Bukan Soal Pohon dan Beton | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto: Istimewa

Bukan Soal Pohon dan Beton

Ceknricek.com -- Dua kata ini menjadi bahan perdebatan pasca-banjir menerjang Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi atau Jabodetabek. Wabil khusus DKI Jakarta. Kata itu adalah naturalisasi dan normalisasi.

Naturalisasi diperkenalkan oleh Gubernur DKI Jakarta, Anies Rasyid Baswedan. Ini terkait dengan revitalisasi sungai tanpa penggusuran. Satu program yang merupakan bagian dari janji Anies yang menolak penggusuran permukiman.

Naturalisasi dikesankan sebagai lawan dari normalisasi. Pada era Ahok, normalisasi sungai dikenali lewat penggusuran permukiman di bantaran sungai dan warga dipaksa pindah ke rumah susun. Daerah aliran sungai itu lalu dilebarkan dan dibeton demi menampung limpasan air dari daerah hulu saat musim hujan.

Anies enggan melanjurkan gaya pendahulunya itu. Ia berupaya "menghidupkan ekosistem" sungai dan waduk, salah satunya mengembangkan tanaman di tepi sungai dan menolak pembetonan.

Sumber: Detik

Konsep tersebut sudah direalisasikannya dengan menerbitkan Peraturan Gubernur DKI Nomor 31 Tahun 2019 tentang Pembangunan dan Revitalisasi Prasarana Sumber Daya Air secara Terpadu dengan Konsep Naturalisasi. Di dalam Pergub, naturalisasi didefinisikan sebagai cara mengelola prasarana sumber daya air melalui konsep pengembangan ruang terbuka hijau dengan tetap memperhatikan kapasitas tampungan, fungsi pengendalian banjir dan konservasi.

Baca Juga: Anies Baswedan: Naturalisasi Sungai di DKI Selesai pada Akhir Tahun

Konsep naturalisasi adalah upaya mengembalikan bentuk sungai ke kondisi alami, meliuk-liuk bak ular, tampang melintang bervariasi, dan ditumbuhi tanaman lebat sebagai habitat organisme tepian sungai. Bantaran sungai dihijaukan dengan tanaman yang berfungsi sebagai hidrolis ekologis alami, mencegah erosi dasar dan tebing sungai, serta meredam banjir.

Saat hujan, tanaman di sepanjang sungai akan menghambat kecepatan aliran. Muka air naik dan menggenangi bantaran dan tanaman di jalur hijau, yang secara alami memang dibutuhkan untuk ekosistem pendukung kelangsungan keanekaan hayati tepian sungai.

Konsep ini antara lain diterapkan Singapura dan Jepang yang tergolong sukses.

Kallang River-Singapore. Sumber: Mothership

Program naturalisasi kali pertama diimplementasikan Anies di Setu Babakan. Beberapa kegiatannya adalah penanaman pohon dan membuat taman kecil di tepi setu. Dinas Sumber Daya Air juga melakukan pengerukan di dasar setu.

Anies yakin, dengan naturalisasi akan tercipta lingkungan yang ramah karena mengedepankan sisi ekologis. Pasalnya, dengan batu kali, bukan beton, cacing dan ikan bisa hidup di dalamnya. Normalisasi yang serba beton akan membawa air secepat mungkin ke laut. Namun naturalisasi memperlambat gerakan air.

Dalam konsep naturalisasi, Anies juga mengenalkan konsep drainase vertikal dengan teknologi zero run off yang berfungsi untuk menampung air hujan agar tak semua mengalir ke selokan dan sungai.

Anies berharap dengan pembangunan 1,8 juta drainase vertikal di seluruh Jakarta (minus Jakarta Utara dan Kepulauan Seribu) tidak ada lagi terjadi luapan air karena drainase gagal menampung air.

Sumber: Kompas

Dari target 1,8 juta drainase vertikal di Ibu kota, Pemprov DKI Jakarta hingga Maret 2019 menyatakan telah membuat 6.500 titik.

