Islamophobia | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Ilustrasi: Gustavo Reyes

Islamophobia

Oleh: Romy Bareno*


Pertengahan 2001, saya yang saat itu baru mau memulai quarter (sistem kalender kuliah per 3 bulan) pertama saya, melihat sesuatu yang berbeda di negeri Paman Sam tersebut. Negeri yang di lirik lagu kebangsaannya saja tertulis land of the free and the home of the brave, tiba-tiba terasa mencekam. Bagaimana tidak, jantung ekonomi negara adidaya tersebut baru saja terkena serangan teroris pada 11 September. Tidak tanggung-tanggung, icon perekonomian Amerika Serikat, kalau bukan icon bisnis dunia, yaitu gedung World Trade Center yang juga dijuluki The Twin Tower, luluh lantah rata dengan tanah setelah ditabrak oleh 2 buah pesawat komersil. Itulah serangan teroris terbesar di era millenial. Ribuan orang tewas seketika, termasuk 19 teroris yang membajak pesawat United Airlines.

Masyarakat Amerika Serikat saat itu tampak bertanya-tanya penuh dengan kebingungan, kenapa negeri yang menjadi simbol kebebasan itu justru menjadi target dari teroris. Belakangan, begitu mereka mengetahui bahwa kelompok teroris bernama Al-Qaeda berlatarkan Islam radikal (Islam garis keras), dengan pimpinannya bernama Osama Bin Laden, menjadi dalang dari aksi keji tersebut, mereka pun justru semakin cemas. Mereka heran, kenapa satu agama bisa melakukan aksi sekejam itu dengan menggunakan dalil-dalil agama? Apa sebetulnya yang diajarkan oleh agama Islam? Dan sudah berapa banyak anggota Al-Qaida di Amerika Serikat? Dan kalau agama Islam memang mengajarkan kekerasan, lantas bagaimana dengan pandangan umat Islam lainnya yang tersebar di seluruh penjuru Amerika Serikat? Apakah mereka akan melakukan serangan serupa atau "serangan susulan"? Islam pun menjadi agama yang menjadi sorotan dan dipersalahkan bagi sebagian masyarakat di Amerika Serikat. Bahkan tidak sedikit pula yang menjadi takut dan benci terhadap agama Islam dan umatnya. Beberapa umat islam disana kabarnya mendapatkan serangan. Ada yang mendapatkan hinaan, makian, bahkan beberapa toko-toko yang dimiliki orang islam kabarnya ditimpuki oleh massa. Sikap-sikap seperti ini belakangan dikenal sebagai istilah Islamophobia. Apa itu? Istilah ini menurut wikipedia berasal dari lembaga think tank asal Inggris yang bernama Runnymede Trust, yang mendeskripsikan Islamophobia sebagai rasa takut, benci dan berujung pada diskriminasi kepada Islam dan umat muslim dari kehidupan ekonomi, sosial, dan bermasyarakat; dan menganggap Islam lebih seperti ide politik yang bengis daripada berupa suatu agama.


17 tahun telah berlalu. Bukannya meredup, justru Islamophobia pun semakin meluas. Tidak hanya di Amerika Serikat, beberapa negara Eropa yang sudah jadi korban aksi keji teroris pun turut memperketat aturan imigrasi mereka, terutama terhadap negara-negara dari timur tengah atau dari negara Asia yang mayoritas penduduk Muslim. Bahkan, negara yang belum banyak terkena serangan teroris pun juga turut mencurigai agama Islam sebagai agama kekerasan. Belanda salah satu contohnya. Lewat partai kedua terbesar disana saat ini, yaitu Partai Kemerdekaan bentukan Geert Wilders pada 2006, kampanye anti Islam marak disuarakan lewat berbagai tempat, media tradisional, bahkan media sosial. Lantas apakah gerakan radikal jadi meredup karena hukum yang memberikan wewenang "lebih" kuat kepada aparat, dan kampanye anti islam? Justru sebaliknya. Setelah pemimpin Al-Qaida dilumpuhkan pada 2011, justru organisasi yang lebih radikal lagi yang bernama ISIS, tumbuh berkembang pesat. Bila Al-Qaida hanya terpusat di Afghanistan, ISIS menyebar dengan cepat di negara-negara timur tengah, bahkan melebarkan sayap hingga ke negara Afrika dan bahkan Asia.

