Ceknricek.com--Ternyata dalam budaya di Indonesia sebuah nama cukup penting artinya. Begitu rupa hingga ada anak yang harus diganti namanya karena nama yang pertama diberikan orang tuanya dianggap tidak serasi dengan si anak yang harus menyandang nama tersebut. Mungkin terlalu berat, hingga membuat si anak kemudian sakit-sakitan.
Dan perbuatan mengganti nama itu tidak boleh sembarangan. Biasanya dilakukan dengan sekaligus mengadakan kenduri.
Di kampung saya di Medan pernah terjadi seorang anak yang ketika baru lahir diberi nama Sofyan akhirnya, dalam suatu kenduri diganti namanya dengan Zainuddin. Ketika masih menyandang nama Sofyan, dia sering sakit-sakitan.
Ada pula kebiasaan pemberian nama, terutama di kalangan masyarakat tertentu, dengan cara menuliskan beberapa nama dalam kertas kecil yang kemudian digulung dan didekatkan ke si bayi yang konon dapat memilih sendiri nama yang sesuai untuk dirinya.
Satu riwayat tentang penamaan Rasulullah (saw) cukup menarik. Setelah Aminah melahirkannya, sang kakek Abdul Muttalib diminta agar memberinya nama. Seraya menyorotkan pandangannya ke kedua belah mata sang bayi, sang kakek memberinya nama yang dalam Bahasa Arab/Semit terdiri dari empat huruf M-H-M-D.
Aslinya nama Semit itu terdiri dari hanya tiga huruf H-M-D, yang dalam Perjanjian Lama disebut sampai 65 kali. Abdul Muttalib kemudian menambahkan M di depannya, agar beda.
Ketika banyak yang bingung kenapa nama tersebut yang dipilihkan oleh sang Kakek, Abdul Muthalib menjelaskan bahwa nama tersebut berarti “seorang panutan yang patut dicontoh hingga segala perbuatan dan sikapnya di kemudian hari akan menjadi contoh bahkan bagi mereka yang berada di kedudukan yang tinggi dan nama itu akan dikenal oleh semua bangsa.” (Muhammad, The World-Changer – An Intimate Portrait by Mohamad Jebara).
Pada waktu itu, demikian ditulis Mohammad Jebara, di Mekkah, tempat kelahiran Rasulullah (saw) ada hanya belasan orang yang bernama M-H-M-D. Muhammad (saw) kemudian dikenal dengan nama lengkap Muhammad ibn Abdullah.
Kenyataan ini menarik karena waktu Rasulullah (saw) lahir di abad ke-6 (tahun 570 Era Bersama) bangsa Eropa belum mengenal nama lengkap. Kebanyakan orang hanya memiliki satu nama.
Barulah antara abad ke-11 s/d abad ke-17 orang-orang Eropa memiliki minimal dua nama – nama kecil dan nama keluarga. Dalam Bahasa Inggris disebut First atau Christian Name dan Surname (nama keluarga atau suku).
Pada hal menurut suatu catatan, bangsa Babilonia antara tahun 3400 dan 3000 (Sebelum Era Bersama) sudah terbiasa dengan menggunakan nama kedua alias nama keluarga atau nama suku. Dan nama kedua atau nama suku pertama di Babilonia dikatakan adalah ‘Kushim’.
Menlu RI 2024-2029 sempat menimbulkan tanda tanya “Pengantar” yang agak panjang-lebar diatas tercetus ketika nama-nama para menteri baru dalam kabinet pimpinan Presiden Prabowo Subianto diumumkan, dan di antaranya yang paling menonjol adalah Menteri Luar Negeri yang disebut dengan hanya satu nama Sugiono.
Timbul pertanyaan, bahkan kegundahan di kalangan sementara warga Indonesia yang tidak bermukim di Tanah Air, bagaimana nanti kalau sang Menlu memperkenalkan diri kepada pejabat-pejabat di luar negeri, terutama di Barat, di mana kebiasaan punya lebih dari satu nama sudah dianggap sebagai keharusan?
Benar pujangga besar umat manusia, William Shakespeare, pernah “menyepelekan” nama, ketika dalam karyanya “Romeo dan Juliet”, Shakespeare seakan mencemooh “kok soal nama saja direpotkan.”
“What's in a name? That which we call a rose by any other name would smell just as sweet.” (Apalah artinya nama? Bukankah yang kita sebut bunga mawar itu akan sama harumnya biarpun kita beri nama lain?
Pengalaman lucu beberapa kawan dari Indonesia di luar negeri. Ketika bekerja di Badan Siaran Luar Negeri Inggris, BBC London, seorang sejawat yang baru bergabung dari Indonesia sempat menggerutu karena dokter yang akan memeriksanya bersikeras dia harus mengetahui kedua-dua nama sang pasiennya itu, pada hal selama puluhan tahun di Indonesia tidak pernah ada yang menghiraukannya – apakah satu nama atau dua atau tiga.
Katanya sambil tersenyum “Aku sebut namaku dua kali”, dan tambahnya si dokter manggut-manggut puas dan langsung memeriksanya.
Seorang sahabat di Australia yang beristrikan orang keturunan Inggris mengaku bahwa dia pernah terhalang masuk ke rumah sakit di Melbourne karena punya hanya satu nama. Istrinya sempat bertengkar dengan pihak rumah sakit, yang tetap bersikeras suaminya harus punya dua nama. Karena khawatir gangguan kesehatan sang suami akan bertambah parah kalau tidak segera ditangani dokter sang istri dengan lihainya menyebutkan bahwa nama suaminya bukan hanya Syamsuddin, melainkan Din Syamsuddin.
