Fenomena “Caleg Berbayar” di Pileg 2019 | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day

Fenomena “Caleg Berbayar” di Pileg 2019

Ceknricek.com - BERITA pesohor atau pesepak bola profesional pindah klub selalu menarik perhatian. Pekan lalu misalnya. Jagat media diramaikan oleh pindahnya Cristiano Ronaldo dari Real Madrid ke Juventus. Uang transfernya sekitar € 112 milyar atau sekitar Rp 1,6 triliun. Fantastis angkanya. Heboh beritanya. Tapi itu dinamika yang biasa dan lumrah di arena olahraga profesional.

Tapi di dunia politik? Mulai ada. Informasi itu disingkapkan Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan kepada wartawan, Rabu (18/7/18). Dia mengungkapkan Lucky Hakim, salah satu legislator PAN --dari 20 artis yang dijadikan caleg pada Pileg 2014 sudah dibajak Partai Nasdem. Besar dana transfer sekitar Rp 5 milyar. “Baru Rp 2 milyar yang diterima Lucky,” kata Zulkifli Hasan.

Lucky dan Partai Nasdem sudah membantah berita  itu. Baca: Nasdem: Ambisi dan Tuduhan Membajak. Tapi ihwal transfer dana itu kemudian menghebohkan. Maklum, ternyata selain Lucky ada beberapa artis legislator lain yang juga pindah ke Nasdem. Kepada wartawan Tabloid Cek & Ricek mereka  “membenarkan” berita itu.

Baca: Bajak-Bajakan Caleg Artis- Tabloid Cek & Ricek, edisi XIX/18-24 Juli 2014.

Fenomena artis dijadikan parpol sebagai pendulang suara dalam Pemilu sudah lama terjadi. Cuma sekarang dibumbui oleh adanya uang transfer kepada mereka. Fenomena ini dan banyaknya legislator lain serta pengurus partai pindah ke partai lain, dimaknai negatif bagi pendidikan politik dan eksistensi demokrasi Indonesia. “Kritik kita terutama pada pimpinan parpol. Yang mestinya mengedepankan ideologi dan platformnya. Munculnya fenomena pindah-pindah partai, tarik artis untuk elektabilitas, memperlihat kelemahan mendasar. Mereka boleh dikatakan telah gagal di sisi fundamental itu,” kata DR Imam B Prasodjo, Sosiolog dan Pengajar di Universitas Indonesia kepada ceknricek.com.

Dia menambahkan, perkembangan itu memastikan bahwa makin berkurang makna penting ideologi di parpol. Pendidikan politik bagi kader partai dan juga masyarakat menjadi hampa. Parpol hanya berjuang untuk mendapatkan elektabilitas demi kursi dan kekuasaan di Pemilu. “Akhirnya menempatkan posisi dan citra parpol di mata masyarakat makin rendah di antara institusi lain,” ujar PhD lulusan Brown University di Rhode Island, AA itu.

Imam tak begitu mempersalahkan para artis. Tak semuanya juga artis lemah dalam kompetensi dan materialistis. Atau sekedar gagah-gagahan mau jadi legislator. “Okky Asokawati, misalnya. Cukup ok sebagai anggota DPR. Bisa dimengerti mengapa dia hengkang dari PPP. Wong, pimpinan partainya bertikai dan sibuk sendiri begitu,” tukas mantan komisioner KPU itu, ketus.

Okky, 57, mantan peragawati, model dan bintang iklan, sudah duduk dua periode sebagai anggota Fraksi PPP sejak 2009. Pimpinan partainya cukup lama berseteru. Sejak partai itu dipimpin Suryadharma Ali SDA). Lalu dituntut mundur oleh sekjen partai Romahurziy (Romi) usai rapat pleno 9 September 2014. Konflik berkepanjangan sampai pengusaha Djan Faridz, salah satu pengurus PPP (kubu Sda) sempat masuk dan mengaku sebagai ketua umum. Putusan PTUN 6 Juni 2017 memenangkan Romi yang mendukung pemerintahan Jokowi. Setelah itu, Romi pun sibuk “mewapreskan” diri mau mendamping Jokowi pada Pipres 2019.

Konflik internal antar pucuk pimpinan parpol juga terjadi di Partai Hanura setelah Osman Sapta Odang menjadi ketua umum. Juga di Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Semua menjadi contoh buruk bagi kader partai dan masyarakat. “Para pimpinan partai dengan semua langkah yang diambil mereka saat ini menampilkan degradasi nilai berpolitik,” tambah Prof DR M. Ryaas Rasyid, pakar politik bidang Ilmu Pemerintahan.

Mantan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara masa Presiden Gus Dur itu mengatakan masyarakat pada akhirnya tidak menemukan kualitas kepemimpinan yang prima. Selain menyaksikan sepak terjang mereka yang egoistis, rebut-rebutan kursi dan berupaya mendekati pusat kekuasaan. Tak punya konsep melakukan pendidikan politik. Maka, ketika muncul partai-partai baru dan sampai waktu untuk ikut Pemilu, hampir semua parpol tidak siap dengan kader yang berkualitas. Partai baru juga tidak siap dengan kader berkualitas.

“Jika kondisinya begitu, tak perlu heran, kalau kader yang masuk untuk ke pemerintahan dan legislatif, pun terbatas kemampuan mereka.” Celakanya, sistem Pemilu seperti menggiring proses untuk menjadi wakil rakyat dan memimpin daerah, memerlukan biaya yang tinggi. Sangat  mahal ongkos  kalau seorang kader mau bertarung di Pilkada dan Pileg. Walhasil, semua mengambil jalan pintas. Kader dan parpol sama bergerak mencari sumber dana. Kondisi ini yang kemudian memerangkap para kader parpol di pemerintahan dan legislatif terperangkap dalam korupsi. Menjadi pasien KPK. “Lihat saja. Kepala daerah dan anggota DPR seperti tak berhenti berurusan dengan KPK,” kata Doktor lulusan Universitas Hawaii, AS itu.

Kompetisi antar partai di Pileg 2019 nampaknya tambah ketat setelah diterimanya 4 partai baru. Yaitu, Perindo, PSI, Partai Berkarya dan Partai Garuda. Dengan patokan ambang batas kursi di parlemen sekitar 4 %, setiap partai minimal harus merebut 4 juta suara agar bisa sah berkiprah sebagai partai. Jumlah yang tidak mudah dicapai. Partai baru dan partai lama di papan bawah harus bertarung untuk lolos ambang batas (parliamentary threshold) itu.

Di kelompok partai lama papan menengah, rivalitas juga berlangsung ketat. 10 partai bersaing setidaknya untuk tetap bisa unggul dalam perebutan kursi wakil rakyat. Atau setidaknya bertahan di tiga atau lima besar perolehan kursi. Kini posisi no 1 ditempat PDIP,  selanjutnya berurutan disusul: Golkar, Gerindra, Demokrat dan PAN.

Dengan persiapan dan strategi masing-masing semua partai sudah mendaftarkan caleg mereka ke KPU. Heboh terjadi. Seusai penutupan pendaftaran oleh KPU, mulai terdengar komplain. Beberapa partai mengeluhkan caleg mereka—terutama yang sebekumnya berprofesi sebagai artis atau sekebritis--dibajak partai lain dengan iming-iming uang transfer.

Meski dibantah oleh pihak yang dituduh melakukan pembajakan dengan transfer uang, ihwal itu, menurut pengamat politik LIPI Prof DR  Siti Zuhro memperlihatkan dua hal. Pertama, parpol makin menggampangkan jalan untuk menaikkan elektabilitas. Kedua, mencoba memanfaatkan artis sebagai pendulang suara. “ Padahal, sudah terbukti pada Pemilu sebelumnya artis dan selebritis tidak lagi ampuh untuk merebut suara rakyat,” katanya.

Profesor riset politik lulusan Curtin University, Perth, Australia itu memberi ilustrasi. Jika sasaran suara itu 100. Maka paling tinggi caleg artis hanya memperoleh 40. “ Gak ada yang salah memilih jalan itu. Cuma kalau sekedar mencari vote getter dan tidak menentukan kualifikasi para artis, itu tidak baik bagi semuanya,” katanya. Di legislatif, kalau terpilih mereka tidak berbuat banyak. Apalagi di pemerintahan (walikota, bupati dan gubernur).

Malah dicalonkannya para artis itu menjadi masalah di internal partai. Peluang kader partai untuk ikut kontestasi jadi terhalang.

Apa pun, pendapat para pengamat, parpol sudah menentukan jalan dan strategi mereka. Di Pileg 2019 ini sejumlah partai tetap menjadikan para artis, selebritis dan pesohor lainnya menjadi caleg mereka. Menurut catatan Tim Cek & Cek, sedikit 49 artis tercatat namanya sebagai caleg di Pileg 2019. Jauh lebih banyak dari Pileg 2014. Sebanyak 39 artis.  Hanya 17 artis yang terpilih dan dilantik menjadi anggota DPR.

Partai Nasdem pada Pileg 2019 paling banyak menggaet artis dan pesohor lain: 23 orang. Disusul partai lainnya (lihat: Infografis).


Ada sekitar 17 artis dilantik menjadi anggota DPR usai Pileg 2014. Bagaimana kinerja mereka? “ Hanya segelintir dan bisa dihitung jari yang menonjol kinerjanya,” kata Sebastian Salang, Pendiri Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI).

Dia menyebut artis yang paling menonjol: Rieke Dyah Pitaloka, Nurul Arifin, Tantowi Yahya dan  sebelumnya Miing Bagito. Yang lain, ada yang sama sekali tidak terdengar kiprahnya. Tapi, ada juga yang berperan, tapi luput dari perhatian media. “ Yang paling banyak adalah kelompok artis yang tidak terdengar suaranya dan juga tidak terlihat peranannya,” kata Sebastian Salang, yang pada Pileg 2019 akan ikut menjadi Caleg dari Partai Golkar.

Mengapa para artis legislator tidak berfungsi di DPR, itu juga agaknya bagian dari tanggung jawab  fraksi atau partainya.

Hampir semua partai memiliki bidang pengawasan, pembinaan dan pendidikan.” “Tapi, umumnya hanya berfungsi di awal sebelum menjadi caleg. Setelah menjadi legislator, nyaris tak ada pendidikan dan pembinaan,” ujar Sebastian.

Dari keseluruhan proses,  peran dan tanggung jawab parpol atas kualitas personil dan juga kinerja mestinya cukup besar. Tapi itu jugalah yang dikeluhkan para pengamat politik Siti Zuhro dan juga Ryass Rasyid. Parpol masih lemah dalam menggencarkan pendidikan politik secara konsepsional. Padahal, sumber daya manusia untuk itu kini sudah cukup tersedia.

Sosiolog Imam Prasodjo mengingatkan para pimpinan partai perlu segera melakukan pembenahan diri. Selektif, terutama dalam mengusung wakil di Pilkada dan di Pileg.

Hasil di Pilkada 2018, sambung Imam Prasodjo, makin menunjukkan bahwa rakyat di daerah-daerah makin kritis terhadap parpol yang mengusung calon yang tidak disukai rakyat. “ Contoh kemenangan kotak kosong di pemilihan Walikota Makassar adalah fenomena rakyat menolak Parpol,” tegasnya.

Rakyat berdaulat atas suara mereka. Di pemilihan legislatif 2019, rakyat kembali akan menggunakan hak suara mereka. Memilih siapa di antara calon legislatif yang mereka percayai. Yang masih mengurus dan membela kepantingan mereka.




Berita Terkait