Bagaimana dengan Indonesia? Meski sudah berkali-kali terkena serangan berbagai kelompok teroris, ISIS belum berkembang segitu pesatnya di negeri gemah ripah loh jinawi ini. Namun bukan berarti tidak tumbuh organisasi-organisasi Islam yang dicap radikal. Salah satunya yang paling ramai belakangan ini yaitu Hizbut Tahrir Indonesia, atau disingkat HTI, yang juga merupakan gerakan Islam radikal "impor", dari yerusalem. Organisasi yang dibubarkan oleh pemerintah Indonesia pada 2017 ini, dianggap berbahaya karena ingin mengganti sistem Indonesia dari demokrasi pancasila menjadi negara Islam, meski tidak dijelaskan apakah menggantinya dengan cara revolusi atau pemberontakan dan kekerasan seperti ISIS, atau melalui jalur demokrasi. Yang pasti, gerakan radikal ini juga mendapatkan perlawanan dari organisasi Islam lainnya. Salah satunya yang terhangat adalah kejadian di Garut pada tanggal 22 Oktober 2018, bertepatan pada Hari Santri Nasional, ketika sekelompok pemuda dengan atribut Banser NU membakar bendera berlafazkan kalimat tauhid, yang dicap sebagai bendera HTI. Memang faktanya HTI sering memakai panji-panji Rasulullah tersebut dalam berbagai kegiatan ormas mereka, seperti demo. Lantas apa yang salah ketika sekelompok orang membakar bendera dan panji-panji yang sering dipakai oleh HTI tersebut?

Mungkin kita semua harus mendengarkan juga perkembangan Islamophobia dari dunia barat. Pada 2013, di universitas Oxford, ada 2 kelompok yang berdebat untuk mengeluarkan mosi apakah Islam adalah agama damai, atau agama kekerasan. Perwakilan dari kelompok yang pro terhadap pendapat Islam adalah negara damai, diwakili salah satunya oleh Mehdi Hasan, seorang jurnalis beragama Islam kelahiran Inggris. Mehdi dalam salah satu argumennya berkata kepada kelompok oposisinya: "anggaplah ada 16 ribu orang Islam yang sudah melakukan bom bunuh diri selama ini, meski saya tidak yakin angkanya sampai segitu. Itu artinya sama dengan 0,0001% dari total kurang lebih 1,6 milyar umat muslim satu dunia yang setuju bahwa agama Islam adalah agama yang penuh kekerasan. Kenapa anda semua tidak mendengarkan pendapat yang 99,9999% lainnya? Jika Osama Bin Laden masih hidup saat ini dan ada disini, maka dia akan sangat setuju dan duduk bersama dengan anda". Saya jadi merenungkan kalimat Mehdi Hasan tersebut. Apabila HTI merasa bahwa panji Rasulullah adalah bendera mereka, apakah umat Islam yang lain juga harus ikut-ikutan menyetujui pendapat HTI dan mencap bahwa bendera berlafazkan kalimat tauhid tersebut sebagai bendera HTI? Seberapa besarkah ormas bernama HTI tsb? Terus terang saya tidak tahu. Tapi saya yakin bahwa HTI masih minoritas diantara umat muslim Indonesia. Bagaimana dengan pendapat umat Muslim lainnya? Apakah kita tidak mau "mendengar"? Padahal di dalam Islam sudah diingatkan berkali-kali oleh Allah bahayanya sifat tidak mau mendengar.

"Sesungguhnya mahluk bergerak yang bernyawa yang paling buruk dalam pandangan Allah ialah mereka yang tuli dan bisu (tidak mendengar dan memahami kebenaran), yaitu orang-orang yang tidak mengerti" - QS Al-Anfaal ayat 22

Kalau sudah begini, apakah Indonesia juga sudah ikut-ikutan terkena wabah Islamophobia? Saya tidak tahu. Yang pasti, sebagian besar televisi nasional tidak menyiarkan demo yang dilakukan umat Islam yang berjudul "Aksi Bela Tauhid" yang terjadi 26 Oktober 2018. Kenapa? Kabarnya takut dianggap provokasi dan memanaskan situasi  umat Islam dan bisa berujung demo yang lebih besar lagi, atau bahkan kisruh. Benarkah dugaan-dugaan tersebut? Yang pasti soliditas Islam semakin kuat. Tanggal 2 Desember 2018, Presidium Alumni (PA) 212 kembali menggelar acara reuni akbar mengingat Aksi Bela Islam yang dilakukan umat Islam pada 2016 saat mengawal kasus Gubernur Jakarta, Ahok, pada saat itu yang dianggap menista agama. Banyak tudingan bahwa ini merupakan gerakan politik, banyak pula yang menuduh ini massa yang dibayar demi mendukung salah satu capres dan menunggangi umat Islam. Ada pula yang berwacana akan menurunkan bendera tauhid kalau sampai terlihat di acara reuni karena alasan demi mempertahankan NKRI. Apakah umat Islam di Indonesia sudah se-menakutkan dan se-bengis itu? Reuni sudah berakhir, dan tidak ada satupun korban jiwa akibat kerusuhan. Semua berjalan tertib dan damai seperti diakui banyak pihak. Namun... lagi-lagi.. media kembali bungkam dan membisu. Kenapa? Apakah Islamophobia sudah melanda industri media? Wallahu a’lam bissawab.

* Penulis Romy Bareno B.A., M.A. , tinggal di Jakarta.

Tulisan dan makna dalam kolom ini di luar tanggung jawab redaksi ceknricek.com

 



Berita Terkait