Pelukis murah hati ini pada masanya tidak pernah menilai lukisan anak-anak yang disebut jelek. Sebab, baginya semua lukisan adalah bagus.
Menggambar Sejarah Tino Sidin
“Selamat sore para penonton di rumah, selamat sore anak-anak semua. Di sini anak-anak bertemu lagi dengan Pak Tino pada acara gemar menggambar. Baiklah anak-anak semua pada hari ini, Pak Tino akan memberikan cara bagaimana menggambar burung yang mudah,” ucap Tino dalam acaranya itu.
Kalimat pembuka itu tentunya selalu ditunggu anak-anak di depan televisi pada masa itu dengan sehelai kertas gambar dan pensil atau spidol di tangan. Lalu, perlahan dan pasti mereka pun akan mengikuti arahan Pak Tino untuk menggambar hanya bermodalkan garis hingga terbentuklah gambar sederhana nan memukau.
Pak Tino, sosok guru gambar itu sangatlah terkenal pada masanya. Lelaki yang lahir dari pasangan Sidin dan Tini di Tebing Tinggi, Sumatera Barat itu memang memiliki bakat menggambar sejak kecil. Bakat "ajaibnya" ini pun secara tidak sengaja ditemukan oleh tentara Jepang ketika menggambar di pasir pada masa pemerintahan Dai Nippon di Indonesia.
Mengikuti nasib, sepertinya begitulah kisahnya berjalan. Tino Sidin kemudian kemudian diangkat sebagai pembuat poster propaganda Jepang dengan jabatan Kepala Bagian Poster Jawatan Penerangan di Tebing Tinggi pada 1944. Dari sinilah kemudian kiprah Tino Sidin bermula lewat perjalanan hidupnya yang berliku-liku.
Setelah Indonesia merdeka, selain sebagai anggota Polisi Tentara Divisi Gajah Dua Tebingtinggi, Tino Sidin sempat menjadi guru menggambar di SMP Negeri Tebing Tinggi. Dia bersama Daoed Joesoef dan Nasjah Djamin kemudian mendirikan Kelompok Angkatan Seni Rupa Indonesia di Medan.
Baca Juga: Belajar dari Harun al-Rasyid, Pemimpin yang Memuliakan Guru
Tahun 1946, bersama kedua temannya Tino Sidin merantau ke Yogyakarta. Di kota pelajar ini Ia mulai melukis atau membuat sketsa, hingga membuat propaganda anti Belanda di Seniman Muda Indonesia. Dia juga bekerja sebagai pegawai bagian kesenian di Kementerian Pembangunan Pemuda (1946-1948) dan bergabung dengan Tentara Pelajar Brigade 17 (1946-1949).
Tino Sidin kembali ke Tebing Tinggi pada tahun 1951, untuk mempersunting Nurhayati dan menjadi guru olahraga di Taman Dewasa (SMP) Tamansiswa, setahun kemudian mereka pindah ke Binjai. Di kota inilah karier melukis Tino Sidin mulai dikenal dengan nama Tino’S.
Setelah satu dekade berjalan, Tino Sidin kembali ke Yogyakarta ketika ia mendapat tawaran beasiswa di Akademi Seni Rupa Indonesia. Setahun kemudian, istri dan anak-anak beliau boyong ke Yogyakarta.
Menjadi Guru Gambar Legenda Indonesia
“Tidak ada orang yang tidak bisa menggambar. Orang yang bisa menulis angka atau huruf itu sudah menjadi modal untuk menggambar. Hanya dengan modal dua garis apa pun yang ingin kamu lihat, kamu sudah punya modalnya,” ungkap dosen dan pemerhati pendidikan anak, Andi Purnawan Putra, dalam film dokumenter mengenai Tino Sidin.
Memang, lewat beberapa ‘kredonya’ Tino Sidin sebagaimana diungkap Andi, namanya populer setelah tahun 1978, ia mulai menyebar virus metode dan cara menggambar di kalangan anak-anak Indonesia. Dalam acara Gemar Menggambar yang dimulai di TVRI Yogyakarta sejak 1969 ini, ia kemudian berpindah ke TVRI pusat mulai 1979 hingga 1989.
“Pak Tino, itu seperti sejarah Taman Siswa yang selalu mendampingi lewat asasnya yang membicarakan kemerdekaan. Jadi bagaimana mendidik anak-anak itu memiliki kemerdekaan, baik kemerdekaan untuk berimajinasi, kemerdekaan untuk berekspresi, yang mediumnya lewat menggambar,” ungkap Seniman Djaduk Ferianto, salah satu murid Tino Sidin.
Baca Juga: Mengenang Jalan Hidup Ki Hadjar Dewantara
Tidak hanya mengenalkan cara berpikir yang bebas dan mengekspresikan diri lewat medium gambar, Tino Sidin juga pernah terlibat dalam pembuatan film layar lebar di Indonesia seperti ketika menjadi Art Director film Sisa-sisa Laskar Pajang, Api di Bukit Menoreh dan sebagai aktor di Nakalnya Anak-anak.
Tino Sidin juga dikenal sebagai seorang penulis dan sempat menghasilkan komik dewasa di tahun 1953, Harimau Gadungan dan Kalau Ibuku Pilih Menantu. Komik anak-anak seperti Anjing, Bandung Lautan Api, Bawang Putih Bawang Merah, Ibu Pertiwi, Serial Pak Kumis, Membalas Jasa, dan beberapa judul lainnya. Di samping komik, juga ada buku cerita seri mewarnai bertajuk Membaca Mewarnai Merakit.
Baca Juga: Peran Ki Hadjar Dewantara Dalam Perkembangan Pendidikan di Tanah Air
Lain dari itu, ada pula buku menggambar bagi anak-anak seperti Gemar Menggambar Bersama Pak Tino Sidin (Kanisius, 1975), Ayo Menggambar (Balai Pustaka), dan Menggambar dengan Huruf (Karya Unipress, 1992) yang menjadi buku paling efektif dalam pola pengajaran menggambar di Indonesia.
Setelah bertahun-tahun memajukan dunia seni anak lewat menggambar, karena sakit, akhirnya Pak Tino wafat di umur 70 tahun pada 29 Desember 1995 di Rumah Sakit Dharmais, Jakarta. Guru legenda gambar Indonesia ini dimakamkan di Makam Kwaron, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul tidak jauh dari Taman Tino Sidin, Yogyakarta.
BACA JUGA: Cek HUKUM, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.