Dokter Bisa Juga Tidak Ilmiah | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day

Dokter Bisa Juga Tidak Ilmiah

Ceknricek.com - Nama Prof. Dr. dr. Moh Hasan Machfoed, Sp.S(K), M.S tidak asing bagi para dokter saraf Indonesia. Dia dokter senior alumni Universitas Airlangga, Surabaya. Lahir di Sampang, Madura, 28 Januari 1948, Prof Hasan menyelesaikan studi kedokteran hingga S3 di Unair.

Sudah berkiprah puluhan tahun praktik dan mengajar, Prof Hasan termasuk dokter yang rajin menulis dan mengikuti perkembangan bidang yang digelutinya. Dia juga kerap menjadi promotor para calon doktor di Unair. Salah seorang di antaranya: Dr. dr. Arman Yurisaldi, Sp.S, M.Kes.

Arman, adalah lulusan SI dan S2 FKUI. Tahun 2016, dia melanjutkan studi S3 di Unair. Memilih neurologi dan promotornya; Prof Hasan Machfoed. Belum lama, Dr Arman menulis di FBnya perihal metode terapin DR TAP. Nadanya terlalu memuji metode terapi "cuci otak" itu.

"Karena saya anggap dia junior saya dan mungkin belum begitu mendalami metode DSA yang dilakukan DR Terawan, maka tulis klarifikasi, " tutur Prof Hasan, sambil tertawa kecil. Dokter saraf ini memang rajin menulis. Dia sudah menulis lebih 60 jurnal ilmiah berkaitan dengan kedokteran.

Ahli saraf ini mengaku cukup lama mengikuti dan mendalami metode terapi yang dilakukan DR TAP. Dia juga sudah cukup lama mengeritik metode ahli Radiologi itu. Maka, belum lama spontan saja tergelitik ketika membaca juniornya kurang mengeritisi metode DR TAP.

Klarifikasi DR TAP informatif dan dilengkapi link tulisan berkaitan dengan metode terapi "cuci otak" DR TAP. Atas izin Prof Machfoed, respon tulisannya terhadap pesan DR Arman kami muat utuh berikut ini:

Mas Arman,

Saya lihat banyak posting Anda di FB tentang dr. Terawan (dr. T), si penemu Brain Washing (BW). Saya adalah orang yang malas berkomentar, kecuali terpaksa. Namun karena anda menyebut "Neuro Indonesia" dimana saya sebagai Ketua Umum-nya, maka saya perlu menganggapi. Ini dimaksudkan agar anda memperoleh informasi yang seimbang, maka komentar saya sbb:

  1. Tanpa penelitian apapun, dr. T sudah melakukan BW sejak tahun 2011 s/d sekarang, untuk segala macam stroke (iskemik maupun perdarahan). Selain itu, BW digunakan juga pada penyakit non stroke (Parkinson dll), penyakit nonneurologis (DM, dll).
  2. Obat yang digunakan pada BW adalah heparin. Sebagai neurolog anda pasti paham bahwa heparin tidak bisa digunakan sebagai terapi stroke. Obat untuk menghancurkan clot adalah r-TPA. Heparin hanya berfungsi mencegah clot selama tindakan DSA yang menjadi dasar prosedur BW.
  3. Analoginya adalah demikian. Bila baju kita kena lumpur, maka noda itu bisa dibersihkan dengan air. Namun bila kena cat, maka nodanya perlu dibersihkan dengan minyak tanah (cat larut dalam minyak tanah). Sumbatan pada stroke dianalogikan sebagai noda cat yang perlu dicuci dengan minyak tanah (r-TPA). Noda tak bakal hancur bila hanya dicuci dengan air (heparin).
  4. Secara klinis, DSA dengan heparin hanya berfungsi sebagai sarana diagnosis untuk melihat deviasi pembuluh darah (PD) otak. Oleh dr. T, BW sudah dibengkokkan menjadi sarana terapi, bahkan prevensi.
  5. Setelah mengkaji prosedur BW dan demi melindungi kepentingan masyarakat, maka saya sebagai Ketua Umum PP PERDOSSI telah mengeluarkan statemen resmi, bahwa BW tidak memiliki landasan ilmiah kuat.
  6. Saya senang karena dr. T telah menyelesaikan disertasi tentang BW, di program pasca sarjana FK Unhas. Artinya BW telah diuji secara ilmiah. Bila terbukti, hal ini bisa digunakan sebagai justifikasi penggunaan BW pada masyarakat. Hasil disertasi menyebutkan bahwa heparin yang disuntikan intra arterial ke dalam PD otak dapat mengobati stroke iskemik kronik. Sebagian hasil disertasi telah dipublikasi di Bali Medical Journal (BMJ). Silahkan click http://www.balimedicaljournal.org/index.php/bmj/article/view/200
  7. Saya jadi penasaran kok bisa ya heparin mengobati stroke. Karena itu saya dkk membuat tulisan yang dipublikasi secara internasional pada BAOJ Neurology, di USA. Silahkan click http://bioaccent.org/neurology/neurology15.pdf. Disitu saya membahas tuntas bahwa terapi heparin pada stroke tidak memiliki landasan ilmiah kuat.
  8. Masih penasaran, saya dkk mengkaji publikasi dr. T di BMJ yang tentunya sama dengan hasil disertasi. Dari hasil kajian itu, lagi-lagi disimpulkan bahwa hasil penelitian itu tidak memiliki landasan ilmiah. Silahkan click http://www.balimedicaljournal.org/index.php/bmj/article/viewFile/229/336
  9. Mari saya ambil 1 contoh diskusi BMJ. Secara implisit dr. T menyebutkan bahwa heparin bisa mengobati stroke iskemik kronis. Yang dipakai sebagai referensi adalah Guggenmos. Padahal referensi Guggenmos menyatakan bahwa stroke dapat diperbaiki bila dilakukan implantasi microelectrodes di kortek. Silahkan click http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24324155. Jadi perbaikan stroke bukan karena heparin. Hal-hal yang tidak akurat semacam ini terjadi pada seluruh diskusi hasil penelitian. Itu sama artinya, bahwa tidak ada satupun referensi yang mendukung hasil disertasi.
  10. Agar Mas Arman memiliki penilaian obyektif tentang dr. T, silahkan anda pelajari ketiga journal diatas. Sebagai penulis utama dari 2 publikasi itu, secara ilmiah saya bertanggung jawab penuh atas validitas 2 tulisan itu. Saya amat senang bahkan sangat berharap apabila mas doktor Arman, dr T, atau bahkan pejabat Unhas sekalipun mau berdiskusi secara ilmiah dengan saya. Ini adalah cara yang paling elegan untuk menyelesaikan persoalan ilmiah dengan cara ilmiah pula.
  11. Semua hal diatas itu saya lakukan atas dasar prinsip "Amar Makruf Nahi Munkar", yang artinya mengajak kepada kebaikan dan menjauhi keburukan. Bagaimanapun juga,  kebenaran ilmiah harus ditegakkan.

Mohon maaf, sekiranya kurang berkenan.

Suwun

Moh Hasan Machfoed



Berita Terkait