Mengenang Maestro Lukis Jeihan Sukmantoro | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto: Istimewa

Mengenang Maestro Lukis Jeihan Sukmantoro

Ceknricek.com -- Maestro lukis Jeihan Sukmantoro, salah satu seniman besar Indonesia tutup usia pada Jumat, 29 November 2019 di studio pribadinya di daerah Padasuka, Bandung. Bersama hujan yang turun membasahi kota Bandung, Jeihan mengakhiri petualangan hidupnya di usia 81 tahun dan kembali menuju suwung.

Jeihan dalam Lanskap Kesenian Indonesia

Dekade 1980-an publik seni di Indonesia dikejutkan dengan pameran lukis bertajuk “Temunya 2 Ekspresionis Besar” yang bertempat di Istana Ballroom Hotel Sari Pasifik, Jakarta.

Dalam pameran yang diselenggarakan pada 4-11 Agustus 1985 itu, memang dua pelukis kondang tanah air dipertemukan dalam rangka memperingati hari ulang tahun Indonesia yang ke-40.

Sumber: Istimewa

Dua sosok itu adalah Jeihan Sukmantoro, dan S Sudjojono yang didaulat untuk memamerkan karya mereka dalam ‘duel karya’ karena dianggap oleh banyak pengamat sebagai sama-sama menganut gaya ekspresionis.

Dari sinilah kemudian terekam dalam sejarah bagaimana Jeihan kemudian dianggap sebagai sosok maestro lukis yang menyulut ledakan harga lukisan di Indonesia. 

Pada waktu itu, ketika lukisan maestro Affandi masih dibanderol kisaran Rp20 juta, Jeihan sudah berani untuk menghargai lukisan-lukisannya jauh lebih tinggi. Menariknya, terbukti laku terjual.

Baca Juga: Mengenang Maestro Lukis Potret Basoeki Abdullah 

Miekke Susanto dalam karyanya Jeihan: Maestro Ambang Nyata dan Maya (2017) menceritakan bagaimana kegilaan Jeihan dalam membuat bandrol harga karya-karyanya yang dipamerkan.

Bagaimana tidak, Jeihan waktu itu telah menghargai lukisannya pada kisaran antara 5 juta hingga 50 juta. Selain dianggap di luar akal sehat, banderol harga itu pun juga jauh berada di atas banderol lukisan-lukisan karya Sudjojono yang notabene lebih senior dan populer dari Jeihan. Lalu, apa yang terjadi kemudian? 

Mikke Susanto merujuk pada catatan Agus Dermawan T mencatat, 6 lukisan Sudjojono pada event itu laku terjual dengan total perolehan sebesar Rp12 juta. Namun, di sisi lain, 2 lukisan Jeihan malah laku terjual dengan harga Rp35 juta dan Rp50 juta. 

Merujuk dokumentasi Suara Indonesia, Susanto bahkan menulis saat itu Jeihan konon mengantongi uang hingga setengah miliar. Melihat fakta tersebut, konon Sudjojono kemudian pingsan berjam-jam. Pameran di bulan Agustus 1985 itu pun dimiliki oleh Jeihan.

Sumber: Istimewa

Meski demikian, membandingkan ‘pertarungan’ antara karya lukis seniman yang satu dengan yang lainnya tersebut jelaslah merupakan logika yang salah. Pasalnya, seni tidaklah bisa diperbandingkan satu dengan yang lain.  

Apa yang dikisahkan oleh Mikke adalah semacam kelakar eksistensialisme Jeihan selaku seniman lukis generasi muda yang diberi kesempatan mengadakan pameran bersama Sudjojono sebagai representasi generasi yang lebih tua, sekaligus sosok yang dikaguminya.

Baca Juga: Hendra Gunawan: Pelukis Pembela Rakyat Jelata

Hal ini terbukti kelak, lewat mata Jeihan yang tajam, setelah kematian Sudjojono pada 1986, pelukis Kawan-Kawan Revolusi itu ternyata harga lukisannya terbang bebas dalam balai lelang internasional dengan harga puluhan miliar rupiah, dan menjadikannya sebagai salah satu pelukis dengan harga termahal di Indonesia.

