Kisah Hidup Sjumandjaja, Sineas Terkemuka pada Zamannya | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto : Perpusnas

Kisah Hidup Sjumandjaja, Sineas Terkemuka pada Zamannya

Ceknricek.com -- Tahun 1980 ketika sedang menggarap film ‘Opera Jakarta’ yang baru separuh jalan, kondisi kesehatan Sjumandjaja menurun tajam. Penyakit levernya kambuh. Kontan saja dokter dan produser yang membawahi pembuatan film tersebut menyarankan Sjumandjaja untuk beristirahat dari kegiatan syuting.

Namun Sjumandjaja nekat, seolah kesehatannya tetap prima dan baik-baik saja. Ia pun bersikeras untuk meneruskan pembuatan film dan berhasil menggarapnya hingga mencapai 90 persen dari keseluruhan film, meskipun akhirnya ia tumbang dan dilarikan ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat. 

Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, kesehatan Sjuman menurun. Ia pun tutup usia pada 19 Juli 1985, tepat pada tanggal hari ini, 34 tahun silam di Jakarta. Sjumandjaja, bidan di balik lahirnya film Si Doel Anak Betawi tersebut wafat dalam di usia 50 tahun. Almarhum dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan.

Masa Kecil

Sjumandjaja, merupakaan putra kelima dari delapan bersaudara. Lahir di Purworejo, Jawa Tengah, 5 Agustus 1933, ia tumbuh besar di Jakarta. Ayahnya bekerja sebagai juru gambar di zaman Belanda dan sempat ikut terpanggil untuk mendirikan Taman Siswa. 

Tahun 1943, saat usia Sjuman belum genap 10 tahun, ayahnya meninggal akibat rodi, kerja paksa di masa pendudukan Jepang. Sejak itulah sang ibu yang membesarkan Sjuman dan saudara-saudara seorang diri. Masa-masa inilah yang menurut SM Ardan (Sastrawan dan tokoh Betawi) membuat pribadi Sjuman menjadi orang romantis, “keras di luar, lembut di dalam”.

Sumber : Wikipedia

Sjuman menempuh seluruh masa pendidikan dasar hingga menengahnya di sekolah Taman Siswa, dekat tempat tinggalnya di Kemayoran. Selepas remaja, ia aktif dalam kegiatan sandiwara bersama Misbach Yusra Biran, SM Ardan, dan Savitri putri penyair Sanusi Pane. Bersama Misbach dan Ardan, ia juga aktif menulis puisi dan cerpen. Untuk menyalurkan bakat seninya, ia pernah bergabung menjadi anggota komunitas ”Seniman Senen”.

Perjalanan hidup mulai berubah di tahun 1956 tatkala salah satu cerpen karyanya berjudul Keroncong Kemayoran, diangkat ke layar lebar oleh PT. Persari dengan judul Saodah. Pria yang akrab disapa rekan-rekannya dengan panggilan Bung Syuman ini, kemudian mulai serius dengan profesinya sebagai penulis dengan bekerja di studio tersebut. Persisnya di bagian penulisan yang dipimpin sutradara ternama, Asrul Sani.

Beasiswa ke Moskow

Sebagai anak muda yang haus akan pengetahuan, Sjuman tidak puas hanya menulis cerita dan menjadi asisten sutradara. Ketika Misbach Yusa Biran urung berangkat untuk mengambil beasiswa ke Rusia, Sjuman pun tidak berpikir dua kali untuk menerima beasiswa tersebut. Ia berangkat ke Rusia setelah satu tahun bekerja Persari.

Ketika menimba ilmu di Moskow, ia berkenalan lalu menikahi Farida Oetojo, balerina asal Indonesia yang waktu itu juga sedang belajar di sana. Sebagaimana meniru film dan drama Rusia, dengan sikap romantisnya, Sjuman melamar Farida di tepian sungai Moscow yang berdekatan dengan Hotel Ukraina.

Sumber : Perpusnas

Menurut Farida dalam "Saya Farida: Sebuah Autobiografi" (2014: 116), sebelumnya Sjuman sudah melamarnya di bawah tangga apartemen. Tetapi, nampaknya tempat itu sama sekali tidak istimewa sehingga Sjuman ingin pindah lokasi. Sjuman dan Farida pun menikah pada Juni 1962.

Setelah rumah tangganya dengan Farida kandas di tahun 1973, Sjuman menikah untuk kedua kalinya dengan aktris Tuti Kirana, meskipun pernikahan mereka juga tidak langgeng. Pernikahan ketiga Ia lakukan dengan mantan seorang perenang nasioanal, Soraya Perucha, yang usianya jauh di bawah Sjuman.

Menjadi Pegawai Pemerintah

Tiga tahun setelah pernikahan Sjuman dengan Farida, mereka kembali ke Indonesia. Sjuman yang pada waktu itu juga telah menjadi lulusan terbaik dengan membuat film berjudul ‘Bayangan’, yang diangkat dari karya penulis novel Amerika Erskin Caldwell tidak langsung mempraktikan ilmunya melainkan menjabat sebagai Direktur Film di Departemen Penerangan sejak tahun 1967 hingga 1968.

Di masa kepemimpinannya, Direktorat Film cukup banyak melahirkan tindakan yang penting bagi pengembangan perfilman. Antara lain seminar penyiapan UU Perfilman (UU itu sendiri baru lahir tahun 1992) dan Dewan Produksi Film Nasional di tahun 1968 yang membuat film percontohan untuk mengubah orientasi para pembuat di lapangan, yang waktu itu sedang dilanda film kodian dan “kotor”. 

Pada masa jabatannya ini jugalah lahir kebijakan perbaikan kualitas produksi film lewat pemberian dana pinjaman yang didapat dari pajak film impor. Di bawah pengawasannya, kondisi produksi dan rehabilitasi film nasional berhasil tiba di titik yang menggembirakan.

Dua tahun setelah jadi birokrat di pemerintahan, Sjuman sempat membuat dua buah film lewat kolaborasi artistik antar seniman dengan dimodali oleh pemerintah. Di tahun 1968 ia dan teman sejawatnya berhasil memproduksi ‘Nji Ronggeng’ dan ‘Apa Jang Kau Tjari Palupi? (1969) di bawah naungan Dewan Produksi FIlm Nasional (DPFN).

Film dan Kritik Sosial

Tahun 70-an merupakan tahun paling produktif dalam sejarah sinema Indonesia. Jurnalfootage menulis, pada masa itu sineas-sineas film Indonesia menghasilkan 124 judul film. 

Namun produktivitas perfilman Indonesia di masa itu juga melahirkan persoalan tentang industri perfilman, pendidikan film dan pengaruhnya bagi masyarakat yang dibahas oleh Sjumandjaja dengan tegas dan ‘keras’ dalam tulisan-tulisannya.

Sumber : Istimewa

Dalam “Membicarakan Film Indonesia: Di Tangan Borjuis Kelontong, Film Hanya Barang Dagangan”, yang dimuat Majalah Analisa 24 Juli 1977, Sjuman menulis film Indonesia kala itu dikuasai oleh borjuis-borjuis kelontong yang tidak melahirkan Industri atau pengetahuan, melainkan sebagai alat hiburan dalam arti yang tidak selalu sehat.

Sjuman mengambil sikap dengan mengajak untuk kembali pada identitas kultural demi melawan budaya pop yang semakin berpengaruh pada masa itu. “Untuk melawan kebudayaan pop yang sudah semakin berpengaruh sekarang ini kita harus menumbuhkan pribadi-pribadi. Dalam hubungan itu masalah yang terpenting adalah kembali pada identitas kita,” tulis Sjuman.

Sumber : Pinterset

Dari sini lahirlah beberapa karya filmnya yang memang berakar pada tradisi kultural yang ia tampilkan dalam "Si Mamad" (1973) dan "Si Doel Anak Betawi" (1973) yang melukiskan pribadi-pribadi yang memiliki identitas dan tidak tercerabut dari akarnya.

Sejak tahun 1971 hingga tutup usia, film dari buah penyutradaraan Sjuman Djaya terhitung ada 16 judul. Sebagian besar karyanya meraih penghargaan Piala Citra, dan sebagian lagi jadi film terlaris. Sementara,  menurut catatan Farida Oetoyo, sepanjang hidupnya Sjuman telah terlibat dalam pembuatan film kurang lebih 53 judul film. 

Sebagai seorang sineas ulung, Sjuman memang selalu memberikan tontonan menarik, sebagaimana ia visulakan dalam karya-karyanya. Dan itupun nampak dari kritiknya dalam menyikapi film sebagaimana ia tuliskan, “bagi saya yang penting adalah membuat film yang bagus, bermutu bagi konsumsi rakyat! Dan kalau mereka nonton, mereka harus menjadi lebih pandai, sekurang-kurangnya bertambah ‘setengah stok’ dari pada sebelum menonton filem saya. Ini jelas. Kongkret,” tulis Sjuman.



Berita Terkait