Kemerdekaan tidak hanya berarti terbebas dari penjajahan asing, tetapi juga terbebas dari ketidakadilan sosial, kemiskinan struktural, dan praktik penyalahgunaan kekuasaan.
Oleh Chappy Hakim
Ceknricek.com–Tepat hari ini Republik Indonesia telah mencapai usia 80 tahun kemerdekaan yaitu pada 17 Agustus 2025. Angka ini tidak hanya simbolik, melainkan juga momentum untuk melakukan refleksi mendalam. Sejauh mana perjalanan bangsa telah sejalan dengan cita-cita kemerdekaan yakni melindungi segenap bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mewujudkan keadilan sosial?
Fakta di lapangan menunjukkan masih adanya masalah fundamental antara lain komunikasi yang tidak terbangun antara pemerintah dengan rakyat, visi jangka panjang yang kabur, serta jurang antara elite dan masyarakat. Usia 80 tahun seharusnya menandakan kedewasaan sebuah bangsa. Namun, tanpa perencanaan jangka panjang dan kepemimpinan yang konsisten, kemerdekaan dapat kehilangan makna substansialnya.
Refleksi ini menjadi semakin mendesak jika kita melihat perjalanan bangsa-bangsa lain yang seusia atau seangkatan dengan Indonesia. India, misalnya, memanfaatkan usianya untuk membangun fondasi demokrasi parlementer yang relatif stabil serta perencanaan pembangunan lima tahunan yang konsisten.
Korea Selatan, yang pada dekade 1960-an jauh tertinggal, berhasil bertransformasi menjadi kekuatan industri dan teknologi dunia berkat visi pembangunan jangka panjang yang tidak terputus oleh pergantian rezim. Jepang pun, melalui konsistensi modernisasi pasca restorai Meiji dan Perang Dunia II, mampu menunjukkan bahwa usia sebuah bangsa hanya bermakna jika diiringi dengan arah yang jelas dan konsistensi dalam pelaksanaannya.
Indonesia, di sisi lain, masih berhadapan dengan persoalan mendasar berupa lemahnya institusi, ketidakadilan pembangunan antarwilayah, serta praktik politik yang sering lebih berorientasi pada kekuasaan jangka pendek daripada kepentingan rakyat banyak. Akibatnya, meskipun kemerdekaan telah berusia delapan dekade, bangsa ini masih kerap dan tetap terjebak dalam pertanyaan elementer ke mana sebenarnya arah Indonesia?
Pertanyaan ini tidak hanya akademik, melainkan juga eksistensial, sebab menyangkut kelangsungan cita-cita kemerdekaan itu sendiri. Selain itu, perlu disadari bahwa usia 80 tahun bagi sebuah bangsa adalah momentum kritis untuk menentukan apakah ia mampu melangkah menuju fase kematangan atau justru terperangkap dalam lingkaran krisis yang berulang.
Di satu sisi, Indonesia memiliki potensi besar dalam sumber daya alam yang melimpah, posisi geopolitik strategis, serta jumlah penduduk yang produktif. Namun di sisi lain, tanpa visi yang terarah dan kepemimpinan yang kuat, potensi itu bisa berubah menjadi beban.
Refleksi 80 tahun kemerdekaan harus mampu mengubah arah perjalanan bangsa agar tidak sekadar menjadi sebuah perayaan seremonial dengan ritual lomba makan kerupuk, lari karung dan adu tarik tali, melainkan titik balik menuju masa depan yang lebih adil, sejahtera, dan bermartabat.
Krisis Kepercayaan dan Kontrak Sosial yang Renggang
Sementara itu di dalam negeri, publik dikejutkan oleh kisah-kisah tentang elite yang menikmati fasilitas luar biasa. Komisaris BUMN yang hanya bekerja sebulan sekali disebut-sebut menerima bonus hingga Rp40 miliar.¹
Anggota DPR dan pejabat eksekutif memperoleh take home pay besar sekali, sementara rakyat menghadapi harga kebutuhan pokok yang kian memberatkan. Kasus penemuan uang puluhan miliar rupiah di rumah pejabat publik memperburuk citra negara.
Di sisi lainnya bayang bayang kenaikan berbagai macam pajak terus berkembang hari demi hari. Harus di ingat dan direnungkan selalu apa yang pernah di lontarkan oleh para pemikir ilmu politik sejak puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu. Jean-Jacques Rousseau menekankan bahwa negara lahir dari kontrak sosial antara rakyat dan penguasa. Ketika keadilan tidak terwujud, kontrak sosial dianggap gagal.
Demikian pula John Rawls menegaskan pula bahwa prinsip justice as fairness menuntut keberpihakan pada kelompok lemah. Dalam hal ini, fakta kesenjangan pembangunan antara Jawa dan luar Jawa bisa saja menjadi bukti lemahnya implementasi prinsip keadilan sosial di Indonesia.
Ancaman Perpecahan Nasional
Ketidakadilan pembangunan berpotensi menimbulkan ancaman disintegrasi. Samuel Huntington dalam Political Order in Changing Societies menyatakan bahwa negara-negara yang gagal mengelola keadilan sosial dan tidak memiliki institusi yang kuat cenderung menghadapi instabilitas politik. Kita perlu hati hati bahwasanya Indonesia kini berada dalam posisi rawan apabila ketidakadilan yang tengah berlangsung tidak segera diatasi.