Begitu pula seseorang WNI yang namanya Rashid, akhirnya menambahi nama kecil Sid Rashid.
Seorang sejawat di Radio Australia tempat saya pernah bekerja, juga sempat mengalami peristiwa yang dikatakannya tidak bakalan terlupakan sampai kapan pun, gegara soal nama.
Dia punya hanya satu nama. Media asing kalau memberitakan tentang orang Indonesia yang punya hanya satu nama suka menjelaskan “sebagaimana halnya dengan banyak orang Indonesia si Fulan atau si Anu ini punya hanya satu nama”.
Nah suatu kali menjelang musim dingin, kawan saya, yang namanya sebut sajalah si Fulan, harus ganti alat pemanasan air di rumahnya. Waktu itu anak-anaknya masih kecil dan mereka tidak kuat kalau harus mandi dengan air dingin. Melalui telpon dia memesan alat pemanasan air yang dijanjikan akan dibawa ke tempat tinggalnya dan langsung dipasang oleh seorang tukang yang akan datang pada hari dan jam yang disepakati.
Begitulah sang tukang datang lengkap dengan segala perkakas dan alat pemanasan air. Namun, sebelum memulai bekerja, mencopot alat pemanasan air yang sudah tua dan tidak bekerja sebelum memasang alat pemanasan yang baru, dia bertanya nama si Fulan. Si Fulan menjawab “Fulan”.
“Nama pertama?” tanya si tukang.
“Itu nama pertama saya dan hanya itu nama saya!”
Timbul pertengkaran, masing-masing bersikeras, dan akhirnya sang tukang mengatakan dia tidak bisa memasang alat pemanasan yang dibawanya karena yang memesan tidak bersedia menyebutkan nama lengkapnya.
Ketika sang tukang bergegas menuju ke truknya, si Fulan sadar bahwa sikapnya yang cukup ngotot itu tidak akan membantu kepentingan anak-anaknya. Ia terpaksa mengalah.
“Nama saya X. Fulan”, katanya.
“Terima kasih,” kata si tukang yang langsung mencopot alat yang lama dan memasang alat yang baru.
Suatu kali, sepulangnya dari tugas meliput di Indonesia, saya harus menunggu cukup bahkan terlalu lama untuk melewati pemeriksaan imigrasi di bandara kota Melbourne.
Penumpang dari Indonesia di depan saya ternyata punya masalah dengan imigrasi. Kebetulan pula dia kurang mampu berbahasa Inggris. Akhirnya saya datangi petugas imigrasi Australia itu dan menanyakan apakah ada masalah dengan penumpang yang sedang di depan saya itu.
“Iya, lihat ini, di paspornya, Namanya hanya satu,” kata petugas imigrasi itu, yang menambahkan bahwa kenyataan ini mempersulit dirinya untuk memastikan melalui komputernya bahwa sang penumpang yang punya hanya satu nama itu adalah orang yang tidak pernah melakukan perbuatan pelanggaran hukum yang dapat menjadikannya sebagai “orang yang tidak disukai”, karenanya tidak akan diperbolehkan masuk ke Australia.
Saya mencoba meyakinkan petugas imigrasi itu dengan mengemukakan “Anda tahu, kami pernah punya dua presiden, dan kedua-duanya punya hanya satu nama Sukarno dan Suharto!”
Mungkin sang petugas sudah bosan dengan argumentasi yang telah berlangsung cukup lama, dan mengizinkan WNI yang seperti halnya dengan Bung Karno dan Pak Harto itu punya hanya satu nama di paspornya, untuk memasuki Australia.
Mungkin banyak yang masih ingat, bahkan Bung Karno pun di Timur Tengah dikenal dengan nama Ahmad Sukarno, sementara Pak Harto diberi nama tambahan Muhammad Suharto.
Orang Timur Tengah memang suka punya nama yang panjang-panjang. Suatu kali ketika diundang untuk menyampaikan makalah tentang Budaya Siaran Radio Lintas Batas dalam Konferensi Radio Internasional di Teheran, Iran, pembawa acara, sewaktu akan memperkenalkan diri saya mengatakan betapa bahagianya rakyat Iran karena pada hari itu bertepatan dengan hari lahir pujangga masyhur bangsa Iran Omar Khayyam.
Setelah memberi ucapan salam di depan mikrofon, di depan sekitar seratus orang hadirin waktu itu, termasuk orang yang pernah menjadi Dirut RRI, Parni Hadi, saya mengatakan:
“Saya juga sangat gembira dan bahagia karena hari ini bertepatan dengan hari lahir salah seorang pujangga dan ahli matematika yang saya kagumi Al-Khayatuddin Abdul Fath Umar Ibn Ibrahim Al-Khayyam…”
Kesan saya banyak hadirin yang tidak menyangka bahwa seorang broadcaster dari Indonesia ingat nama lengkap pujangga masyhur mereka (meski tidak ada jaminan bahwa itu adalah namanya yang benar yang lahir dalam tahun 1048 itu).Wallahu a’lam.
Ternyata Menlu R.I. yang baru punya dua nama, yaitu Christian Sugiono! Selamat menjalankan tugas.!
Editor: Ariful Hakim