Lembu Punya Susu, Sapi Punya Nama | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto: Istimewa

Lembu Punya Susu, Sapi Punya Nama

Ceknricek.com--Judul tulisan ini sebenarnya lebih merupakan ungkapan “orang Medan” yang lebih akrab dengan apa yang dimaksudkan dengan “minyak sapi”.

Minyak sapi alias “ghee” dalam bahasa Inggris, adalah, “mentega yang telah dijernihkan dengan cara direbus dan disaring. Proses ini mampu menghilangkan air dan susu padatnya, sehingga ghee menjadi lebih khas.” (Delish).

Pada hakikatnya minyak sapi dibuat dari bahan baku atau bahan asal atau aslinya susu lembu, Namun sesudah melalui proses seperti yang disebutkan di atas maka bahan ini kemudian dikenal dengan nama minyak sapi. Alhasil pada hakikatnya tidak ada perbedaan mendasar antara lembu dan sapi. Masakan India banyak menggunakan minyak sapi.

Lalu apa maksud dari ungkapan “lembu punya susu sapi punya nama”?

Maksudnya yang payah-payah atau peras keringat harus menghasilkan bahan bakunya adalah lembu, namun kemudian sesudah melalui pengolahan seperti yang dijelaskan secara singkat di atas, bahan masakan tersebut dikenal dengan nama minyak sapi. Kasihan ‘kan sang lembu?

Nah, ungkapan ini dapat digunakan untuk merenungkan nasib “kain batik” yang belakangan ini ternyata secara tidak langsung sudah dianggap sebagai kain asli Malaysia.

Baru-baru ini ketika bertandang ke negara jiran Malaysia saya sempat membeli koran bahasa Inggris “The Star”, dan di antara bagian-bagian yang saya baca adalah halaman “surat pembaca”. Saya tertarik pada surat seorang pembaca koran The Star yang judulnya kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berbunyi sebagai berikut: “Kemana lenyapnya segala kebanggaan kita sebagai bangsa Asia?”

Pembaca Koo Wee Hon dari Petaling Jaya mengawali suratnya dengan menandaskan bahwa “BATIK adalah warisan hakiki bangsa kita (Malaysia). Warisan ini (patut) menjadi kebanggaan kita dan seharusnya dipakai baik sebagai pakaian sehari-hari maupun dalam upacara resmi.Namun sayangnya kemeja batik sekarang ini hanya menjadi pakaian resmi setiap hari Kamis bagi para anggota yang terhormat Dewan Perwakilan Rakyat kita (Malaysia).”

Pembaca Koo Wee Hon mengingatkan para pembaca koran The Star lainnya bagaimana orang-orang di Malaysia begitu suka membanggakan “ke-Asia-an” mereka, khusus apabila ada musikus Barat mengadakan pertunjukan di Malaysia. Begitu pula para politisi Malaysia, katanya.

Dikatakan selanjutnya, pandangan yang dianut oleh orang-orang di Malaysia menganggap nilai-nilai liberal Barat dalam hal percintaan, seks, narkoba dan sejenis adalah sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur Malaysia. Namun kenapa para wakil rakyat diwajibkan mengenakan setelan jas dan dasi ala Barat, yang kebetulan sama sekali tidak sesuai dengan iklim tropis Malaysia?

Lagi pula, katanya, sebagian terbesar setelan jas dan celana serta dasi adalah buatan luar negeri. Untuk menyamankan yang mengenakan pakaian Barat seperti itu semburan angin AC harus ditingkatkan (agar yang mengenakannya tidak kepanasan) dan semua ini berarti ikut memperparah perubahan iklim.

“Sudah seharusnya busana Batik dikenakan dalam setiap kesempatan oleh para wakil rakyat dan Menteri dalam upacara atau peristiwa resmi untuk memperagakan bahwa bahan klasik dan praktis ini, agar dapat menjadi contoh bagi rakyat awam. Lagi pula kebanyakan bahan batik adalah buatan setempat yang membantu perekonomian setempat".

Ditambahkannya bahwa segala omongan tentang kebanggaan pada budaya leluhur Asia kita dan nilai-nilai hidup kita tidak ada artinya apabila para pemimpin kita (di Malaysia) tidak mengakui sesuatu yang begitu asli milik Malaysia seperti batik. Sudah waktunya para pemimpin Malaysia serta para wakil rakyat Malaysia mengenakan busana batik saban hari  - demi kebanggan nasional kita, demi ekonomi setempat dan demi keamanan lingkungan kita.

Dalam bahasa Inggris ada ungkapan “clothes maketh a man” (ungkapan yang berarti cara kita berbusana dapat mempengaruhi bagaimana orang lain menilai  atau memandang kita), kata pembaca Koo Wee Hon. Karenanya Batik-pun membuat bangsa kita (Malaysia) dan warisan kita unik. Begitu surat pembaca Koo Wee Hon yang dimuat koran bahasa Inggris Malaysia The Star.

Cerita di atas adalah salah satu contoh dari ungkapan “lembu punya susu, sapi punya nama”.

Kenapa?

Karena kenyataannya Batik, yang awalnya diciptakan oleh Kerajaan Mataram, sejak tahun 2009 telah diakui oleh badan Perserikatan Bangsa-Bangsa UNESCO sebagai warisan budaya tak benda (Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity). Ma’af  Cik Koo Wee Hon – Batik masih milik kami bangsa Indonesia, meskipun di Indonesia sendiri peranan batik sudah dijungkir-balikkan, yakni dari pakaian bawah (lilitan kain dari pinggang ke tumit kaki) menjadi pakaian atas (kemeja).

Rendang Padang Siapa Yang Punya?

Beberapa waktu lalu penulis menyaksikan di televisi Australia acara kuliner yang dibintangi ahli masak-masakan Inggris Rick Stein. Ketika berada di Pulau Langkawi, Malaysia, untuk memperkenalkan salah satu hidangan terkenal Malaysia, Rick Stein mengatakan:

“Hampir semua orang di Malaysia yang saya tanyakan tentang gulai yang paling mereka sukai menjawab: “Rendang!” Tapi sayang”, kata Rick Stein, “tidak ada yang mengetahui asal usul gulai masyhur ini.”

Lagi-lagi orang awak kecolongan. Namanya saja “Rendang Padang”. Kasihan lembu yang dipecundangi terus menerus oleh sapi.


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait