Ceknricek.com--Terkait dengan meninggalnya dr. Aulia Risma Lestari (ARL), peserta didik PPDS Anestesi FK Undip, pada tanggal 13/8/2024, menkes langsung merespon cepat dengan Surat No. TK. 02.02/D/44137/2024, tanggal 14/8/2024 tentang Pemberhentian Program Anestesi Undip di RS Dr.Kariadi, sehubungan dengan dugaan terjadinya perundungan, yang menyebabkan terjadinya bunuh diri pada salah satu peserta didik PPDS. Dalam surat yang ditandatangani oleh Dirjen Yankes tersebut jelas disebutkan ‘dugaan perundungan’ dan ‘bunuh diri’ sebagai penyebab kematian Dr ARL, sebelum ada langkah pemeriksaan oleh Aparat Penegak Hukum. Dalam waktu kurang dari 48 jam, menkes telah mengambil alih tugas Polisi dan bisa memastikan sebab kematian, bahkan telah bertindak terlau jauh bak seorang hakim, dengan menghukum Undip dengan diberhentikannya Program Studi Anestesi Undip di RS Kariadi.
Kepolisian adalah institusi negara yang paling berwenang, setelah mengumpulkan barang bukti dan keterangan, untuk menyatakan sebab kematian serta ada tidaknya keterkaitan dengan bullying. Tentang sebab kematian dan keterkaitannya dengan bullying, perlu pembuktian berdasarkan penyelidikan yang mendalam oleh polisi. Sampai dengan hari Jum’at 16/8/2024 Kapolrestabes Semarang menyatakan tidak ada bukti terkait perundungan dalam kematian dr. ARL. (https://youtu.be/8vwS3bkVfvo?si=WWAEMhH8ociykbet), bahkan sebelumnya hari Kamis tanggal 15/8/2024 dari pihak keluarga, melalui pengacaranya membantah bahwa kematian dr. Aulia disebabkan oleh bunuh diri (https://www.detik.com/jateng/berita/d-7494074/keluarga- bantah-mahasiswi-kedokteran-undip-tewas-bunuh-diri). Terakhir, Kepolisian menyatakan bahwa sebab kematian dr.Aulia adalah pemakaian obat anti nyeri/ pelemas otot dengan dosis berlebih (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240817173502-20-1134313/polisi-sebut- over-dosis-obat-suntik-di-kematian-dokter-muda-ppds-undip).
Dalam banyak narasi terkait kematian Dr. ARL, sejak hari pertama, menkes telah mengambil paksa tugas Kepolisian dan Kejaksaan, menyatakan kematian sejawat ARL sebagai tindakan bunuh diri, dan tanpa dukungan fakta atau bukti sudah memastikan bunuh diri ini akibat perundungan. Jadi butuh Kambing Hitam yang harus ada demi mendukung tuduhan yang terlanjur tersebar secara liar. Selain itu di hari yang sama, menkes sudah menghukum sebuah Institusi Pendidikan Dokter Spesialis yang kegiatannya dihentikan. Lebih lanjut lagi, menkes telah bertindak sebagai Hakim yang memutus soal Benar atau Salah dan menjatuhkan Hukuman. Bahkan, per hari Rabu 28/8/2024, Dekan FK Undip, telah diberhentikan aktifitasnya sebagai dokter pemberi layanan bidang Bedah Onkologi di RS Kariadi. Surat Pemberhentian ini ditandatangani oleh Dirut RS Kariadi, menindak-lanjuti perintah Dirjen Yankes No. TK 02.02/D/44137/2024 tentang penghentian Prodi PPDS Anestesi.
Meski dari pihak Undip, melalui Siaran Pers No. 647/UN7.A/TU/VIII/2024 tg 15/8/2024 telah membantah terjadinya perundungan, tetapi tetap saja bahwa surat menkes No. TK.02.02/D/44137/2024 adalah sebuah Framing Buruk dan Tuduhan tanpa bukti seorang Pejabat Publik kepada Institusi Universitas Diponegoro. Alangkah konyol dan tidak bermoral apabila benar dugaan bahwa framing buruk wajah pendidikan dokter spesialis di bawah Universitas ini memang disengaja, bagian dari Agenda Busuk untuk membuka lahan guna pembukaan Pendidikan Spesialis di bawah kekuasaan menkes. Tidak ada kata yang tepat untuk pejabat publik yang sekaligus merangkap sebagai Polisi, Jaksa, dan juga Hakim, selain kata Preman Birokrasi yang memanfaatkan kematian peserta didik PPDS sebagai sarana pencitraan diri alias pansos, benar-benar memalukan sekaligus memuakkan.
Peraturan Dirut RS Kariadi SE No.HK.02.03/1.1/7206/2021 tentang Jam Operasional Kamar Bedah Sebagai Penyebab Stres bagi PPDS Anestesi
Dalam pelbagai narasi yang diumbar menkes, jelas terlihat upaya menutupi borok yang ada di RS Vertikal milik kemenkes, dalam rangka meningkatkan revenue RS. Bagaimana mungkin RS Vertikal diperlakukan bagai sebuah BUMN, yang wajib menghasilkan revenue yang harus meningkat dari tahun ke tahun bak BUMN Tambang dan Perbankan. Jadi negara (baca: kemkes) telah menjadikan orang sakit sebagai lahan bisnis yang menguntungkan, padahal seharusnya Kesehatan Rakyat adalah kewajiban konstitusional hadirnya negara, dan negara wajib menyediakan anggaran untuk memenuhi tugas tersebut.
Masyarakat perlu tahu bahwa Kamar Bedah dan Farmasi adalah unit bisnis yang paling menghasilkan cuan di semua RS. Sebagai upaya memenuhi keinginan sang Juragan di RS Kariadi keluarlah SE No. HK.02.03/1.1/7206/2021, tentang perubahan jam operasional Kamar Bedah menjadi 24 jam, yang ujung-ujungnya berakibat pada bertambahnya Beban Jam Kerja PPDS (terutama PPDS Anestesi, antara lain Dr ARL). RS Kariadi adalah RS Pendidikan alias tempat magang bagi 1055 orang PPDS Undip. Sebagaimana di RS Kemenkes lainnya, diakui maupun tidak, selama ini PPDS adalah tenaga kerja gratis alias budak, bagian dari rantai layanan RS, dengan jam kerja dan beban kerja yang mudah dieksploitasi mengikuti aturan operasional RS.
Spesialis Anestesi bertugas mengelola tindakan bius dan mendampingi semua dokter yang melakukan pembedahan (Spesialis Bedah, Bedah Saraf, Bedah Tulang, Bedah Jantung, Bedah Onkologi, Bedah Digestif, Bedah Anak, Obstetri dan Ginekologi, Mata, dan THT). Di RS Kariadi, ada 22 Kamar Bedah dengan total 120-140 tindakan operasi setiap hari. Belum lagi tanggung- jawab dokter mereka mengawasi lebih dari 40 pasien ICU, menerima pasien UGD dengan kegawatan tinggi (Label Merah), pasien anak yang perlu foto MRI, serta pasien- pasien yang akan menjalani terapi Radiasi (Radioterapi).
Kalau sebelumnya, operasi di atas jam 21.00 hanya untuk kasus kegawatan/ emergensi, maka dengan SE Dirut tersebut, tidak ada lagi batasan jam kerja. Demi mengurangi panjangnya antrean pasien, banyak dokter Bedah yang rela melakukan operasi di atas jam 21.00 meskipun bukan kasus emergensi. Akibatnya tentu saja peningkatan beban kerja bagi 18 orang Spesialis Anestesi yang ada di RS Kariadi, dan sudah pasti hal ini berimbas pada beban tugas dan jam kerja para PPDS yang memang harus mengikuti para gurunya untuk belajar. Jadi disarankan agar Aparat Penegak Hukum menelaah peran SE Dirut tentang jam operasional Kamar Bedah 24 jam ini sebagai salah satu faktor yang berperan penting terkait Kematian Dr. ARL.
Pekerjaan para dokter bedah dan anestesi di kamar bedah tidak mungkin ditentukan iramanya sebagaimana kerja seorang bankir dengan istirahat makan atau ‘ngopi’ jam 12.00-13.00 siang. Saat selesai operasi dan menunggu shift operasi berikutnya, dokter bedah sudah bisa pergi untuk menyelesaikan tugas lain di Poli Rawat Jalan misalnya, tapi para PPDS anestesi harus ada di samping para mentor-nya, bekerja keras untuk memulihkan kesadaran pasiennya sebelum dikirim ke Ruang Rawat Inap atau ke ICU. Setelah itu, sebelum sempat beristirahat, sudah ada shift operasi berikutnya oleh dokter bedah yang lain. Akibatnya, PPDS Anestesi sama sekali tidak punya waktu untuk meninggalkan pasien yang sedang diawasinya, di kamar bedah maupun di ruang pemulihan, sekedar untuk makan-pun susah, apalagi beristirahat, apalagi dengan operasional kamar bedah 24 jam.
Selain saat itu tidak ada insentif/ gaji, beban keuangan para PPDS Anestesi yang berjumlah 84 orang ini jadi semakin berat manakala kebutuhan makan dan minum selama mereka di RS (makan siang dan makan malam) tidak disediakan RS. Bahkan pihak RS pernah berencana menambah beban itu dengan kewajiban membayar uang parkir (karena menggunakan lahan RS), betapa kejamnya. Selain itu, masih ada kebutuhan lain dalam proses pembelajaran seperti berlangganan Jurnal Ilmiah, fotokopi artikel ilmiah, mengikuti kegiatan seminar ilmiah Anestesi, termasuk kegiatan rekreasi bersama, dan pemeliharaan kebersihan kamar jaga untuk 8-10 orang setiap hari, sampai ujungnya biaya untuk mengikuti Uji Kompetensi sebelum lulus sebagai dokter spesialis. Semua beban biaya tambahan di luar UKT/ SPP ini mereka sepakati untuk dikelola secara bersama untuk seluruh peserta didik PPDS yang berjumlah 84 orang tersebut.
Biaya Mahal Sekolah PPDS karena Negara Tidak Hadir dan Beasiswa Tunjangan Belajar (Tubel) Kemenkes
Setelah diterima, peserta didik wajib membayar uang Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) yang bervariasi antara 25-150 juta, dan biaya pendidikan sesuai UKT/ SPP yang ditetapkan oleh masing-masing universitas. Saat ini besaran UKT sekitar 15-30 juta per semester, selama 7-11 semester, atau 150-300 juta selama masa pendidikan, tergantung bidang ilmu nya. Sulit rasanya mencari negara lain di dunia, dimana peserta didik PPDS harus mengeluarkan biaya begitu besar. Apalagi program PPDS ini berlangsung penuh waktu, artinya peserta didik tidak punya kesempatan untuk sambil bekerja paruh waktu mencari tambahan penghasilan selama mengikuti pendidikan.
Kalau mahasiswa Kedokteran adalah para lulusan SMU yang belum berkeluarga dan hidupnya masih bergantung penuh pada orang tua, sementara para peserta didik PPDS/Residen ini berusia 26-36 tahun, umumnya baru memulai kehidupan berkeluarga dengan 1-3 anak yang masih balita. Jadi para peserta didik PPDS adalah mereka yang punya tanggungjawab finansial untuk kehidupan keluarga dan anak-anaknya. Jadi otomatis, seleksi awal untuk bisa sekolah PPDS adalah seleksi finansial, hanya mereka yang punya beasiswa dari orang tua dan/ atau mertua sajalah yang bisa bersekolah PPDS. Semua ini terjadi karena negara belum sepenuhnya hadir dalam proses rekrutmen calon dokter spesialis untuk pemenuhan kebutuhan layanan kesehatan spesialistik bagi seluruh rakyat. Kewajiban RS Kemenkes untuk membayar gaji bagi PPDS telah tertulis pada UU 20/2013 pasal 31, tapi selama lebih dari 12 tahun menkes terlalu sibuk bernarasi kosong terkait kewajiban ini. Semua RS Kemenkes selalu berkelit dengan seribu satu macam alasan, seperti soal status kepegawaian para PPDS tersebut, insentif tidak harus berbentuk materi, peraturan pelaksanaan yang belum ada, dan banyak lagi.
Dalam 10 tahun terakhir ini, kemenkes menawarkan skema beasiswa pendidikan spesialis untuk bidang-bidang tertentu guna memenuhi kekurangan SDM dokter spesialis untuk RSUD yang membutuhkan. Beasiswa atau Tunjangan Belajar (Tubel) spesialis ini diberikan dalam 2 komponen, komponen biaya sekolah (Sumbangan Pengembangan Institusi/ SPI dan UKT/SPP) yang dibayarkan langsung ke institusi pendidikan, dan komponen biaya hidup yang ditransfer ke rekening peserta didik setiap semester. Jumlah yang dibayarkan ke Institusi adalah SPI (bervariasi antara 25-100 juta sekali saja) dan UKT/SPP (bervariasi antara 15-30 juta/ semester). Bantuan biaya hidup, sesuai Permenkeu No. 83/PMK.02/2022, sebesar 20.690.000/ tahun ditransfer langsung ke rekening peserta didik setiap semester.
Terkait dengan Tubel ini, calon PPDS mendaftar melalui RSUD untuk bidang spesialisasi yang paling dibutuhkan oleh RSUD tersebut. Saat mendaftar, ybs mesti membuat pernyataan a.l. Tidak akan mundur dari program, dan bila mengundurkan diri akan dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan (SE No. HK.02.02/F/1845/2024). Per Agustus 2024, di Undip, dari 1055 PPDS ada 109 penerima tubel Kemenkes, sedangkan di Unair, dari 1875 PPDS, ada 246 penerima tubel Kemenkes ini. Diantara para penerima Tubel Kemenkes tersebut, tentu saja akan selalu ada mereka yang pilihan bidang spesialis nya tidak sesuai dengan keinginan hati, memilih karena terpaksa demi mendapatkan beasiswa karena tidak punya dukungan finansial dari orang tua maupun mertua. Bisa pula terjadi, peserta didik penerima Tubel ini yang karena suatu sebab, misalnya sakit yang mengganggu tugas/ proses belajarnya, sehingga mereka terpaksa tidak dapat menyelesaikan studinya.
Permenkes No.37-2022 tentang denda bagi penerima Tubel, dan Kematian dr.ARL
Sanksi terkait Tubel ini termuat dalam Permenkes No.37-2022 tentang Bantuan Biaya Pendidikan Kedokteran dan Fellowship. Pada pasal 55 ayat 2, tertulis sanksi bagi yang mundur atau tidak menyelesaikan pendidikan diharuskan mengembalikan biaya pendidikan sebesar 5x (Lima Kali) jumlah biaya yang telah dikeluarkan selama masa pendidikan bagi peserta program dokter spesialis, dan 10x (Sepuluh Kali) bagi peserta program dokter Subspesialis.
Terlihat di sini menkes menganggap para penerima beasiswa/ tubel ini seolah telah menyerahkan hak hidupnya kepada menkes sehingga mereka tidak punya pilihan selain harus selesai atau membayar denda sebesar 5-10 kali biaya yang sudah mereka terima. Bagi mereka yang benar-benar terpaksa tidak dapat menyelesaikan studi, pilihannya adalah mundur tapi bayar denda bak hutang pada rentenir/ lintah darat, atau mati agar bebas dari sanksi bayar ‘pinjaman’ dengan bunga 500-1000% (sesuai Permenkes 37-2022). Coba bandingkan dengan beasiswa LPDP yang tidak mewajibkan pengembalian bagi yang mundur karena sakit, dan bagi yang gagal studi hanya mengembalikan sesuai jumlah yang sudah diterima tanpa ada tambahan bunga sepeserpun ( https://tinyuri.com/PengunduranDiriLPDP ).
Negara (baca: menkes) tidak boleh menganggap mereka yang terpaksa mundur/ tidak bisa menyelesakan studi sebagai orang yang salah dan punya maksud jahat sehingga mesti dihukum berat membayar denda dengan bunga yang jauh lebih besar dari bunga Pinjol. Untuk PPDS Undip dengan masa studi 2 tahun, besarnya dana yang mesti dikembalikan bisa mencapai 750 juta, betapa mengerikan. Bagi penerima tubel kemenkes, kewajiban mengembalikan dana 5-10 kali lipat bila studi tidak selesai, bisa jadi merupakan penyebab utama stres yang kemudian mendorong keinginan untuk mengakhiri hidup. Banyak diberitakan di berbagai media, tentang kejadian bunuh diri, bahkan kematian satu keluarga yang diduga kuat terkait dengan beban pinjaman on-line alias pinjol.
Almarhumah dr. ARL, saat akhir semester 2, pernah menyampaikan kepada dosennya terkait keinginan untuk mengundurkan diri dari program PPDS, tetapi hal ini kemudian ditentang oleh ibu Dr. ARL karena kewajiban pengembalian Tubel yang jumlahnya sekitar 400 juta rupiah. Kenginan untuk mundur ini menyeruak lagi saat akhir semester 4, terkait dengan sakit yang dideritanya sehingga mengganggu mobilitasnya. Lagi-lagi keinginan mundur ini tidak disetujui oleh sang ibu, karena beban pengembalian denda Tubel yang semakin tinggi, mendekati 750 juta rupiah, Astaghfirullahaladzim.
Terlihat jelas disini bahwa Permenkes No.37-2022 terkait kewajiban pengembalian Tubel 5-10 kali lipat, yang bak rentenir dan lebih jahat dari pinjol ini, dan SE Dirut RS Kariadi SE No. HK.02.03/1.1/7206/2021 tentang Jam Operasional Kamar Bedah 24 jam, merupakan beban berat bagi para PPDS, termasuk Dr ARL. Kedua hal itu merupakan tanggungjawab langsung dari menkes dan dirut RS Kariadi, dan patut diduga punya peran langsung maupun tak langsung dengan kematian Dr ARL, sehingga perlu diungkap selebar-lebarnya dan seterang- terangnya di ruang sidang pengadilan. Menanti saat-saat terbukanya persoalan terkait penyebab kematiaan Dr ARL lewat sidang pengadilan nanti, sebaiknya menkes menghentikan framing buruk terkait program PPDS berbasis Universitas, dan menghentikan upaya cawe-cawe melalui kunjungan kepada Pimpinan Daerah di Jawa Tengah ini.
#Zainal Muttaqin, Pengampu Pendidikan Dokter Spesialis (30 tahun) dan Guru Besar Undip
Editor: Ariful Hakim