Oleh Zainal Muttaqin, MD., Ph.D.,
12/16/2024, 11:54 WIB
Ceknricek.com--Sebagai kepanjangan tangan negara, tugas pokok kementerian Kesehatan (Kemenkes) adalah merealisasikan pasal 28 H ayat 1 UUD 1945 yaitu “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin…….serta berhak memperoleh layanan kesehatan”. Selanjutnya, pada pasal 34 ayat 3 dinyatakan “negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”. Sebagaimana tugas Kemendikbud-Ristek untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan, tugas kemenkes ini merupakan kewajiban konstitusi dan sekaligus hak dari rakyat yang harus dipenuhi atas biaya negara.
Seorang menkes seharusnya memiliki landasan moral berfikir yang baik dan benar karena akan menjadi dasar semua kebijakan kesehatan yang dibuat. Kebijakan kesehatan seharusnya mengutamakan kepentingan dan pemenuhan hak konstitusional rakyat banyak, bukan kepentingan bisnis mencari untung, atau kepentingan lain (misalnya Transformasi Kesehatan) yang seolah-olah mengatasnamakan rakyat banyak. Semua orang tahu akan rekam jejak menkes kali ini adalah seorang bankir yang pekerjaannya seolah menolong nasabah padahal berburu rente/bunga bank.
RS Vertikal (RSV) adalah kepanjangan tangan negara dalam upaya pemenuhan hak-hak kesehatan rakyat banyak. Jadi, sebagai RS Rujukan Tersier, RSV harus memiliki visi dan misi serta berorientasi menyelesaikan semua persoalan kesehatan kuratif bagi sebagian besar warga masyarakat miskin. Bukan sebaliknya, demi meningkatkan revenue bak Industri Perbankan, RSV malah didorong untuk mengembangkan pelayanan dengan peralatan medis super canggih yang menyasar segolongan kecil masyarakat berpenghasilan menengah ke atas yang secara ekonomi mereka mampu menjangkau layanan kesehatan berbayar di RS Swasta.
Tidak Bermoral: RSV dijadikan Lembaga Bisnis, dan orang sakit jadi Obyek Bisnis
Dokter spesialis di RSV didorong untuk sebanyak-banyaknya memberikan layanan bagi pasien umum dan memasukkan pasien ke ruang rawat inap VIP-VVIP. Kinerja dokter spesialis diukur dari seberapa banyak dokter tersebut menggunakan pemeriksaan alat-alat canggih yang tersedia di RSV. Hal ini tertulis jelas sebagai instruksi dirjen yankes kepada seluruh dirut RSV, atas arahan menkes, yang tertuang dalam surat No. TK.04.01/D.IV/795/2024. Insentif dokter spesialis yang sepenuhnya diukur berdasarkan azas Fee for Service ini menjadikan RSV sama persis dan tidak ada bedanya dengan kebanyakan RS Swasta yang memang punya misi bisnis mencari untung.
Jadi RSV telah diubah menjadi alat bisnis layanan kesehatan oleh pemerintah kepada rakyatnya, dengan orang sakit sebagai obyek bisnisnya. Ini adalah bentuk nyata disorientasi peran dan fungsi RSV yang tidak lagi menjadi kepanjangan tangan negara guna memenuhi hak-hak kesehatan rakyat. Akibat dari disorientasi ini adalah semakin tidak terjangkaunya layanan kesehatan spesialistik yang berkualitas bagi rakyat miskin. Selain itu akses rakyat miskin, khususnya peserta BPJS klas 3 yang berjumlah 190 juta orang, untuk bisa dirawat di RSV menjadi semakin panjang antrean/ waktu tunggunya.
Pengangkatan seorang Bankir sebagai menkes adalah pilihan tepat untuk mencapai tujuan sesat ini. Organisasi Profesi Dokter dengan seluruh perangkat etik yang melekat pasti akan menolak Disorientasi Layanan Kesehatan ini, oleh karena itu kehadirannya mesti dieliminasi dan perannya mesti dikerdilkan.
Pentingnya Nilai Moral dan Etika Profesi dalam Pendidikan Calon Dokter Spesialis
“Tidak seorangpun boleh tercederai saat mencari pertolongan” demikian menurut WHO terkait profesi kedokteran. Kedokteran adalah profesi yang menolong, pelayanan kepada pasien adalah kepedulian, bukan jual-beli mencari untung seperti seorang bankir yang mencari rente. Dokter harus selalu kompeten dengan selalu memperbaharui pengetahuan dan ketrampilannya demi penyelenggaraan praktek kedokteran yang mengutamakan patient safety.
Pendidikan dokter dan dokter spesialis bertujuan menghasilkan manusia yang memiliki kompetensi berlandaskan pengetahuan kedokteran yang cukup (body of knowledge) serta memiliki landasan etika dan profesionalitas dalam mengaplikasikan ilmunya. Untuk itu maka disusun sebuah standar pendidikan dokter dan standar pendidikan dokter spesialis setiap bidang ilmu. Semua standar pendidikan yang mencakup standar kompetensi, standar profesi, dan standar praktek profesi ini disusun secara mandiri (independent) oleh Kolegium Disiplin Ilmu dan telah disahkan oleh Konsil Kedokteran.
Tiga hal penting terkait pendidikan dokter spesialis adalah tercapainya kompetensi, terpeliharanya etika profesi, dan terjaminnya patient safety. Patient safety tidak boleh dikorbankan atas nama pendidikan untuk pencapaian kompetensi. Ini tidak mudah karena seorang peserta didik tidak bisa hanya berlatih pada manekin/ boneka. Di sisi lain, pasien yang berobat di RS pendidikan tidak boleh dianggap menyediakan diri untuk dijadikan manusia coba/ sarana latihan bagi para calon spesialis.
“ Pelajarilah Adab dan Akhlak sebelum engkau mempelajari suatu Ilmu” demikian kata bijak dari seorang Imam Malik Rahimahullah. Artinya, Pendidikan dokter spesialis hanya bisa dilakukan dalam sebuah lingkungan RS yang mendahulukan Adab dan Akhlak (baca: Etika Profesi) sebelum mengajarkan ilmu (baca: Kompetensi). Mana mungkin proses penanaman nilai moral dalam bentuk etika profesi ini bisa bersemai bila para pendidiknya (para dokter spesialis/ dokter pendidik klinis) tidak bisa jadi Role Model, alias bekerja berlandaskan Adab dan Akhlak yang sama. Nilai-nilai terkait Etika profesi tidak mungkin menjadi acuan bila lahan pendidikan dokter spesialis (baca: RS Vertikal) menerapkan standar ganda, akibat adanya perintah menkes (surat dirjen yankes No. TK.04.01/D.IV/795/2024), untuk mengukur kinerja dan menentukan besaran insentif dokter spesialis dari seberapa besar dia bisa menghasilkan revenue bagi RS.
Melalui surat dirjen yankes No. TK.04.01/D.IV/795/2024 ini, menkes tidak cuma meminta tapi memerintahkan para spesialis untuk berlomba sebanyak mungkin memanfaatkan pemeriksaan dan tindakan medis dengan alat-alat canggih bagi para pasiennya, demi mengejar skor kinerja dan gaji yang semakin besar. Isi surat dirjen yankes (baca: perintah menkes) tersebut secara diametral bertentangan dengan Etika Profesi Kedokteran. Diagnosa penyakit harus dimulai dengan anamnesa dan pemeriksaan fisik yang runut dan baik. Pemeriksaan dengan alat-alat canggih adalah penunjang, hanya yang diperlukan saja yang dilakukan.
RS Vertikal Bukan Tempat yang Pantas untuk Mendidik Calon Dokter Spesialis
Nilai moral dalam berprofesi yang terbentuk akan diwarnai oleh sistem dan lingkungan di wahana pendidikan, dan role model dari para pendidiknya. Tidak terbayangkan dokter spesialis seperti apa yang akan dihasilkan dengan model Pendidikan spesialis ala menkes, yang akan segera dimulai di berbagai RS Vertikal. Para spesialis produk dari model ala menkes ini tentu akan bekerja berlandaskan Etika Bisnis, atau berdagang dengan mencari cuan sebesar-besarnya dari rakyat yang sakit. Mereka siap untuk menjual ilmu dan kompetensinya demi sebanyak-banyaknya memperoleh cuan.
Disaat yang sama dokter juga berperan sebagai alat dari industri layanan kesehatan untuk meningkatkan utilisasi berbagai peralatan medis canggih. Semakin lama sakitnya, semakin berulang pasien datang ke RS, dan semakin banyak pemeriksaan atau tindakan dengan alat canggih akan semakin menguntungkan dokter dan pemilik modal. Jelas sekali arah kebijakan kesehatan di negeri Konoha ini, sebuah transformasi layanan kesehatan dari sebuah kewajiban konstitusi negara kepada rakyatnya menjadi sebuah bisnis jual beli negara kepada rakyatnya, dengan orang sakit sebagai obyek bisnisnya.
Masyarakat luas dan berbagai kelompok Civil Society harus tahu betapa berbahayanya perintah menkes lewat surat dirjen yankes No. TK.04.01/D.IV/795/2024 kepada semua dirut RSV ini. Rakyat banyak alias peserta BPJS kelas 3 yang jumlahnya mencapai hampir 200 juta orang inilah yang pertama akan merasakan dampak buruk dari transformasi kesehatan ala menkes ini. Bila para wakil rakyat (DPR) secara sadar maupun tanpa disadari menjadi bagian dari program kapitalisasi dan industrialisasi kesehatan ala menkes ini, maka kami dokter Indonesia hanya bisa berharap kepada Presiden RI, Prabowo Subianto, untuk segera menghentikan program atau perintah menkes yang bertentangan dengan Moral dan Etika Kedokteran ini, demi mengembalikan tupoksi kemenkes sebagai kepanjangan tangan negara guna memenuhi hak-hak kesehatan seluruh rakyat.
#Zainal Muttaqin, Pengampu Pendidikan Dokter, Guru Besar FK Universitas Diponegoro
Editor: Ariful Hakim