebut di Israel dan menggerebek kantor-kantornya setelah perang terbaru di Gaza.
Qatar, yang sebagian mendanai Al Jazeera, telah menjadi kantor bagi pimpinan politik Hamas selama bertahun-tahun dan sering menjadi tempat perundingan tidak langsung antara Israel dan kelompok perlawanan Palestina tersebut. Dengan ditutupnya Gaza, banyak kelompok media di seluruh dunia bergantung pada liputan foto, video, dan teks tentang konflik yang disediakan oleh para wartawan Palestina.
Organisasi pengawas media Reporters Without Borders (RSF) mengatakan pada awal Juli bahwa lebih dari 200 wartawan telah tewas di Gaza sejak perang Gaza dimulai, termasuk beberapa wartawan Al Jazeera. Kritik internasional semakin meningkat atas penderitaan lebih dari dua juta warga sipil Palestina di Gaza, dengan badan-badan PBB dan kelompok-kelompok hak asasi manusia memperingatkan bahwa kelaparan sedang terjadi di wilayah tersebut.
Serangan terarah ini terjadi ketika Israel mengumumkan rencana untuk memperluas operasi militernya di Gaza. Netanyahu mengatakan pada hari Minggu bahwa serangan baru tersebut akan menargetkan sisa benteng Hamas di sana. Dia juga mengumumkan rencana untuk mengizinkan lebih banyak jurnalis asing untuk meliput di Gaza bersama militer, sebagaimana yang dia sampaikan dalam visinya untuk meraih kemenangan di wilayah tersebut.
Seorang pejabat PBB memperingatkan Dewan Keamanan bahwa rencana Israel untuk menguasai Kota Gaza berisiko menimbulkan “bencana lain” dengan konsekuensi yang luas. “Jika rencana ini dilaksanakan, kemungkinan besar akan memicu bencana lain di Gaza, yang akan menggema di seluruh wilayah dan menyebabkan pengungsian paksa, pembunuhan, dan kehancuran lebih lanjut,” ujar Asisten Sekretaris Jenderal PBB Miroslav Jenca kepada Dewan Keamanan.