Ceknricek.com — Yap Thiam Hien bukan sekadar pengacara. Semasa hidupnya ia mengabdikan diri sebagai seorang pembela keadilan bagi kaum tertindas dengan kata-kata yang selalu ia pegang teguh, “mencari kebenaran, bukan kemenangan!” Kini, namanya diabadikan menjadi penghargaan bagi pejuang hak asasi manusia di Indonesia.
Sumber : Merdeka
Yap Thiam Hien mengembuskan napas terakhir tepat pada tanggal hari ini, 25 April 1989. Ia wafat ketika sedang menghadiri pertemuan InterNGO Conference on Indonesia (INGI) di Brussels, Belgia.
Masa Kecil
Yap Thiam Hien lahir di Banda Aceh pada 25 Mei 1913 sebagai anak pertama dari pasangan Yap Sin Eng dan Hoan Tjing Nio. Leluhurnya adalah eksodus dari Tiongkok Selatan, tepatnya dari Provinsi Kwantung Distrik Moi-yan Subdistrik Lo-yi, sekitar 1844.
Masa kecil Yap dihabiskan di rumah besar milik kakeknya, Joen Khoy, bersama bibi, paman, dan sepupunya. Ia dekat dengan ibunya, Tjing Nio, dan oma Jepang-nya (atau nenek), Nakashima. Kedua sosok tersebut sangat berpengaruh dalam hidup Yap.
Daniel Lev, Indonesianis dari Washington University, dalam “No Concessions: The Life of Yap Thiam Hien, Indonesian Human Rights Lawyer” (2011) mengatakan, keluarga Yap termasuk golongan elite Tionghoa di Kuta Raja. Status tersebut dapat dilihat dari fakta bahwa buyutnya, Yap Sin, yang merupakan pejabat lokal dengan pangkat letnan di zaman kolonial.
Buyutnya yang lahir di Bangka itu lantas menikah dengan putri kapitan Cina di Kuta Raja. Tak lama kemudian, buyut Yap perlahan mulai membangun usahanya di sana. Masih menurut catatan Lev, bisnis keluarga Yap banyak; dari kolam ikan hingga perkebunan kelapa. Ditambah lagi, keluarga Yap mendapatkan hak untuk memonopoli perdagangan opium dari pemerintah Belanda.
Kondisi tersebut membuat kekayaan keluarganya makin menumpuk serta Yap bersama adik-adiknya mampu mendapatkan akses pendidikan secara baik dengan masuk di salah satu sekolah Belanda di Kuta Raja. Sayang, masa jaya keluarganya tak berlangsung lama.
Charles Coppel dalam The Making of An Indonesian Human Rights Lawyer yang terbit di Inside Indonesia menyebut, pada akhir 1910-an, bisnis keluarga Yap bangkrut tatkala pemerintah Belanda mencabut hak istimewa pejabat lokal keturunan Tionghoa.
Untuk menutup utang-utangnya, kakek Yap menjual rumah besarnya. Yap dan adik-adiknya lalu pindah ke rumah keluarga ibunya. Situasi itu semakin memburuk kala ibu Yap meninggal dunia pada 1922. Yap yang masih berusia sembilan tahun jelas terpukul berat. Selama ini, ibunya adalah sosok yang mengajarkan arti kedisiplinan serta kasih sayang.
Sepeninggal sang ibu, Yap dan adik-adiknya dirawat Nakashima (nenek). Terlebih, ayah mereka, Sin Eng, kian jarang berkumpul dengan keluarganya karena sering ke luar kota (hingga Batavia) untuk kembali merintis usaha.
Nakashima menjelma sosok yang dekat dengan Yap dan adik-adiknya. Ia mengasuh mereka dengan ketulusan. Saban malam, Nakashima rutin membacakan cerita samurai Jepang untuk menanamkan nilai-nilai tentang keberanian dan pengorbanan. Cerita yang dibacakan Nakashima begitu membekas di pikiran Yap.
Belajar dan Mengajar
Tahun 1926, Yap lulus ELS dan melanjutkan pendidikan MULO-nya di Batavia. Yap memilih Batavia sebab ingin mengikuti teman-temannya serta menyusul ayahnya yang kerja sebagai staf penjualan perusahaan. Di MULO, Yap belajar bermacam bahasa (Perancis, Jerman, Belanda, Inggris, Latin), matematika, dan sains.
Sumber : Tionghoa.INFO
Yap mampu menerima pelajaran dengan baik. Ia lulus dengan nilai maksimal. Setamat dari MULO, Yap masuk AMS–setingkat SMA–di Yogyakarta. Di sana, ia tinggal bersama Herman Jopp dan mulai menyambangi gereja hingga akhirnya memeluk Protestan.
Selepas lulus AMS pada 1933, Yap ikut ujian guru di Dutch Chinese Normal School (HCK) di Batavia. Ia diterima serta menghabiskan waktu empat tahun selanjutnya sebagai pengajar di Cirebon hingga Rembang.
Menjadi guru, catat Lev, memberinya minat yang langgeng dalam pendidikan di samping membuatnya lebih punya keterikatan dengan orang-orang–terutama etnis Tionghoa–yang hidup dengan nasib kurang beruntung. Namun, nyatanya, mengajar bukan panggilan hidup Yap.
Pada 1938, ia balik ke Batavia untuk bekerja di perusahaan telepon dan menempuh sekolah hukum. Ketika Jepang masuk ke Indonesia, sekolah tempat Yap menimba ilmu hukum ditutup. Yap tak patah arang. Setelah kemerdekaan, pada 1946, ia pergi ke Belanda untuk melanjutkan sekolah.
Untuk bisa mencapai Belanda, Yap harus jadi pekerja kapal yang memulangkan para tahanan Belanda ke negerinya. Tanpa pikir panjang, Yap langsung mengiyakan. Yap belajar hukum di Universitas Leiden. Ia menyelesaikan studinya pada 1947.
Selain mendalami hukum, menurut Coppel, Yap juga menyelami teologi serta aktif dalam kegiatan gereja. Dari sini, Yap lalu berkomitmen penuh pada dua hal: gereja dan hukum. Komitmen itu Yap buktikan saat ia balik ke Indonesia setahun kemudian. Semenjak itulah ia mulai aktif dalam gereja dengan turut mendirikan Yayasan Pendidikan Gereja Indonesia.
Pendekar Keadilan
Setelah memperoleh sertifikat pengacara dari Kementerian Hukum pada tahun 1949, Yap sempat bergabung dengan Jhon Karuin, Mochtar Kusumaatmadja dan Komar sebelum akhirnya ia membuka kantor sendiri di tahun 1950. Sembari menjalankan rutinitas tersebut, ia masih menyempatkan diri untuk menimba ilmu kepada para advokat senior seperti Lie Kian Kim, Tan Po Goan, dan Oei Tjoe Tat.
Sumber : Merdeka
Peran Yap yang paling kentara dalam dunia hukum dan HAM di Indonesia adalah kepeloporannya dalam membuka mata masyarakat tentang pentingnya penegakkan HAM. Jika sebelumnya para advokat lebih berkonsentrasi pada kasus-kasus yang bisa membawa keuntungan materi berlimpah, Yap memilih jalan lain: ia membela kaum marjinal dan kaum tertindas dalam dunia politik.
Yap pernah menjadi pengacara Soebandrio, bekas Menteri Luar Negeri yang dituduh terlibat G30S. Ia pun menjadi pembela Sawito Kartowibowo, seorang pegawai Departemen Pertanian yang dituduh hendak menggulingkan Presiden Soeharto pada 1976.
Di bawah kekuasaan rezim Orde Baru, sepak terjang Yap menjadi catatan tersendiri tentang keberanian seorang advokat dalam melawan sistem kekuasaan yang sewenang-wenang. Lelaki sederhana yang selalu berpenampilan rapi ini juga selalu menekankan bahwa norma Hak Asasi Manusia adalah prinsip yang harus menjadi pegangan utama dalam mencari keadilan di bidang hukum.
Penghormatan terhadap HAM, bukan suatu keharusan, tetapi sudah menjadi kewajiban. Sosok Yap yang luar biasa mendorong para aktivis HAM untuk mengabadikan namanya menjadi sebuah bentuk penghargaan, Yap Thiam Hien Award, sebagai penghargaan yang diberikan kepada orang-orang yang dengan keberanian dan ketekunan memperjuangkan penegakkan HAM di Indonesia.
Sumber : Kompas
Selama jadi advokat, Yap sudah banyak menangani kasus pidana maupun perdata. Dari semua kasus yang pernah ia tangani, Yap seringkali berada di posisi yang serba tak nyaman. Tapi, Yap tak ambil pusing. Ia terus mengambil jalan itu demi marwah keadilan. Prinsip yang selalu dipakai Yap dalam menangani kasus hukum ialah mencari kebenaran, bukan kemenangan.
Tak jarang juga, Yap menggratiskan biaya perkara kepada kliennya. Jika Saudara hendak menang perkara, jangan pilih saya sebagai pengacara Anda, karena kita pasti akan kalah. Tapi, jika Saudara merasa cukup dan puas mengemukakan kebenaran Saudara, saya mau menjadi pembela Saudara, kata Yap suatu waktu.
Sumber : Bengcu
Maka, deretan klien Yap sangat beragam. Dari mereka yang tersingkirkan, bandit, teroris, sampai golongan elite kekuasaan pernah ia tangani. Pada 1950, ia membela tukang kecap keliling di Pasar Baru, Jakarta Pusat, yang ditangkap dan dipukuli tanpa alasan yang jelas.
Tak lama setelahnya, Yap lagi-lagi membela beberapa pedagang Pasar Senen yang digusur pemilik gedung. Dalam persidangan, ia bersuara lantang menyerang pengacara pemilik gedung, bagaimana bisa Anda membantu orang kaya menentang orang miskin?
Api perjuangan Yap terus menyala sampai ia meninggal pada 25 April 1989, tepat tanggal hari ini 30 tahun silam. Yap berpulang ketika sedang menghadiri pertemuan InterNGO Conference on Indonesia (INGI), organisasi yang bertujuan mengembangkan partisipasi rakyat dan LSM dalam pembangunan masyarakat dan negara, di Brussels, Belgia.
Sosok Pembela Segala Umat tersebut akan tetap abadi dan terus menjadi cerminan bahwa hukum harus ditegakkan sebaik-baiknya serta sehormat-hormatnya. Demi kebenaran, bukan kemenangan.