Close Menu
CEK&RICEKCEK&RICEK
  • Home
  • Headline
  • Berita
    • AKTIVITAS PRESIDEN
    • AKTIVITAS KEPALA DAERAH
    • AKTIVITAS MENTERI
    • POLITIK
    • JURNALISTIK
    • BREAKING NEWS
    • LINGKUNGAN HIDUP
    • KESEHATAN
    • BISNIS INDUSTRI
    • EKONOMI & BISNIS
    • HUKUM
    • SOSIAL BUDAYA
    • INTERNASIONAL
    • OLAHRAGA
  • Pengetahuan
    • SOSOK
    • SEJARAH
    • BIOGRAFI
    • BUKU & LITERATUR
    • TEKNOLOGI & INOVASI
    • RISET & DUNIA KAMPUS
  • ENTERTAINMENT
    • FASHION & BEAUTY
    • FILM & MUSIK
    • SELEBRITI
    • KOMUNITAS
    • FOOD REVIEW
    • WISATA
    • DUNIA KESEHATAN
    • SENI & BUDAYA
    • PARENTING & KIDS
    • TIPS & TRIK
    • TEATER
  • Opini
Tentang Kami Kontak Kami
  • APP STORE
  • GOOGLE PLAY
Facebook X (Twitter) Instagram YouTube
CEK&RICEKCEK&RICEK
Trending:
  • Konser “The Musical Journey Of” 40 Tahun Dwiki Dharmawan Berkarya
  • Dokter Ayu Hadiri Upacara Penurunan Bendera HUT ke-80 RI di Istana Negara
  • Pajak Picu Rakyat Bergolak
  • Rayakan Semangat Kemerdekaan, AQUA Elektronik Hadirkan Mall Exhibition
  • Kalahkan VfB Stuttgart 2-1, Bayern Muenchen Juara Piala Super Jerman 2025
Facebook X (Twitter) Instagram YouTube
  • Home
  • Headline
  • Berita
    • AKTIVITAS PRESIDEN
    • AKTIVITAS KEPALA DAERAH
    • AKTIVITAS MENTERI
    • POLITIK
    • JURNALISTIK
    • BREAKING NEWS
    • LINGKUNGAN HIDUP
    • KESEHATAN
    • BISNIS INDUSTRI
    • EKONOMI & BISNIS
    • HUKUM
    • SOSIAL BUDAYA
    • INTERNASIONAL
    • OLAHRAGA
  • Pengetahuan
    • SOSOK
    • SEJARAH
    • BIOGRAFI
    • BUKU & LITERATUR
    • TEKNOLOGI & INOVASI
    • RISET & DUNIA KAMPUS
  • ENTERTAINMENT
    • FASHION & BEAUTY
    • FILM & MUSIK
    • SELEBRITI
    • KOMUNITAS
    • FOOD REVIEW
    • WISATA
    • DUNIA KESEHATAN
    • SENI & BUDAYA
    • PARENTING & KIDS
    • TIPS & TRIK
    • TEATER
  • Opini
CEK&RICEKCEK&RICEK
  • Home
  • Headline
  • Berita
  • Pengetahuan
  • ENTERTAINMENT
  • Opini
Home»Opini
Opini

Pajak Picu Rakyat Bergolak

Agustus 18, 20254 Mins Read
Foto: Istimewa
Ketika rumah sederhana yang tidak menghasilkan sepeser pun keuntungan tiba-tiba dikenai PBB puluhan juta, wajar jika rakyat merasa diperlakukan bukan sebagai warga negara, melainkan ladang perahan.

Oleh: Ahmadie Thaha

Ceknricek.com–Pagi itu di Kota Cirebon, Kang Falah — pensiunan guru yang hidup damai bersama pohon mangga di halaman — mendadak pucat pasi. Di tangannya, selembar surat tagihan Pajak Bumi dan Bangunan. Angkanya tidak lagi enam jutaan seperti tahun-tahun lalu.

Kali ini tertulis Rp 63 juta. Kang Falah mengucek mata, takut salah baca. Mungkin ini nota cicilan kapal pesiar atau tagihan hotel bintang lima di Dubai. Tapi tidak, ini PBB rumahnya sendiri, rumah yang gentingnya lebih tua dari walikotanya.

