Ampunan di Era Mega, Tersangka di Era Jokowi | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Sumber Ilustrasi : Infobank

Ampunan di Era Mega, Tersangka di Era Jokowi

Ceknricek.com -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan taipan Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim sebagai tersangka dalam perkara korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) 1998, pada Senin (10/5). Sjamsul adalah pengendali pemegang saham Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI). Ia diduga melakukan tindak pidana dalam pemenuhan kewajiban pemegang saham BDNI selaku obligor BLBI kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Nama Sjamsul memang selalu disebut tiap kali kasus BLBI diungkit. Namun baru ini kali, di saat sang Taipan sudah sepuh, KPK menjeratnya sebagai tersangka. Pria bernama asli Liem Tjoen Ho ini lahir di Lampung, 79 tahun yang lalu. Kini, ia disebut-sebut tinggal di Singapura.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Sjamsul Nursalim dan istrinya sebagai tersangka (Foto : Katadata)

Kasus Sjamsul amatlah unik dan berbelit. Pada masa Pemerintahan Megawati Soekarnoputri ia mendapat ampunan. Lalu, di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, kasusnya terkesan cuma menjadi mainan: timbul tenggelam. 

Kini, kasus dugaan pengemplangan duit BLBI ini kembali dibidik pada saat masa jabatan pimpinan KPK jilid IV akan berakhir. Ya,  pada Desember 2019 masa kerja Agus Rahardjo dan empat pimpinan KPK lainnya yakni Alexander Marwata, Basaria Panjaitan, Saut Situmorang, serta Laode M. Syarif berakhir. Maknanya waktu hanya tersisa enam bulan lagi.

Itu sebabnya ada kesan, pasukan Agus Rahardjo ingin membuat gebrakan bersejarah di akhir masa jabatannya itu. Bahkan KPK menghendaki kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) ini segera rampung untuk dilimpahkan dan disidangkan Pengadilan Tipikor. "Kita harus masuk secepatnya prosesnya di pengadilan," kata Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (12/6).

Pimpinan KPK (Foto : Rappler)

Keinginan KPK ini tentu saja wajar. Boleh jadi ini untuk memastikan bahwa kasus akbar ini ditangani dengan benar. Menjerat konglomerat sekelas Sjamsul Nursjalim bukanlah perkara mudah. Kasus ini bertahun-tahun hanya timbul tenggelam saja. Nilai korupsi yang dituduhkan pun amat jumbo. Sjamsul dan Itjih diduga bersama-sama mantan Kepala BPPN, Syafruddin Arsyad Temenggung, merugikan keuangan negara hingga Rp4,58 triliun akibat kasus ini.

Repotnya, kedua pasangan tajir ini tidak koperatif. Dalam proses penyelidikan, KPK setidaknya telah melayangkan tiga kali panggilan permintaan keterangan kepada Sjamsul dan Itjih. Namun, keduanya tak pernah memenuhi panggilan KPK.

Kini, KPK tak ambil pusing. Saut bilang, banyak cara yang bisa dilakukan untuk menuntaskan kasus ini, kendati keduanya tak kunjung koperatif. Salah satunya dengan menempuh peradilan in absentia atau peradilan tanpa dihadiri terdakwa.

Selain itu, KPK juga bakal menjalin kerja sama dengan otoritas Singapura, termasuk Lembaga Antikorupsi Singapura (Corrupt Practices Investigation Bureau/CPIB). KPK optimistis, kerja sama dengan Negeri Jiran itu dalam menangani kasus ini bakal berjalan baik. Sebelumnya, KPK telah bekerja sama dengan CPIB dalam menangani kasus korupsi lain, seperti e-KTP dan Garuda.

Kurang Bayar

Sejatinya, bukan hanya Sjamsul yang menikmati Surat Keterangan Lunas atau SKL. Nama konglomerat papan atas Indonesia lain, semisal The Ning King dan Bob Hasan juga mendapat perlakuan sama. SKL merupakan produk yang dikeluarkan BPPN berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002. Saat itu, presiden yang menjabat adalah Megawati Soekarnoputri.

Berdasarkan inpres tersebut, debitor BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang walaupun baru membayar 30% dari jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) dalam bentuk tunai dan 70% dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN. Atas dasar bukti itu, mereka yang diperiksa dalam penyidikan Kejaksaan Agung akan mendapatkan surat perintah penghentian perkara (SP3).

Demo BLBI (Foto : Republika)

Pada 21 September 1998 BPPN dan Sjamsul menandatangani perjanjian pengambilalihan pengelolaan BDNI melalui Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA). Dalam MSAA disebutkan bahwa BPPN mengambil alih pengelolaan BDNI dan Sjamsul sebagai pemegang saham pengendali sepenuhnya bertanggung jawab untuk menyelesaikan kewajiban baik secara tunai atau berupa penyerahan aset.

Jumlah kewajiban Sjamsul adalah Rp47 triliun lebih. Kemudian kewajiban tersebut dikurangi dengan aset sejumlah Rp18 triliun termasuk di antaranya pinjaman kepada petani atau petambak sebesar Rp4,8 triliun. Aset senilai itu seolah-olah sebagai piutang lancar dan tidak bermasalah. Namun, setelah dilakukan Financial Due Dilligence (FDD) dan Legal Due Dilligence (LDD) disimpulkan bahwa aset tersebut tergolong macet sehingga dipandang terjadi misrepresentasi.

Atas hasil FDD dan LDD tersebut, BPPN kemudian mengirimkan surat yang intinya mengatakan Sjamsul telah melakukan misrepresentasi dan meminta ia menambah aset untuk mengganti kerugian yang diderita BPPN tersebut, namun Sjamsul menolak.

Selanjutnya pada Oktober 2003, agar rencana penghapusan piutang petambak Dipasena bisa berjalan, maka dilakukan rapat antara BPPN dan pihak Sjamsul yang diwakilkan istrinya, serta pihak lain. Pada rapat tersebut, Itjih menyampaikan suaminya tidak melakukan misrepresentasi.

Kemudian pada Februari 2004, dilakukan rapat kabinet terbatas yang intinya BPPN melaporkan dan meminta kepada Presiden RI agar terhadap sisa utang petani tambak dilakukan write off atau dihapusbukukan namun tidak melaporkan kondisi misrepresentasi dari Sjamsul. Ratas tersebut tidak memberikan keputusan atau tidak ada persetujuan terhadap usulan write off dari BPPN.

Syafruddin Arsyad Temenggung (Foto : Tempo)

Setelah melalui beberapa proses, meskipun ratas tidak memberikan persetujuan namun pada 12 April 2004, Syafruddin Arsyad Temenggung dan Itjih menandatangani akta perjanjian penyelesaian akhir yang pada pokoknya berisikan pemegang saham telah menyelesaikan seluruh kewajiban sesuai dengan yang diatur pada MSAA.

Pada 26 April 2004, Syafruddin Arsyad Temenggung menandatangani surat perihal pemenuhan kewajiban pemegang saham kepada Sjamsul. Hal ini mengakibatkan hak tagih atas utang petambak Dipasena menjadi hilang atau hapus.

Selanjutnya pada 30 April 2004, BPPN menyerahkan pertanggungjawaban aset kepada kementerian Keuangan yang berisikan hak tagih utang petambak PT DCD dan PT WM yang kemudian oleh Dirjen Anggaran Kemenkeu diserahkan kepada PT Perusahaan Pengelola Aset (PT PPA). 

Pada 24 Mei 2007, PT PPA melakukan penjualan hak tagih utang petambak plasma senilai Rp220 miliar padahal nilai kewajiban Sjamsul yang seharusnya diterima negara adalah Rp4,8 triliun. Nah, di sinilah ada dugaan bahwa kerugian keuangan negara akibat kasus ini sebesar Rp4,58 triliun.

Artalyta Suryani (Foto : Tribunnews.com)

Angka yang mirip juga sempat muncul dalam persidangan kasus suap US$660 ribu dari Artalyta Suryani alias Ayin kepada jaksa Urip Tri Gunawan di Pengadilan Tipikor Mei 2008. 

Pada 2010, Kemal Sofyan, Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara juga sempat mengulik kasus ini. Ia mengajukan permohonan ke menteri keuangan untuk diterbitkannya surat kuasa khusus bagi Kejaksaan Agung untuk menggugat Sjamsul Nursalim. Hanya saja, surat kuasa itu tak kunjung terbit.

Kasus BLBI Sjamsul juga sempat diapungkan pada era KPK di bawah pimpinan Abraham Samad. Namun seperti yang sudah-sudah, kasus itu tenggelam begitu saja. Baru, pada saat inilah ada harapan kasus tersebut ditangani dengan benar.

Kekayaan Sjamsul

Dikarenakan Sjamsul diduga sebagai penikmat dalam kasus itu, maka KPK akan memaksimalkan upaya aset recovery agar uang yang dikorupsi dapat kembali kepada masyarakat melalui mekanisme keuangan negara.

Berdasarkan data Forbes, total aset Sjamsul pada Desember 2018 sebesar US$810 juta atau setara dengan sekitar Rp11,5 triliun (kurs Rp 14.200 per dolar AS). Menurut Forbes, Sjamsul adalah orang terkaya di Indonesia nomor 36.

Sjamsul Nursalim (Foto : Tempo)

Sjamsul adalah pendiri PT Gajah Tunggal Tbk. sebuah perusahaan produsen ban. Kini melalui Denham PTE Ltd. ia menguasai 49,5% saham perusahaan tersebut. Selain itu, ia juga pendiri perusahaan eceran PT Mitra Adiperkasa Tbk. Perusahaan eceran ini memiliki jaringan lebih dari 2.300 toko ritel seperti  Starbucks, Zara, Marks & Spencer, SOGO, SEIBU, Oshkosh B'Gosh, Reebok. Pada perusahaan ini Sjamsul melalui PT Satya Mulia Gema Gemilang memiliki 51% saham. Jadi, cukuplah jika Sjamsul harus mengembalikan duit yang dituduhkan itu.



Berita Terkait