Kacang Bogares, Cemilan Khas Tegal Tembus Selandia Baru | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto: Istimewa

Kacang Bogares, Cemilan Khas Tegal Tembus Selandia Baru

Ceknricek.com--Menyebut nama Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, orang biasanya langsung teringat pada Warung Tegal (Warteg). Tidak salah memang. Eksistensi Warteg sudah teruji oleh perubahan zaman, seperti laiknya RM Padang, yang sudah menyebar ke mana mana.

Kuliner Warung Tegal memang sudah identik, seperti halnya beberapa cemilan yang biasa dijadikan oleh oleh jika orang berkunjung ke Tegal. Sebut saja tahu aci, antor dan pilus, selain kacang bogares, yang merujuk pada Desa Bogares Kidul, Kecamatan Pangkah, Kabupaten Tegal, sebagai sentra produksinya.  Kacang dengan cita rasa gurih, asin, manis dengan sensasi rasa kacang yang "keluar" ini, membuat mereka yang mencicipi bakal ketagihan. Potensi pasarnya pun masih menjanjikan.

Modal Awal Rp 200 Ribu

Potensi pasar yang masih terbuka lebar inilah yang memantik H. Warmo (46) misalnya,  untuk terjun menggeluti bisnis kacang bogares. Kebetulan orang tuanya juga penjual kacang asin. Dengan modal awal Rp 200 ribu, H. Warmo kulakan kacang bogares pada teman temannya. Sebagai warga asli Desa Bogares Kidul, ia menjual kacang itu di rumah orang tuanya sejak tahun 2007.

"Itu toko pertama saya, selain saya juga titip ke toko toko yang lain,"kata H. Warmo saat dihubungi belum lama ini.

Toko H. Warmo

Sekitar tahun 2010, H. Warmo kemudian memutuskan untuk memproduksi kacang bogares sendiri. Kebetulan ia menikah dengan orang Slawi -ibukota Kabupaten Tegal yang berjarak beberapa kilometer dari Desa Bogares. Saat pindah rumah, pembuat kacang bogares yang memasok jualannya mengaku tidak sanggup lagi. Hal ini lantaran mereka juga harus memasok pelanggan lama.

Berbekal "ilmu" dari orang tuanya, H. Warmo akhirnya memilih untuk tidak bergantung pada suplier. Dengan kerja keras dan ketekunan, tokonya kemudian berkembang.  Hingga sekarang, ia sudah memiliki tiga toko oleh oleh khas Tegal, dengan kacang bogares sebagai jagoannya. "Tapi kalau mau beli oleh oleh lain juga ada. Misal pilus atau antor,"kata H. Warmo.

Dalam sehari, ia bisa memproduksi 120-150 kg kacang bogares untuk memenuhi kebutuhan tiga tokonya. Kacang itu dibungkus dalam kemasan setengah kilogram dan seperempat kilogram dengan harga jual masing masing Rp 32 ribu dan Rp 16 ribu. Bahan kacang mentah dipasok juragan kacang tanah dari Slawi dan Jatibarang -kota tetangga Slawi.

Menariknya -banyak yang tidak tahu- kacang bogares ternyata lebih banyak dibuat dari kacang impor. Selain besarnya merata, harga kacang impor juga lebih murah dibanding kacang lokal. Belum lagi soal kualitasnya. Kacang lokal sering masih basah, hingga harus dijemur dulu.

"Pokoknya ribetlah kalau pakai kacang lokal,"kata H. Warmo.

Hanya saja, pada bulan-bulan tertentu, bahan baku kacang impor susah didapat. Alhasil, H. Warmo harus memakai kacang lokal. Ia biasanya membeli kacang sekali datang 2-4 ton. Kacang itu diolah tiap hari selain untuk memasok toko tokonya, juga melayani pembeli lewat marketplace.

"Dulu sempat menyuplai banyak toko, sampai 300 toko, tapi divisi marketing akhirnya saya bubarkan. Soalnya banyak masalah pelaporan uang masuk. Saya sampai rugi 17 juta,"kata H. Warmo.

Terkait pemasaran, produk kacang bogares H. Warmo bahkan pernah tembus ke pasar Selandia Baru, lewat tangan kedua.Tapi kendala bahan baku yang tidak konsisten, membuat ia menghentikan pasokan impor. Dengan omzet dari 3 tokonya sebesar 250-300 juta perbulan dan telah memperkerjakan 23 karyawan, kini H. Warmo mengaku sedang fokus belajar menanam kacang sendiri.