Ternyata, Kang Falah bukan satu-satunya. Fenomena ini menyebar seperti wabah fiskal. Di Pati, kenaikan PBB mencapai 250%, di Jombang, Jeneponto, Solo, dan Semarang 400%, Bone dan Malang 300%, Banyuwangi “lebih sopan” hanya 20%.

Kenaikan pajak bumi dan bangunan di Cirebon malah menembus sampai 1.000%. Kalau ini bukan kenaikan, namanya teleportasi tarif pajak. Dan ini barulah data yang terkuak; bisa jadi 90% daerah di Indonesia sedang memainkan nada yang sama.

Dampaknya tidak sekadar angka di kertas. Di Pati, protes berubah menjadi demonstrasi besar, korban berjatuhan. Di Jombang, kantor Pemda digeruduk massa. Rakyat Cirebon sudah panas dipicu demo besar rakyat Pati yang berhasil menggoyahg kursi bupatinya.

Bupati Jombang, Warsubi, lebih terbuka menyebut sumber masalah. Ia mengakui bahwa kenaikan itu bukan kemauan sendiri, melainkan hasil rekomendasi pemerintah pusat melalui Kemendagri dan Kemenkeu, bahkan dengan ancaman sanksi jika kepala daerah menolak.

Jadi kepala-kepala daerah di sini ibarat operator pompa bensin. Mereka menunggu sinyal pusat, lalu memutar tuas. Hanya saja, masalahnya, yang naik bukan harga BBM, melainkan harga bertahan hidup di rumah sendiri.

Sejarah dunia, termasuk Indonesia, mencatat bahwa pajak yang mencekik hampir selalu menjadi titik awal gejolak rakyat. Kebijakan pajak yang menekan rakyat kerap menjadi sumbu pemberontakan, dari Revolusi Amerika hingga Perang Diponegoro dan pemberontakan Banten.

Pada masa VOC dan Hindia Belanda, pajak tanah dan hasil bumi memicu Perang Diponegoro (1825–1830) yang menelan ratusan ribu korban. Di Banten, 1888, pajak kepala dan kerja paksa menyalakan pemberontakan petani. Di Aceh, pajak upeti menjadi bara yang mengobarkan perang panjang melawan Belanda.

Bahkan, Boston Tea Party (1773) di Amerika Serikat memicu Revolusi AS hanya gara-gara pajak teh. Pemberontakan Petani di Inggris (1381) meletus karena pajak kepala yang memberatkan. Polanya tak berubah: ketika negara menjadikan rakyat sapi perah fiskal, rakyat akhirnya memilih menjadi banteng perlawanan.

Ibnu Khaldun, sejarawan dan filsuf Muslim terkemuka, pada abad ke-14 telah menulis siklus ini dalam kitab karyanya, al_Muqaddimah. Ia menarik teori bahwa di awal berdirinya negara, pajak masih rendah, ekonomi bergairah, rakyat pun makmur.

Namun seiring waktu, penguasa mulai memanjakan diri dengan proyek-proyek raksasa, membengkakkan anggaran, dan mencari dana cepat lewat pengenaan pajak tinggi pada rakyat. Semua hal dikenakan pajak, demi pemasukan negara.

Akibatnya, kata Ibnu Khaldun, rakyat enggan berusaha, produksi merosot, dan penerimaan negara pun ikut runtuh. Akhir cerita: negara goyah dan runtuh. Dalam bahasa sederhana: pajak tinggi memang bisa memberi uang cepat, tapi sama seperti overdosis kopi — awalnya segar, akhirnya jantung berhenti.

Ironisnya, di negeri kita kali ini, kenaikan pajak ini beriringan dengan proyek mercusuar: MBG Rp 300 triliun, IKN Rp 1.400 triliun, Giant Sea Wall Rp 1.200 triliun, Kereta Cepat Jakarta–Surabaya Rp 800 triliun, hingga pembelian jet tempur Kaan dan robot anjing Polri.

Semua terdengar mewah, tapi tagihannya jatuh di meja rakyat, termasuk meja makan keluarga yang penghasilannya habis sebelum akhir bulan. Tanah tempat tinggal yang sebetulnya bukan properti produktif dikenakan pajak dengan kenaikan ribuan persen.

Pemerintah seharusnya tahu membedakan antara must have dan nice to have. Rumah rakyat itu kebutuhan, bukan kemewahan. Pemiliknya bisa saja lansia yang tak lagi berpenghasilan, atau keluarga yang bahkan menunggak listrik. Memajaki mereka sampai puluhan juta setahun sama saja meminta bayi membayar cicilan pesawat tempur.

Dalam pandangan syariat, ada garis terang antara pungutan yang adil dan yang zalim. Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya pelaku atau pemungut pajak (yang zalim) berada di neraka,” sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud.

Negara maupun petugas pemungut pajak, menurut hadits tadi, punya beban ancaman masuk neraka. Ini bukan sekadar ancaman ukhrawi, tapi penegasan bahwa pajak yang menindas rakyat adalah bentuk kezaliman yang kelak harus dipertanggungjawabkan.

Ketika rumah sederhana yang tidak menghasilkan sepeser pun keuntungan tiba-tiba dikenai PBB puluhan juta, wajar jika rakyat merasa diperlakukan bukan sebagai warga negara, melainkan ladang perahan. Dan kezaliman seperti itu, dalam sejarah maupun dalam ajaran agama, hanya punya satu akhir: perlawanan.

Keadilan fiskal bukanlah utopia. Negara bisa memungut pajak dengan cara yang tidak melukai: pajak progresif berdasarkan kemampuan riil, bukan sekadar luas tanah; penghentian proyek mercusuar yang hanya memanjakan ego kekuasaan.

Lebih penting lagi, seperti digagas Anies Baswedan, pembebasan pajak bagi kelompok tertentu. Sebab, memeras rakyat demi membiayai mimpi-mimpi raksasa hanyalah cara tercepat untuk mengulang bab kelam sejarah — bab tentang saat rakyat berkata, “Cukup.”

Cak AT – Ahmadie Thaha

Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 18/8/2025

#negara #Pati Pajak Pembangunan

Penulis: Ahmadie Thaha

Editor: Ariful Hakim

Share. Facebook Twitter Telegram WhatsApp

Related Posts

80 Tahun Indonesia Merdeka: Antara Harapan, Krisis Kepercayaan, dan Perbandingan Global

Menyambut Proklamasi 2025;Kemerdekaan dengan Kesetaraan di Depan Hukum

Merdeka Atau Mati

Kenangan Salemba Sobat Wina Armada

Data Ngawur Bansos

Emosi Musik Anak-anak

Add A Comment
Leave A Reply Cancel Reply


Sedang Tren

Konser “The Musical Journey Of” 40 Tahun Dwiki Dharmawan Berkarya

Konser ini menghadirkan pengalaman yang menyentuh dan penuh makna bagi para penonton, merangkum perjalanan panjang yang sarat inovasi, kolaborasi, dan dedikasi terhadap dunia musik.

Dokter Ayu Hadiri Upacara Penurunan Bendera HUT ke-80 RI di Istana Negara

Agustus 18, 2025

Pajak Picu Rakyat Bergolak

Agustus 18, 2025

Rayakan Semangat Kemerdekaan, AQUA Elektronik Hadirkan Mall Exhibition

Agustus 18, 2025

Kalahkan VfB Stuttgart 2-1, Bayern Muenchen Juara Piala Super Jerman 2025

Agustus 18, 2025

Momen Kemerdekaan, by.U Rayakan dengan Cara Khas Anak Muda

Agustus 17, 2025

80 Tahun Indonesia Merdeka: Antara Harapan, Krisis Kepercayaan, dan Perbandingan Global

Agustus 17, 2025

Melihat Latihan Terakhir Pagelaran Sabang Merauke yang Spektakuler, Kolosal dan Menghibur

Agustus 16, 2025
logo

Graha C&R, Jalan Penyelesaian Tomang IV Blok 85/21, Kav DKI Meruya Ilir, Jakarta Barat. redaksi@ceknricek.com | (021) 5859328

CEK & RICEK
Telah diverifikasi oleh Dewan Pers
Sertifikat Nomor
575/DP-Verifikasi/K/X/2020

Facebook X (Twitter) Instagram YouTube
  • Headline
  • Berita
  • Pengetahuan
  • ENTERTAINMENT
  • Opini
© 2017-2025 Ceknricek.com Company. All rights reserved.

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.