Tapi jangan berhenti di Noel. Karena kalau hanya Noel yang kena, rakyat akan menganggap jargon ini cuma pentas wayang.
Oleh: Ahmadie Thaha
Ceknricek.com–Akhirnya, serakahnomics bukan cuma kata-kata manis di pidato Presiden Prabowo Subianto. Bukti lapangannya? Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru saja menguliti habis Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer alias Noel.
Anak buah langsung Prabowo, yang selama ini digadang sebagai pejuang reformasi, malah ketahuan hobi koleksi serakahnomics edition: puluhan mobil, motor Ducati, dan tentu saja amplop-amplop manis hasil “palakan” perusahaan yang ingin mengurus sertifikat K3.
Padahal, gaji sebagai wakil menteri sudah setara dengan 120 kali UMR buruh yang sertifikatnya dipermainkan oleh Noel & gang. Tapi ya begitulah: kalau dompet pejabat terbuat dari nafsu, bukan kulit sapi, mau dimasukkan apa pun tetap terasa kurang.
Noel ini dulu aktivis 98, pernah lantang soal demokrasi, keadilan, melawan tirani. Cukup lama dia membela Joko Widodo (Jokowi) hingga taraf mania. Baru di ujung jalan, saat pemilihan presiden masuk proses menentukan, dia memutar setir menjadi pendukung Prabowo.
Tapi rupanya, setelah dipercaya Prabowo duduk di kursi empuk kekuasaan tinggi, tirani itu malah pindah ke dirinya sendiri. Kalau dulu teriak “lawan penguasa korup,” sekarang justru jadi “lawan perusahaan kalau belum setor.”
Dari si pendobrak, kini malah jadi si pemeras. Ada yang bilang lebih kasar: jadi pemalak, jadi preman. Entah setelah ini, mungkin ada lagi gelar-gelar lain yang bakal dikenakan orang pada aktivis kayak dia. Ironi ini lebih pahit dari kopi tubruk tanpa gula, bikin malu aktivis 98.
Kalau mau dibedah dengan kacamata psikologi korupsi, kasus Noel bisa dilihat dalam tiga gejala. Pertama, sindrom kantong tak pernah penuh. Meski gaji dan fasilitas sudah setinggi langit, tetap terasa kurang karena standar gaya hidup makin naik.
Kedua, ada ilusi kursi empuk. Ketika duduk di jabatan tinggi, muncul rasa seolah punya remote control atas nasib orang lain. Satu tanda tangan bisa jadi pintu emas atau pintu buntu, dan kekuasaan yang bisa “dijual” itu sering lebih memabukkan daripada minuman keras.
Ketiga, mental rebutan kue. Logikanya sederhana: “Kalau saya nggak sikat, toh orang lain yang bakal sikat.” Inilah cara pikir yang membuat korupsi bukan lagi dosa, melainkan sekadar giliran. Inilah gejala psikologi kemewahan kekuasaan, seperti diungkap Ibnu Khaldun.
Sederhana, tapi tragis: sertifikat keselamatan buruh yang menyangkut nyawa, yang mesti dikeluarkan Kemenaker, ditukar dengan segepok uang. Buruh jadi angka statistik, sementara pejabat jadi kolektor puluhan mobil dan motor Ducati.
Kita patut beri apresiasi kepada Presiden Prabowo. Untuk pertama kali jargon serakahnomics terbukti bukan sekadar gertakan omon-omon di panggung. Anak buah sendiri disikat, diserahkan ke KPK. Itu artinya ancaman presiden bisa tajam, setidaknya pada level menengah.
Prabowo mengenalkan istilah baru serakahnomics pada Juli 2025. Ia mempromosikannya sejak 20 Juli di Kongres PSI di Solo, 21 Juli di Klaten saat meresmikan Koperasi Desa Merah Putih, 23 Juli di Harlah PKB, hingga puncaknya 15 Agustus di Sidang Kenegaraan Senayan.
Ia begitu konsisten, hingga terasa “serakahnomics” sedang menjadi musuh utamanya. Rangkaian ancaman pun ikut keluar darinya: “tidak ada ruang bagi pelaku serakahnomics.” Hanya saja, publik menunggu ancaman itu menjadi kenyataan seperti hari ini.
Publik tentu berharap, perang terhadap serakahnomics bukan berhenti di Noel. Sebab kalau hanya berhenti pada kasus ini, serakahnomics tetap terasa seperti pentungan kayu yang cuma berfungsi memukul lalat, bukan naga. Masih banyak Noel yang lain.
Mari kita jujur: siapa pelaku serakahnomics terbesar di negeri ini? Data BPN mencatat, 1% perusahaan sawit menguasai hampir tujuh juta hektare lahan; sektor perbankan dikuasai hanya segelintir grup konglomerasi, menguasai negeri.
Belum lagi pertambangan nikel, batubara, dan emas, yang dikuasai keluarga-keluarga elite yang sudah akrab dengan kekuasaan. Nah, apakah mereka termasuk yang akan diberantas dalam kampanye anti-serakahnomics? Atau justru tetap aman, karena “teman sekelas”?
Kasus Noel ini bisa jadi momentum refleksi. Bahwa serakah itu bukan soal kebutuhan, tapi kadang soal identitas.
Di republik ini, jadi pejabat seolah tidak lengkap kalau belum punya kasus, belum punya koleksi mobil aneh, atau belum punya berita OTT. Padahal, dengan satu kasus Noel, publik bisa membaca: jargon presiden diuji, KPK bekerja, dan rakyat menunggu episode selanjutnya.
Kalau Prabowo serius, ini kesempatan emas: sikat serakahnomics dari anak buah sampai ke oligarki kelas kakap.
Dari Noel pemalak sertifikat K3 sampai konglomerat pemilik jutaan hektare.
Dari kolektor Ducati sampai kolektor izin tambang. Kalau itu bisa dilakukan, maka jargon serakahnomics akan naik level, dari sekadar kata-kata menjadi bab baru sejarah republik.
Jadi, mari kita beri tepuk tangan kecil untuk langkah pertama ini: Noel, sang aktivis jadi pemeras, resmi dicatat sejarah sebagai anak buah pertama Prabowo yang terjerat serakahnomics.
Tapi jangan berhenti di Noel. Karena kalau hanya Noel yang kena, rakyat akan menganggap jargon ini cuma pentas wayang. Mari kita tunggu, apakah pentungan presiden akan berani diarahkan ke naga besar yang menguasai tanah, tambang, dan bank.
Hidup Prabowo.
Hidup KPK.
Dan tentu saja, hidup rakyat yang sabar menonton drama panjang bernama serakahnomics.
Cak AT – Ahmadie Thaha
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 21/8/2025