Jangan Sampai RI Hanya Jadi OB di Rumah Sendiri | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto: Istimewa

Jangan Sampai RI Hanya Jadi OB di Rumah Sendiri

Ceknricek.com-- Carut marutnya dunia penerbangan Indonesia belakangan ini terlihat antara lain tentang penentuan International Airport dan Domestik. Penggunaan Pangkalan Angkatan Udara Halim yang berstatus Markas Besar Pertahanan Udara Nasional digunakan sebagai Bandara penerbangan sipil komersial. Wilayah terbatas bagi instalasi pertahanan negara telah berubah menjadi kawasan publik yang terbuka. 

Selain itu, pembangunan beberapa International Airport yang mubazir antara lain Kertajati. Bubarnya maskapai penerbangan milik pemerintah seperti Merpati Nusantara Airlines dan kesulitan keuangan parah yang dialami secara berkala oleh Maskapai pembawa bendera Garuda Indonesia. Munculnya banyak keluhan mahalnya harga tiket pesawat terbang dalam negeri dan lain lain.  

Chappy Hakim, Kepala Staf TNI Angkatan Udara periode 2002–2005 yang juga Praktisi/Analis Penerbangan/Ketua Umum Pusat Studi Air Power Indonesia mengaku prihatin dan mencoba memberikan pandangannya dalam sebuah wawancara singkat, Rabu (4/6/25).Berikut petikannya:

Bagaimana pandangan anda terkait beragam persoalan di sektor angkutan udara nasional?

Pemerintah tampaknya belum juga sadar bahwa kita sedang menghadapi krisis besar dalam sektor angkutan udara nasional. Bukan sekadar soal maskapai sulit memperoleh penumpang akibat daya beli masyarakat yang menurun, atau karena program penghematan ekonomi pemerintah. Ini bukan masalah teknis semata, melainkan persoalan strategis nasional yang menyangkut eksistensi dan kedaulatan negara di udara.

Indonesia hari ini tidak lagi memiliki maskapai yang benar-benar menjadi instrumen negara. Sejak Maskapai Nasional Indonesia (MNA) hanya menjadi kenangan sejarah, Garuda Indonesia terpuruk dalam lilitan utang, dan Pelita Air tak pernah tumbuh menjadi pilar negara yang diharapkan, kita praktis tak punya kendaraan udara nasional yang bisa dibanggakan dan diandalkan. Negara bahkan tidak bertindak sebagai penyelenggara sistem perhubungan udara nasional. Ini adalah kelalaian fatal yang kelak bisa berujung pada hilangnya kontrol negara atas wilayah udaranya sendiri.

Anda melihat ada pembiaran di sektor angkutan udara?

Sebagai negara kepulauan, Indonesia mustahil menjamin keutuhan wilayah tanpa sistem angkutan udara yang kokoh. Dalam banyak negara, sistem ini dianggap sebagai bagian dari arsitektur pertahanan dan kedaulatan negara. Maka, membiarkan sektor ini dikendalikan sepenuhnya oleh mekanisme pasar tanpa intervensi negara adalah kekeliruan yang sangat berbahaya. Negara-negara berdaulat lainnya sadar betul bahwa transportasi udara bukan hanya soal bisnis, tapi soal fungsi strategis nasional.

Apa yang sebetulnya dibutuhkan?

Kita membutuhkan setidaknya empat jenis maskapai negara: (1) flag carrier sebagai simbol negara di panggung dunia, (2) maskapai perintis untuk menjangkau daerah terluar dan tertinggal, (3) maskapai charter untuk mendukung mobilitas nasional dalam kondisi darurat, dan (4) maskapai kargo yang menjamin logistik strategis antarwilayah. Tanpa keempatnya, Indonesia ibarat tubuh tanpa nadi. Loyo, lambat, dan rentan lumpuh.

Sayangnya, logika pemerintah masih terperangkap dalam paradigma laba-rugi. Semua BUMN, termasuk maskapai, dituntut untung. Tapi mari kita balik pertanyaannya: apakah TNI dituntut untung? Apakah pengamanan perbatasan harus memberikan dividen? Tidak. Karena itu bagian dari tugas negara menjaga keutuhan dan keselamatan bangsa. Begitu pula seharusnya peran negara dalam sektor udara.

Dengan kondisi seperti ini, apa prediksi anda ke depannya terkait nasib angkutan udara kita?

Perlu disadari, bahwa sistem transportasi udara global tidak menunggu kita. Dunia punya mekanisme tersendiri untuk menyortir negara mana yang mampu dan tidak mampu menyelenggarakan sistem penerbangan yang layak.

Jika Indonesia dianggap gagal, maka bisa saja kelak negara lain ditugaskan menyelenggarakan pelayanan udara atas wilayah kita. Ketika itu terjadi, Indonesia hanya akan menjadi OB (office boy -red)di rumah sendiri — ada, tapi tak berdaya. Ini bukan imajinasi. Ini adalah realitas global dalam sistem penerbangan sipil dunia.

Langkah mendesak apa yang harus dilakukan pemerintah?

Kita harus segera membangun kembali sistem nasional perhubungan udara secara menyeluruh. Pemerintah perlu mengambil alih kendali, bukan sekadar jadi regulator, tetapi juga pelaku utama. Tak cukup mengandalkan investor atau mekanisme pasar. Negara harus turun tangan—dengan visi, keberanian, dan kesadaran penuh bahwa ini menyangkut kedaulatan bangsa.

Langit Indonesia bukan ruang kosong. Ia adalah wilayah strategis yang harus dijaga, diatur, dan dikuasai oleh negara. Jika hari ini kita masih enggan melakukannya, maka esok kita harus bersiap menyerahkan kendali udara pada pihak lain. Dan saat itu terjadi, jangan salahkan siapa-siapa.

Karena sesungguhnya, negara yang tak mampu mengurus perhubungan udara nya, tengah mengantar untuk menjadi negara gagal.


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait