Ceknricek.com — Tahi Bonar (TB) Simatupang. Nama ini tentunya tak terdengar asing di telinga masyarakat, khususnya warga Ibu kota Jakarta yang tinggal di wilayah pinggiran Jakarta Selatan.
Nama tersebut merujuk pada sebuah jalan yang menghubungkan wilayah timur dan selatan Jakarta. Macet dan banjir bila musim penghujan tiba. Itulah kesan yang sejanak terlintas di pikiran.
Namun, mengesampingkan itu semua, TB Simatupang merupakan salah satu pahlawan yang berjasa dan turut serta dalam gerilya selama perang kemerdekaan ketika Belanda ingin kembali menguasai Indonesia. Berikut kisah hidup dan jejak karier militer TB Simatupang:
Karier Militer
Tahi Bonar Simatupang lahir di Sidikalang, Sumatera Utara, pada 28 Januari 1920. Bonar, nama panggilannya ketika kecil merupakan anak kedua dari delapan bersaudara pasangan Sutan Mangaraja Soaduan Simatupang dan Mina Boru Sidabutar.
Beranjak dewasa, Bonar masuk akademi militer kolonial Belanda di Bandung pada 1940. Ia seangkatan dengan Rahmat Kartakusumah, Abdul Haris Nasution, Alex Kawilarang, dan beberapa orang Indonesia yang menjadi perwira perwira Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL) lainnya.
Setelah Indonesia merdeka, T.B. Simatupang bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat atau BKR (cikal-bakal TNI). Ia kemudian ditunjuk sebagai Kepala Organisasi Markas Besar Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Sumber: Istimewa
Ketika pecah revolusi kemerdekaan T.B Simatupang ikut bergerilya bersama Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP) RI Jenderal Soedirman. Pada 1948, ia kemudian diangkat sebagai Wakil KSAP seeta turut menghadiri Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, pada 1949.
Satu tahun kemudian, Jenderal Soedirman wafat pada 29 Januari 1950. TB Simatupang kemudian diangkat sebagai KSAP dengan pangkat Mayor Jenderal pada usia 29 tahun.
Mengutip liputan6 pada Laporan dari Banaran kisah perjalanan hidup yang ia tulis pada masa awal menjabat KSAP, TB Simatupang pun harus berhadapan dengan beberapa gerakan pemberontak dan separatis yang melakukan kekacauan.
Seperti Angkatan Perang Ratu Adil di bawah Kapten Westerling yang menembaki anggota TNI saat memasuki Bandung. Terdapat kurang lebih 79 anggota TNI tewas dalam peristiwa tersebut.
Selain itu, beberapa gerakan pemberontak lainnya, seperti gerakan Andi Azis di Makasar, Republik Maluku Selatan, dan gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) juga harus dihadapi oleh TB Simatupang.
Berseteru Dengan Bung Besar
Meski gemilang dalam menangani berbagai konflik dan pemberontakan di wilayah republik namun karier TB Simatupang harus terhenti karena pemikirannya tidak sejalan dengan Panglima Tertinggi (saat itu dijabat Bung Karno).
Sumber: Istimewa
Kejadian ini berawal dari berita upaya penggantian Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), Kolonel A.H. Nasution, yang digagas oleh perwira TNI lainnya, Kolonel Bambang Supeno yang menyatakan kurang berkenan terhadap Nasution karena melibatkan Misi Militer Belanda (MMB) dalam meningkatkan mutu TNI.
Supeno yang sudah menghadap Bung Besar dan disetujui niatnya kemudian menggalang tanda-tangan para panglima di daerah-daerah. Setelah pengumpulan tanda tangan rampung, ia langsung menyampaikan surat permintaan pemberhentian Nasution kepada Simatupang.
Dalam Ikhtisar Sejarah RI (1945-Sekarang), Nugroho Notosusanto menyebutkan, KSAP meminta penjelasan tentang maksud Bambang Supeno. Pertemuan keduanya berkembang menjadi perdebatan sengit. Beberapa hari kemudian, Bambang Supeno diberhentikan dari segala jabatannya.
Jenderal Simatupang, Kolonel Nasution, dan Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, kemudian meminta bertemu dengan Presiden Soekarno. Permintaan itu segera dipenuhi. Maka, terjadilah percakapan yang kemudian berjalan sangat dramatis.
Soekarno pun tak menampik campur tangannya. Dia membenarkan usul Bambang Supeno seraya mengemukakan tekad para panglima daerah yang menghendaki pergantian KSAD.
Namun Simatupang menentang hal itu, karena jika dibiasakan memunculkan pemimpin militer yang takut akan kedudukannya, sehingga mereka akan melindungi diri dengan menunjukkan loyalitas mutlak kepada presiden.
“Selama saya Kepala Staf Angkatan Perang, saya tidak akan biarkan itu terjadi,” ujar Simatupang.
Presiden Soekarno menjawab uraian Simatupang dengan dengan nada marah. “Saya sudah bilang, kamu mempunyai kemampuan untuk memojokkan seseorang.”
Pembicaraan itu berlangsung dalam suasana panas, sarat emosi, dan tak bersahabat. Pertemuan pun berakhir tanpa solusi.
“Saya sendiri meninggalkan presiden tanpa berjabat tangan, saya hanya memberikan hormat militer belaka,” kenang Simatupang.
Semua ketegangan di kalangan TNI AD ini kemudian bermuara pada peristiwa 17 Oktober 1952 ketika militer menuntut pembubaran parelemen. Simatupang yang dinilai pro gerakan tersebut kemudian diberhentikan dari Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP).
Selanjutnya hanya ada forum antara kepala staf angkatan darat, laut dan udara, tanpa jabatan KSAP. Hilangnya jabatan KSAP itu pun menutup karir TB Simatupang di militer.
Pensiun dan Akhir hayat
Tahun 1959, Simatupang kemudian dipensiunkan dari jabatannya di internal TNI. Selepas pensiun, Simatupang bergiat di dunia gereja dan aktif menerbitkan buku hasil pemikirannya baik dalam bidang militer maupun teologi.
Beberapa di antaranya otobiografi di masa revolusi Laporan dari Banaran (1960), Pengantar Ilmu Perang di Indonesia (1969), Pelopor dalam Perang, Pelopor dalam Damai (1981), Iman Kristen dan Pancasila (1984).
Simatupang wafat pada 1 Januari 1990, tepat hari ini, 29 tahun yang lalu. Namanya kemudian diabadikan menjadi salah satu jalan utama di Jakarta Selatan. Gambarnya juga terdapat dalam uang logam pecahan Rp500 tahun 2016.