Mengenang Mas Wendo | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto : Insertlive

Mengenang Mas Wendo

Ceknricek.com -- Tiara, anak ketiga mendiang Arswendo Atmowiloto bercerita. Sudah satu tahun setengah mendiang divonis dokter kanker prostat. Sejak itulah Arswendo mengikuti berbagai terapi penyembuhan. “Tapi ayah tetap beraktivitas seperti biasa. Baru awal Mei lalu kondisinya memburuk. Beberapa kali dirawat di RS. Dua minggu lalu pulang ke rumah. Kemarin sore dipanggil Tuhan," kisah Tiara Sabtu ( 20/7) di rumah duka Kompleks Kompas Jalan Damai Petukangan, Jakarta Selatan. Ketika Tiara bercerita, ia didampingi ibu, saudara, dan cucu. Di samping peti jenazah. Saat itu mereka kumpul, berseragam putih, menjelang pemberangkatan jenazah menuju Gereja St. Matius Penginjil, Paroki Bintaro, Pondok Aren. 

Selesai misa, rencananya jenazah akan dibawa ke tempat peristirahatan terakhir di Sandiego Hill, Karawang, Jawa Barat.

Budayawan dan wartawan senior Arswendo Atmowlloto wafat Jumat (19/7) pukul 17.40 di rumahnya dalam usia 70 tahun. Ia meninggalkan seorang istri, tiga anak, dan enam cucu. Juga, tentu seluruh penggemar karya-karyanya. Bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di luar negeri.

Foto : Ilham Bintang

Penghormatan kepada mendiang tergambarkan pada ucapan duka cita di media sosial, media pers televisi dan online, tidak lama setelah berita wafatnya diumumkan keluarga.

Di komplek rumah duka ratusan kembang ucapan belasungkawa dari pelbagai lapisan masyarakat. Antaranya dari Presiden Jokowi, Menteri Susi Pudjiastuti, seluruh penerbit media pers, stasiun televisi, kalangan perfilman, dan pengurus PWI Pusat.

Arswendo Atmowiloto lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 26 November 1948. Ia mengawali karier sebagai penulis dan wartawan Indonesia yang aktif di berbagai majalah dan surat kabar seperti Hai dan Kompas. Ratusan karya tulis diciptakan. Ia menulis cerpen, novel, naskah drama, dan skenario film dan sinetron.

Arswendo pernah kuliah di IKIP Solo tapi tidak tamat. Pernah memimpin Bengkel Sastra Pusat Kesenian Jawa Tengah, di Solo (1972), wartawan Kompas dan pemimpin redaksi Hai, Monitor, dan Senang.

Tahun 1979 mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City, Amerika Serikat.

Arswendo pernah mengelola tabloid Bintang Indonesia dan berhasil menghidupkan tabloid itu. Tapi, Arswendo hanya bertahan tiga tahun. Ia kemudian mendirikan perusahaan sendiri, PT Atmo Bismo Sangotrah, yang memayungi sedikitnya tiga media cetak: tabloid anak Bianglala, Ina (kemudian jadi Ino), serta tabloid Pro-TV.

Fotografer : Ashar/Ceknricek.com

Pada tahun 1990, ketika menjabat sebagai pemimpin redaksi tabloid Monitor, ia ditahan dan dipenjara karena satu jajak pendapat. Ketika itu, Tabloid Monitor memuat hasil jajak pendapat tentang siapa yang menjadi tokoh pembaca. Arswendo terpilih menjadi tokoh nomor 10, satu tingkat di atas Nabi Muhammad yang terpilih menjadi tokoh nomor 11. Sebagian masyarakat Muslim marah dan terjadi keresahan di tengah masyarakat. Arswendo kemudian diproses secara hukum sampai divonis hukuman 5 tahun penjara.

Nama aslinya adalah Sarwendo, dengan nama baptis Paulus. Nama itu diubahnya menjadi Arswendo karena dianggapnya kurang komersial dan pop. Lalu di belakang namanya itu ditambahkan nama ayahnya, Atmowiloto, sehingga namanya menjadi apa yang dikenal luas sekarang.

Arswendo mulanya beragama Islam, namun berpindah agama menjadi Katolik mengikuti agama sang istri. Kakaknya, Satmowi Atmowiloto, adalah seorang kartunis.

Dalam penulisan tidak jarang dia menggunakan nama samaran. Untuk cerita bersambungnya, Sudesi (Sukses dengan Satu Istri), di harian Kompas, ia menggunakan nama Sukmo Sasmito. Untuk Auk yang dimuat di Suara Pembaruan ia memakai nama Lani Biki, kependekan dari Laki Bini Bini Laki, nama iseng yang ia pungut sekenanya. Nama-nama lain pernah dipakainya adalah Said Saat dan B.M.D. Harahap.

Makan Nasi Padang Dengan Pisang

Perkenalan saya dengan Arswendo terjadi lebih tiga puluh tahun lalu. Saya salah satu  ketua Panitia Tetap Festival Film Indonesia yang berkantor di Gedung Dewan Film Nasional. Suatu siang dia datang menemui saya di ruang kerja untuk ngobrol. Pas makan siang. Saya sajikan nasi rames Padang. Ia terkejut ketika saya mencampur sebuah pisang Ambon ke dalam nasi rames. Ia berhenti menyuap. Itu menarik perhatian dia rupanya. Ia bertanya makan gaya apa itu? “Gaya Bugis,” saya jawab sekenanya sambil terkekeh. Serius? Dia bertanya lagi. Rupanya dia serius. Sambil ikut terkekeh. Khas Arswendo.

“Iya, kebiasaan makan di keluarga saya,” sahut saya sambil terus bersantap.

“Ok. Saya boleh muat yah untuk tabloid?,” responnya. Ia akhirnya memang menuliskan kisah nasi rames dicampur pisang itu dalam rubrik persona di “Tabloid Monitor“ yang amat populer masa itu. Itu saya ingat sebagai masa perkenalan dengan Mas Wendo.

Hari-hari selanjutnya kami sering kontak untuk urusan dunia perfilman dan sinetron. Ia sering kami libatkan sebagai narasumber untuk aturan festival dan sinetron, juga pers. Juga sebagai juri.

Mas Wendo memang mengagumkan. Saya belum ketemu lagi penulis dan wartawan seproduktif dia. Sampai usianya lanjut pun dia tetap representasi kaum muda. Bukan cuma tampilan fisiknya yang bergaya kekinian. Rambut gondrong, celana jeans, dan sendal jepit.

Bersama Arswendo dan Margiono--owner Rakyat Merdeka Group— kami pernah merencanakan kolaborasi. Yaitu menerbitkan sebuah tabloid baru yang sifatnya umum. Pertemuan kami intensif. Beberapa kali dia mengunjungi kantor Tabloid C&R untuk urusan itu. Namun, rencana itu tak pernah terwujud. Akibat dari kesibukan masing-masing pihak yang ingin berkolaborasi. Padahal, sesuai rencana, tabloid itu akan menjadi trend setter baru di dunia pers.

Di rumah duka, Sabtu pagi, saya memandangi wajah Arswendo yang tenang. Ia telah kembali kepada pencipta-Nya. Selamat jalan kawan.



Berita Terkait