RNI (Rangkaian Ngopi Imajiner) Bersama Gus Dur:
Ceknricek.com--Heboh soal penggunaan jet pribadi oleh anak penguasa dan menantunya seolah pupus tatkala liputan hadirnya Paus Fransiskus meriuhkan wacana masyarakat Nusantara, baik di media main stream maupun online.
Pimpinan tertinggi umat Katolik tersebut tampak memakai jam tangan analog hitam dengan bagian tengahnya berwarna putih, hal ini riuh diperbincangkan di dunia maya.
Warganet +62 ramai menduga jam tangan yang dipakai Paus adalah merek Casio seri MQ24-7B2, akan tetapi ada juga dugaan lain bahwa Paus Fransiskus menggunakan jam tangan merk Swatch seri SO29B703 Twice Again.
Dikutip dari laman Swatch, jam tangan seri ini memiliki diameter 47,4 x 41 milimeter dengan ketebalan 9,85 milimeter dan dijual dengan harga 70,95 euro atau sekitar Rp 1,22 juta (dengan kurs Rp17.178) sebagaimana dilansir dari laman HouseofWatches.
Tak hanya itu, kesederhanaan Paus memilih mobil Toyota Innova Zenix ketimbang mobil mewah layaknya pejabat di Indonesia kian memicu kehebohan dan simpati tiada henti. Sebelumnya, tampak jelas Paus mendarat di Jakarta tidak menggunakan pesawat jet pribadi tapi menggunakan pesawat komersial ALITALIA saat tiba di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Saat dijemput, Paus memilih duduk di depan atau sebelah supir dibanding duduk di kursi tengah yang menghilangkan batas kelas antara pengemudi dan penumpang.
Paus mendobrak pandangan umum bahwa seorang tamu penting akan duduk di tengah sementara pengemudi tetap di depan sebagai rasa hormat ke tamu tersebut.
Saat duduk di kursi depan, Paus juga menyapa dengan senyuman tulus dan raut wajah bahagia para warga yang berdiri di pinggir jalan. Saat menyapa Paus membuka jendela agar bisa terlihat jelas oleh umatnya, meskipun ini menjadi risiko tersendiri yakni menghirup udara kotor Jakarta dengan paru-parunya yang tinggal satu (untuk diketahui saja, saat itu Jakarta menjadi kota dengan kualitas udara keenam terburuk di dunia).
“Jembatan hati yang beliau paparkan dalam pidatonya seakan gamblang diwujudkannya dalam tindak keseharian nan sederhana, tanpa kemunafikan, bukan sebatas wacana” tukas Gus Dur tiba-tiba.
“Inilah yang ditekankan teman filsuf saya Epicurus yang mengajarkan untuk selalu merasa cukup dengan apapun yang dimiliki dan disesuaikan dengan kondisi senyatanya. Kesederhanaan mampu menjadi sumber kebahagiaan tersendiri, karena dengan hidup sederhana, kita bisa lebih mengenal diri sendiri, lebih mensyukuri hidup, dan dapat meningkatkan kualitas hubungan sosial.
Tak berlebihan bila ditandaskan bahwa kesederhanaan sejati adalah landasan bagi lintasan jembatan hati yang menghubungkan kita sebagai anak bangsa yang harmoni dan bersatu-padu, bahkan menyatukan umat manusia.
Lalu, sobat saya Aristoteles dalam buku Nicomachean Ethics, mencoba merangkai hal kesederhanaan tersebut dengan kebahagiaan manusia. Aristoteles sedang tidak menunjukkan secara persis disposisi bahagia, sebab bahagia adalah identik dengan aktivitas mengejar kebahagiaan itu sendiri.
Oleh karenanya, kebahagiaan terwujud saat seseorang memberikan kasih secara tulus terhadap sesamanya, sehingga kebahagiaan yang diberikan menjadi berkat bagi seluruh aktivitas yang dijalani, dan dari situlah sukacita akan tumbuh melalui semangat cinta yang berkobar-kobar.
Kesederhanaan menyadarkan orang bahwa hidup bahagia itu tidak perlu menampilkan kemewahan semata, tetapi dengan berpenampilan sederhana orang akan lebih merasa nyaman dengan hidupnya. Jika hidup terus mengikuti gengsi, nafsu serakah, maka hidup akan penuh dengan ketidak-bahagiaan. Sikap sederhana akan membawa setiap orang pada keseimbangan, karena merasa tidak kurang dan tidak lebih justru akan membuat hidup lebih bahagia.
Inilah yang secara nyata ditampilkan kolega saya Imam Besar Masjid Istiqlal tatkala beliau mencium kening Sri Paus dalam kobaran cinta persaudaraan sembari Sang Paus juga mencium tangannya. Jembatan hati telah melandasi dan menerangi terowongan silaturahmi yang telah terhampar di hadapan kita.
Inilah yang memang harus diwariskan bagi kaum muda bangsa, generasi muda, sebagai kelompok demografis yang akan memimpin masa depan, memainkan peran penting dalam membentuk sikap dan kebijakan terkait silaturahmi kemanusiaan yang menyatukan bangsa ini dan menjadi harta tak terperi yang harus terus dipelihara dan ditumbuh-kembangkan tanpa henti.
Wes Mas..masa saya dan Mulyono sudah lewat..kita sudah uzur..saatnya anak-anak muda bangsa melanjutkan kisah ini dalam cerlang sinar terowongan silaturahmi,” pungkas Gus Dur lalu menghilang.
*) Greg Teguh Santoso, mengembara dalam ranah ilmu sembari berbagi pengetahuan.
Editor: Ariful Hakim