Pembangunan kapasitas kelembagaan dan keberanian politik menjadi syarat mutlak untuk keluar dari jebakan ketergantungan ini.
Penulis: Chappy Hakim
Ceknricek.com–Pendelegasian wilayah udara Indonesia kepada otoritas penerbangan Singapura selama 25 tahun ke depan menimbulkan perdebatan serius terkait makna kedaulatan negara dalam era modern. Artikel ini menganalisis kebijakan tersebut dalam kerangka teori ilmu politik, terutama melalui pendekatan realisme, dependencia, dan teori negara lemah. Analisis menunjukkan bahwa kebijakan ini mencerminkan dilema antara pertimbangan teknokratis dengan substansi kedaulatan negara yang bersifat absolut dalam hukum internasional. Kajian ini merekomendasikan agar negara membangun kapasitas kelembagaan dan teknis guna memperkuat otonomi dalam pengelolaan wilayah strategisnya sendiri.
Kedaulatan negara merupakan prinsip fundamental dalam teori dan praktik politik internasional. Dalam Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 ditegaskan bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif atas ruang udara di atas wilayah teritorialnya. Namun, realitas politik dan teknokratis sering kali menciptakan celah antara prinsip tersebut dan implementasi konkret di lapangan. Perjanjian Indonesia–Singapura tahun 2022 mengenai delegasi pengelolaan Flight Information Region (FIR) di atas Kepulauan Riau dan Natuna selama 25 tahun merupakan contoh yang relevan. Di satu sisi, perjanjian tersebut secara simbolik mengakui bahwa wilayah udara tersebut berada di bawah kedaulatan Republik Indonesia. Namun di sisi lain, otoritas pengelolaan operasional tetap berada di tangan Singapura.
Dari perspektif politik, hal ini menyentuh pertanyaan fundamental: apakah Indonesia sedang menjalankan strategi diplomasi pragmatis atau justru memperlihatkan karakteristik negara lemah yang tunduk pada tekanan atau ketergantungan struktural?
Realisme dan Kedaulatan Strategis
Dalam kerangka realisme klasik, negara dipandang sebagai aktor utama dalam sistem internasional yang anarkis, yang bertindak untuk menjaga kelangsungan hidup (survival) dan mengejar kepentingan nasionalnya secara rasional. Menurut Hans J. Morgenthau, “kepentingan nasional yang didefinisikan sebagai kekuasaan adalah kategori objektif yang berlaku untuk semua negara”¹. Dengan kata lain, kontrol atas wilayah strategis seperti ruang udara bukan hanya persoalan teknis, tetapi inti dari kekuasaan negara. Pendelegasian wilayah udara Ex FIR Singapura, dari perspektif realisme, dapat dianggap sebagai pengurangan daya tawar strategis Indonesia dalam mengatur ruang udara yang sensitif secara geopolitik, terutama karena lokasinya yang berdekatan dengan Laut Cina Selatan, wilayah yang menjadi titik panas konflik regional.
Teori Dependencia dan Ketimpangan Struktural
Teori dependencia, yang berkembang di Amerika Latin melalui pemikir seperti Theotonio Dos Santos dan Fernando Henrique Cardoso, menekankan bahwa ketimpangan global tidak hanya terjadi dalam bentuk ekonomi, tetapi juga dalam penguasaan teknologi, kelembagaan, dan infrastruktur strategis². Ketika negara berkembang bergantung pada negara maju untuk pengelolaan sektor-sektor vitalnya, maka kedaulatan yang dimilikinya bersifat semu. Dalam kasus pendelegasian wilayah udara Ex FIR Singapura, alasan yang sering dikemukakan oleh pemerintah Indonesia adalah keterbatasan teknis dan kapasitas kelembagaan. Singapura dianggap lebih mampu mengelola wilayah udara padat lalu lintas, sehingga atas dasar efisiensi dan keselamatan penerbangan sipil internasional, pengelolaan diserahkan kembali. Pandangan ini justru memperkuat posisi Singapura sebagai pusat kendali regional dan memperdalam ketergantungan struktural Indonesia dalam aspek dirgantara.
Negara Lemah dan Kapasitas Institusional
Joel S. Migdal dalam teorinya tentang negara lemah (weak states) menyatakan bahwa negara dikatakan lemah apabila tidak mampu mempertahankan otoritasnya di seluruh wilayah atau gagal menjalankan fungsi-fungsi utamanya secara efektif³. Delegasi pengelolaan FIR kepada negara lain adalah bukti terbatasnya kapasitas institusional negara dalam mengelola aspek strategis tertentu, dalam hal ini pengendalian ruang udara nasional. Walaupun pemerintah menyatakan bahwa perjanjian Indonesia Singapura adalah bentuk pengakuan atas kedaulatan udara Indonesia, namun pengakuan tanpa kemampuan aktual untuk mengelola tetap memperlihatkan kelemahan dalam kapasitas negara. Ini adalah ilustrasi klasik dari negara yang secara hukum berdaulat, tetapi secara praktis tergantung pada pihak lain dalam pelaksanaan fungsi kenegaraan.
Konstruktivisme dan Reformulasi Identitas Negara
Sebaliknya, pendekatan konstruktivisme dalam ilmu politik memberikan ruang bagi transformasi identitas dan kapasitas negara melalui rekonstruksi normatif dan kebijakan publik. Menurut Alexander Wendt, identitas negara tidak bersifat statis, tetapi dibentuk melalui interaksi sosial dan institusional⁴. Maka, Indonesia dapat membalik keadaan ini dengan membangun state capacity melalui investasi infrastruktur navigasi, pelatihan SDM, dan diplomasi aktif di ICAO untuk mengajukan evaluasi ulang FIR.
Demikianlah Perjanjian Indonesia–Singapura tahun 2022 tentang pendelegasian wilayah udara Ex FIR Singapura bukan hanya kesepakatan teknis, melainkan cermin dari relasi kekuasaan dalam sistem internasional. Dari perspektif ilmu politik, kebijakan tersebut memperlihatkan keterbatasan dalam mempertahankan prinsip kedaulatan penuh yang dijamin dalam hukum internasional. Teori realisme, dependencia, dan negara lemah menjelaskan bahwa tanpa kapasitas operasional yang kuat, kedaulatan akan kehilangan makna substantifnya. Oleh karena itu, pembangunan kapasitas kelembagaan dan keberanian politik menjadi syarat mutlak untuk keluar dari jebakan ketergantungan ini. Jika tidak, maka kedaulatan kita akan terus berada dalam posisi simbolik, diakui tetapi tidak pernah sepenuhnya dikendalikan.
Daftar Pustaka
- Morgenthau, Hans J. Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace. New York: Alfred A. Knopf, 1948.
- Dos Santos, Theotonio. “The Structure of Dependence,” The American Economic Review, Vol. 60, No. 2, 1970.
- Migdal, Joel S. Strong Societies and Weak States: State-Society Relations and State Capabilities in the Third World. Princeton: Princeton University Press, 1988.
- Wendt, Alexander. “Anarchy is What States Make of It: The Social Construction of Power Politics,” International Organization, Vol. 46, No. 2 (Spring 1992), pp. 391–425.
- ICAO. Chicago Convention on International Civil Aviation. Doc 7300, 9th Edition, 2006.
- Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
Jakarta 18 Juli 2025
Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia