Ceknricek.com — Pak Jokowi belum selesai menjabat Walikota Solo ketika beliau maju jadi calon gubernur Jakarta. Dan belum selesai menjabat gubernur ketika mencalonkan jadi presiden.
Buat saya itu sudah semestinya memicu “red flag”. Ini politisi yang haus kekuasaan dan tidak memegang amanah jabatan.
Terbukti pula belakangan, belum selesai jabatan kedua bikin beberapa manuver untuk jabatan ketiga. Dan ketika gagal (setidaknya sejauh ini), beliau ngotot jadi king maker untuk menentukan presiden dan para menteri pemerintahan mendatang.
Sebagai golput pada 2014 dan 2019, saya kadang berpikir apa saya tidak salah mengambil posisi?
Pak Jokowi ditopang dan dikelilingi dari para aktivis “reformis” anti-Orba. Bukankah dengan itu pemerintahannya akan benar-benar progresif?
Dia juga mendapat dukungan vokal dari kaum intelektual yang saya kagumi seperti Mochtar Pabottingi, Goenawan Mohamad, Buya Ahmad Syafii Maarif, Romo Franz Magnis Suseno, Nono Anwar Makarim, dan Abdillah Thoha.
Bukankah dengan itu, ada benteng yang bisa mencegah Pemerintahan Jokowi untuk nyeleweng?
Meski golput, saya termasuk yang suka dengan gagasan Nawacita. Dan ingin memberi “benefit of the doubt” ketika beliau terpilih pada 2014.
Tapi, pada tahun pertama saya sudah bisa memutuskan, untuk tetap puas tidak memilih.