Tidak Sebanding

Persoalannya adalah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) lebih memilih normalisasi sungai-sungai ketimbang naturalisasi. Staf Khusus Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Bidang Air dan Sumber Daya Air, Firdaus Ali, menjelaskan konsep naturalisasi dari Singapura tak bisa dilakukan di Jakarta. Sebab kondisi antara Jakarta dengan Singapura tidak sebanding dari segi beban aliran sungai. "Singapura itu dikelilingi laut depan belakang," imbuh Firdaus seperti dikutip sejumlah media belum lama ini.

Kallang River-Singapore. Sumber: Istimewa

Singapura punya luas daratan 752 kilometer persegi dengan kondisi dikelilingi lautan. Beban sungai di sana hanya menampung aliran dari dalam perkotaan. Sementara Jakarta seluas 662 kilometer persegi. Namun, harus memikul beban aliran sungai dari hulu di Jawa Barat dan hanya punya akses ke laut di utara. Belum lagi dengan debit air per detik mencapai 750 meter kubik.

Baca Juga: Kementerian PUPR Siapkan Anggaran Rp4 Triliun untuk Normalisasi Kali Bekasi

Dengan kondisi tersebut, menurut Firdaus, konsep naturalisasi mustahil dilakukan di Jakarta. Firdaus bilang Jakarta butuh normalisasi agar mampu mengalirkan air secepatnya ke laut guna mencegah banjir. Terlebih lagi, tanah di Jakarta punya karakteristik berbeda dengan di Singapura. Tanah di Ibu kota cepat jenuh, sehingga kemampuan menyerap air yang mengalir terbatas.

Dipadukan

Sesungguhnya tak ada yang keliru dengan konsep naturalisasi dan normalisasi. Sejumah ahli tata kota menyebut keduanya bisa dipadukan. Masalahnya, apa pun yang akan dipilih, badan sungai harus dilebarkan dan diperdalam. Permukiman harus direlokasi. Baik naturalisasi atau normalisasi membutuhkan relokasi warga dari pinggiran sungai.

Normalisasi secara umum sesungguhnya adalah mengembalikan atau mempertahankan bentuk alami sungai yang berliku-liku secara alami, memperlebar kembali badan sungai dan mengeruk kedalaman sungai agar kapasitas daya tampung sungai mendekati daya tampung semula dan ideal. Normalisasi juga mencakup konsep naturalisasi untuk menghijaukan kembali bantaran sungai agar tanaman bisa menyerap air luapan dan mengurangi debit air banjir.

Sumber: Antaranews

Semua itu membutuhkan ruang atau lahan yang luas, yang berarti akan banyak pemukiman yang harus direlokasi juga sebaga konsekuensinya.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 28/PRT/M/2018 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau menetapkan, bahwa garis sempadan sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan berjarak 10 meter dari tepi kiri dan kanan palung sungai dengan kedalaman sungai kurang dari atau sama dengan 3 meter, 15 meter, 20 meter, 30 meter.

Baca Juga: 3 Instruksi Presiden Tanggulangi Banjir di Jakarta dan Jawa Barat

Garis sempadan sungai adalah garis maya di kiri dan kanan palung sungai yang diterapkan sebagai batas perlindungan sungai.

Sumber: Kompas

Sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan Rencana Detail Tata Ruang DKI Jakarta 2030, badan 13 sungai utama akan diperlebar dari saat ini 15-20 meter menjadi 35-50 meter dan bantaran sungai kiri-kanan 7,5-15 meter, juga pengerukan kedalaman sungai dari 2-3 meter ke 5-7 meter. Sementara itu, untuk sungai pendukung, dari lebar 5-10 meter ditambah menjadi 10-15 meter dan bantaran sungai 5-7,5 meter.

Melihat fakta-fakta tersebut maka relokasi permukiman warga di bantaran sungai adalah keharusan. Keberanian dan ketegasan Anies sangat ditunggu untuk segera melanjutkan penataan sungai agar warga secara sukarela direlokasi. Relokasi ke tempat terdekat yang aman dari bencana, ke permukiman hunian vertikal yang lebih layak huni dan terpadu.

BACA JUGA: Cek FILM & MUSIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini



Berita Terkait