Perbandingan Global, belajar dari negara lain
India (akan berusia 80 Tahun pada 2027). India, yang merdeka pada 1947, berhasil menyusun Five-Year Plans sejak 1951. Meski penuh tantangan politik dan etnisitas, India mampu menjaga konsistensi pembangunan jangka panjang. Hasilnya, India kini menjadi salah satu pusat teknologi dunia, memiliki kelas menengah yang tumbuh pesat, dan mampu bersaing dalam ekonomi global.
Korea Selatan (usia 80 Tahun pada 2028). Korea Selatan, yang merdeka pada 1948, pada dekade 1960-an adalah salah satu negara termiskin di Asia. Namun berkat konsistensi long-term planning, fokus pada pendidikan, industrialisasi, dan teknologi, Korea Selatan menjelma menjadi kekuatan global. National identity yang kuat berbasis disiplin dan kolektivitas alias kebersamaan menjadi energi pembangunan bangsa yang kokoh.
Jepang (80 Tahun Pasca Restorasi Meiji & Pasca-Perang Dunia II). Jepang memberi contoh bagaimana perencanaan jangka panjang bisa mengubah wajah sebuah bangsa. Restorasi Meiji (1868) menandai modernisasi militer, industri, dan pendidikan Jepang. Sementara delapan dekade setelah itu, Jepang menjadi kekuatan militer dan industri yang besar di Asia.
Tidak berhenti disitu, setelah Perang Dunia II, Jepang kembali membangun dengan konsistensi luar biasa. Delapan puluh tahun setelah 1945, Jepang tampil sebagai salah satu kekuatan ekonomi terbesar dunia. Strategi pembangunan mereka terfokus pada modernisasi industri, pendidikan teknologi dan etos kerja nasional. Hasilnya, Jepang bukan hanya maju secara ekonomi, tetapi juga berhasil menjaga kohesi sosial sebagai bangsa yang bermartabat.
Indonesia, Jalan yang Belum Tersusun
Jika dibandingkan dengan India, Korea Selatan, dan Jepang, Indonesia tertinggal dalam hal konsistensi perencanaan. Rencana pembangunan kerap terhenti atau berubah haluan setiap pergantian pemerintahan. Elite politik lebih sibuk dengan agenda kekuasaan daripada mewariskan grand design pembangunan lintas generasi. Para elit belakangan ini terjebak dalam visi lingkaran 5 tahunan yaitu siklus pilkada dan pilpres belaka.
Menuju Kedewasaan Bangsa
Refleksi 80 tahun kemerdekaan harus menjadi momentum korektif. Indonesia harus membangun visi jangka panjang yang konsisten, terlepas dari dinamika politik lima tahunan. Negara juga perlu membangun komunikasi jujur dengan rakyat, agar kepercayaan dapat dipulihkan. Belajar dari India, Korea Selatan, dan Jepang, Indonesia harus menyadari bahwa konsistensi visi pembangunan lebih penting daripada retorika politik. Hanya dengan itu cita-cita kemerdekaan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dapat tercapai.
Lebih jauh, kemerdekaan tidak hanya berarti terbebas dari penjajahan asing, tetapi juga terbebas dari ketidakadilan sosial, kemiskinan struktural, dan praktik penyalahgunaan kekuasaan. Indonesia harus menegakkan kedaulatan moral di kalangan elite, sebab tanpa teladan kepemimpinan yang bersih dan berintegritas, kepercayaan rakyat tidak akan pernah ada. Good governance harus menjadi pijakan, bukan sekadar jargon belaka.
Selain itu, 80 tahun kemerdekaan adalah saat yang tepat untuk membangun konsensus nasional baru: sebuah kesepahaman lintas partai, lintas rezim, dan lintas generasi tentang arah pembangunan bangsa. Tanpa konsensus itu, Indonesia akan terus terombang-ambing oleh siklus politik jangka pendek.
Dengan konsensus, Indonesia dapat menyusun peta jalan pembangunan yang mengikat semua aktor politik, sehingga cita-cita jangka panjang bangsa tidak dikorbankan demi kepentingan partai politilk semata.
Akhirnya, bangsa ini harus berani menjawab pertanyaan fundamental: ke manakah Indonesia menuju setelah 80 tahun merdeka? Jawaban yang tulus, transparan, dan konsisten dari pertanyaan ini akan menentukan apakah Indonesia benar-benar akan memasuki fase kedewasaan sebagai sebuah negara merdeka, atau justru terjebak dalam lingkaran krisis yang menggerogoti cita-cita proklamasi. Hanya dengan keberanian mereformasi diri, bangsa ini akan mampu mewujudkan makna sejati dari kemerdekaan: kehidupan yang adil, sejahtera, dan bermartabat bagi seluruh rakyatnya.
Daftar Pustaka
- Fukuyama, Francis. Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity. New York: Free Press, 1995.
- Huntington, Samuel P. Political Order in Changing Societies. New Haven: Yale University Press, 1968.
- Jansen, Marius B. The Making of Modern Japan. Cambridge: Harvard University Press, 2000.
- Johnson, Chalmers. MITI and the Japanese Miracle. Stanford: Stanford University Press, 1982.
- Rawls, John. A Theory of Justice. Cambridge: Harvard University Press, 1971.
- Rousseau, Jean-Jacques. The Social Contract. London: Penguin Classics, 1968 (edisi terjemahan).
- Woo-Cumings, Meredith (ed.). The Developmental State. Ithaca: Cornell University Press, 1999.
- Planning Commission of India. Five-Year Plans of India. Government of India, 1951–2017.
- Berbagai sumber berita nasional, 2023–2025.
Jakarta 17 Agustus 2025
Chappy Hakim