Ceknricek.com--PKS resmi mendukung pasangan Anies-Cak Imin. Keputusan ini menepis keraguan publik terkait sikap PKS, usai Nasdem tiba tiba meminang Cak Imin. Setidaknya, dengan gabungnya PKS, kader dan simpatisan dibawah bisa semakin fokus untuk berjuang. Ini juga membuktikan, kekuatan Islam modernis (PKS) dan tradisionalis (PKB), dalam politik yang dianggap tidak mungkin bersatu, bisa bersatu.
Kata teman yang nyaleg di DPRD Kota Tegal, dimana orang tuanya NU tulen tapi dia maju lewat Gerindra, politik itu seni memainkan segala kemungkinan. Inilah mungkin yang lupa dari perhitungan petinggi Partai Demokrat, yang menganggap politik itu sebuah kepastian. Begitu kepastian AHY dijadikan cawapres lenyap, mereka meraung raung seperti anak ayam kehilangan induk.
Dari aspek komunikasi politik, raungan dan “fitnahan” Demokrat ke Anies, pada akhirnya gampang dipatahkan. Pertama, tuduhan Anies sebagai pengkhianat. Jelas bahwa Anies bukan Ketua Umum partai, yang bisa memutuskan dirinya sendiri. Ia hanya bertugas menyodorkan nama bacawapres, dalam hal ini AHY. Ketika ketua umum partai pengusung ogah menerima, ia tak bisa apa apa.
Kedua, soal tulisan permintaan AHY sebagai cawapres yang diviralkan Demokrat. Kata Anies, tulisan itu dibikin secara informal. Tidak diketik. Tanpa kop surat. Sekedar untuk menegaskan pada SBY dan AHY, kalau perwakilan Demokrat di tim 8 sudah bekerja. Oleh perwakilan Demokrat di tim 8 mestinya dikembalikan lagi ke Anies, setelah laporan ke SBY dan AHY. Tidak untuk di foto.
Dari semua gonjang ganjing gagalnya “perkawinan” Anies –AHY itu, gambaran jelasnya kini mengerucut. Publik antipati terhadap sikap Demokrat yang terlalu reaksioner. Nyata terlihat, mereka berpartai bukan untuk memperjuangkan aspirasi rakyat, tapi mengincar kursi untuk karir politik AHY. Begitu proposal ini mentah, sikap kekanak kanakan ditunjukan bahkan oleh SBY yang sudah bangkotan di dunia politik.
Arah berikutnya semakin tidak jelas. Melirik gabung ke Ganjar, tapi oleh sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dikasih syarat harus mengumumkan dulu mendukung Ganjar. Baru bisa dipikirkan untuk bertemu Mega. Hasto paham, lantaran politik itu seni memainkan segala kemungkinan, ia takut begitu SBY dan Mega bertemu, hingga terkesan terjadi rekonsiliasi, tiba tiba Demokrat tidak jadi berlabuh ke Ganjar. Padahal “perseteruan” SBY dan Mega sengaja di pelihara, demi kepentingan elektoral.
Ketua Umum Partai Golkar kemarin memberi isyarat bakal ada partai baru yang gabung ke Koalisi Indonesia Maju Prabowo Subianto. Jika partai dimaksud adalah Demokrat, ini juga jadi seperti buah simalakama. Partai yang bertahun tahun koar koar tagline ‘Perubahan dan Perbaikan’, tiba tiba gabung ke Prabowo, yang mengusung ‘Keberlanjutan’. Tidak dapat kursi cawapres lagi.
PKS memang tak henti henti merayu, agar Demokrat kembali merapat ke koalisi perubahan. Tapi dengan harga mati Demokrat yang mau gabung lagi asal capres yang diusung bukan Anies, tawaran PKS itu nampaknya sesuatu ‘hal yang mustahal’ terjadi. Demokrat akhirnya seperti judul film Dono, ‘Maju kena mundur kena’. Tersandera oleh kampanye ‘perubahan dan perbaikan’, yang membuat masih jomblo dan galau.
Jika dibandingkan dengan sikap PKS, Demokrat seperti partai kemarin sore yang diurus oleh bocil bocil ingusan yang baperan. Lihatlah bagaimana tenangnya PKS, meski sempat kaget juga saat Nasdem memilih Cak Imin secara tiba tiba. Mereka tetap patuh pada keputusan Dewan Syuro, sebelum menerima Cak Imin. Semua yang keluar dari mulut pengurus PKS tidak ada yang kontra produktif. Jauh dari kesan emosional dan kecewa.
Mekanisme menerima atau menolak Cak Imin memang ada ditangan Dewan Syuro PKS. Jumat (15/9/23) malam Dewan Syuro PKS yang beranggotakan 99 orang akhirnya memutuskan secara bulat, menerima Cak Imin sebagai cawapres dan mengusungnya untuk berpasangan dengan Anies di Pilpres 2024. Sebuah langkah elegan, sementara Demokrat baru mau memutuskan gabung ke koalisi mana, menunggu hasil sidang Majelis Tinggi.
Banyak yang bilang wajar SBY dan AHY marah. Padahal sikap Cak Imin juga terkendali, ketika di PHP Prabowo. Sekarang kita akan lihat, kalaupun gabung ke Prabowo, apakah Demokrat akan terus berkoar koar mengusung tema ‘Perubahan dan Perbaikan’, atau ikut arus Koalisi Indonesia Maju untuk ‘Keberlanjutan’.
Raungan SBY, pada akhirnya membawa konsekwensi politik yang tidak kecil. Padahal ini hal sederhana dalam ilmu manajemen; jangan mengambil keputusan ketika sedang marah. Itulah yang dilakukan PKS. Beda dengan Demokrat…
Meruya, 16 September 2023
Editor: Ariful Hakim