Mata Bolong Jeihan 

Jeihan Sukmantoro, lelaki kelahiran 26 September 1938, di Desa Ngampel, di kaki Gunung Merbabu, Boyolali, ini selama hidupnya setidaknya telah melukis ratusan karya dan beberapa karya patung, keramik, hingga menulis artikel dan puisi.

Sumber: Istimewa

Jeihan tersohor dengan gaya melukis ekspresionisme yang identik dengan lukisan bermata cekung atau ‘bolong’ karena kebanyakan lukisannya memasang figur bermata hitam. Ciri khas Jeihan tersebut menyiratkan simbol dari luasnya misteri hidup yang dihadapi manusia. 

Sebelum penemuan mata hitam yang menjadi ciri kuat dari lukisannya, masih bisa disimak bagaimana Jeihan melukis figur manusia dengan menggunakan mata, laiknya lukisan para seniman lain. 

Baca Juga: Zaini, Sang Pelukis Impresionisme Indonesia

Sebutlah karyanya Perempuan Tua dan Unknown Woman, misalnya, selain bisa dilihat figur perempuan memiliki mata lengkap, lukisan yang dibuat di tahun 1953 tersebut juga masih lekat mengemban corak realisme kerakyatan sebagai buah belajarnya merupa di HBS (Himpunan Budaya Surakarta).

Sumber: Istimewa

Namun, pada waktu itu Jeihan merasa bahwa Ia selalu gagal melukiskan mata dengan ketepatan ekspresi sebagaimana tuntutan jiwanya. Dari sinilah Jeihan kemudian mulai memunculkan ungkapan baru dalam seni lukis yakni dengan selalu menghitamkan objek mata dalam setiap figur manusia yang dilukisnya.

“Biarlah setiap mata lukisanku hanya lubang hitam gelap. Namun rasanya dapat melihat, dan itu pas, persis, cocok sekali dengan mata tuntutan rohku. Pada akhirnya walaupun manusia mempunyai mata yang bagus, toh tak mengetahui dengan persis hakikat dirinya sendiri.” ungkap Jeihan dikutip dari artikel karya Herliyana Rosalinda dan Dhanang Respati Puguh: Membaca Zaman: Refleksi Pemikiran Jeihan dalam Lukisannya, 1953-2012.

Jeihan Kembali Menuju Suwung

Melukis, bagi Jeihan adalah menghadirkan realitas virtual, realitas spiritual, realitas emosional, atau apapun namanya untuk hadir hadir di matanya dalam berbagi goresan tinta dan kuas diatas kanvas putih dan kemudian ditangkap mata penikmat seni.

Baca Juga: Don Antonio Blanco: Maestro Lukis dari Bali yang Mendunia

Baginya, jalan ‘Sufi’ adalah kelanjutan dari hipotesanya untuk diterima banyak orang dimana lewat melukis menggambarkan proses pencariannya menuju tingkat spiritual tertinggi yang ia lakukan sampai akhir hayat.

Sumber: Istimewa

“Yang mendorong saya (melukis) itu bukan vitalitas, tapi mortalitas. Ketika saya berusia 50 tahun memang yang diunggulkan vitalitas karena mengumpulkan modal dunia. Nah, di 50-60 tahun ke atas menurut saya itu untuk pencapaian mortalitas untuk modal mati, untuk bekal akhirat.” ungkap Jeihan dilansir dari Ayobandung.

Dan kini, maestro  lukis itu  telah kembali ke alam suwung pada Jumat, (29/11) karena sejumlah penyakit dan usia yang sudah tua. Salah satu larik puisi yang Jeihan beberkan kepada penyair Candra Malik dan dituliskan dalam artikel berjudul Ziarah Selagi Hidup (2016) seolah mengantar kepergian maestro lukis itu. “Hati tenang, bunga kembang, burung terbang, jalan terang, aku pulang…”

Selamat jalan Mbah Jeihan.

BACA JUGA: Cek SEJARAH, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini.



Berita Terkait