Suasana Desa Bogares

Menurut H. Warmo, prospek usaha kacang bogares masih sangat cerah. Ini melihat fakta banyak kecamatan di Kabupaten Tegal yang belum punya toko oleh oleh. Selain itu, mayoritas orang Indonesia suka dengan cemilan kacang. "Kecuali orang yang sakit kolesterol atau sama dokter dilarang makan kacang. Hampir dipastikan orang Indonesia suka makan kacang,"katanya.

Dalam sejarahnya, nama Kacang Asin Bogares sendiri pertama kali dibuat oleh Almarhum Kurdi. Awalnya ia menjualnya keliling menitip ke toko kecil. Dengan modal yang minim, Kurdi hanya memproduksi kurang lebih 10 Kg setiap hari. Dengan ulet ia menggoreng dan menjualnya sendiri selama kurang lebih tiga tahun. 

Usaha yang coba-coba menjadi maju bahkan bukan sampingan lagi hingga produksinya mencapai kurang lebih 1,3 ton perbulan. Karena pekerjaan kacangnya semakin banyak, maka Kurdi dibantu oleh anak-anaknya. Kesuksesan Kurdi "menular" ke warga lain, termasuk ke keluarga H. Warmo, hingga Desa Bogares menjadi sentra produksi kacang bogares.

Sebenarnya, kacang bogares diproduksi dari olahan kacang tanah yang diolah sedemikian rupa sehingga menghasilkan rasa yang khas. Proses pengolahannya tidak digoreng, melainkan disangrai.  Agar timbul rasa yang gurih dan sedikit manis dengan aroma yang khas dan harum, beberapa perajin kacang bogares memberi rasa bawang pada produk kacangnya.

Inspirasi Kata Oma Telur Gabus

Keuletan H. Warmo menjalankan usaha kecilnya tak lepas dari inspirasi pihak lain, salah satunya dari Kata Oma Telur Gabus. Menurutnya, sikap istiqomah, kerja keras dan semangat tak pantang menyerah dari Kata Oma Telur Gabus, membuatnya tetap tabah bahkan saat mengalami kerugian.

“Jujur saja, saya sangat terinspirasi dengan pencapaian luar biasa yang diraih Kata Oma Telur Gabus,"kata H. Warmo.

Memang, usaha Kata Oma Telur Gabus dalam membangun bisnisnya menjadi inspirasi bagi banyak pelaku UKM Tanah Air. Konsistensinya dalam memproduksi jajanan sehat tanpa bahan pengawet, menjadi jalan mulus bagi Kata Oma untuk merambah gurita bisnisnya. Bukan hanya oleh konsumen Tanah Air, Kata Oma juga bisa dinikmati oleh masyarakat global.

Foto: Istimewa

Seperti diketahui, Kata Oma Telur Gabus dianugerahi sebagai The Best UMKM Expo Brilianpreneur 2020. Kata Oma menyisihkan lebih dari 500 peserta lainnya pada ajang bergengsi yang diinisiasi Bank BRI tersebut.

Dilansir dari website resmi Kata Oma, camilan tradisional ini pertama dibuat pada 1980. Telur Gabus buatan Oma yang diracik tanpa MSG ini rupanya sangat digemari oleh keluarga. Pada 2016, atas saran keluarga, Oma mulai mengormersilkan produknya itu dengan merek Cooocok.

Dua tahun kemudian, bisnis rumahan ini diteruskan oleh putri dan kedua rekannya. Produk yang semula diberi merek Cooocok, akhirnya diubah menjadi Kata Oma, nama yang lebih familiar. Saat ini Kata Oma Telur Gabus sudah menjadi salah satu ‘raksasa’ UKM Tanah Air. Terlebih, setelah bergandeng tangan dengan Unifam sebagai mitra bisnisnya.

Camilan ini ternyata bukan hanya cocok bagi lidah Asia. Kata Oma Telur Gabus juga digemari orang bule. Terbukti, selain ke negara-negara Asean, Korea Selatan dan China, produk ini juga didistribusikan ke Amerika Serikat dan Australia. Ayo UKM, Tunggu Apa Lagi!?


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait