Merdeka Belajar: Kuncinya di Guru | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto: Istimewa

Merdeka Belajar: Kuncinya di Guru

Ceknricek.com -- Merdeka Belajar. Begitu istilah Nadiem Makarim tentang empat program pokok kebijakan pendidikan yang bakal diterapkannya. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini sepintas melempar kesan bahwa selama ini guru dan siswa belum merasakan kemerdekaan. Kini, ia memproklamirkan kemerdekaan itu.

Jika benar demikian yang terjadi, maka sungguh ironis. Pendidikan pada hakikatnya menumbuhkan kemerdekaan sehingga seseorang dapat tumbuh kembang menjadi dirinya sendiri. Apabila pendidikan masih mengekang dan memenjarakan, bagaimana seseorang bisa menjadikan kegiatan mencari ilmu sebagai jiwa kehidupannya? Yang ada, seseorang hanya melaksanakan kewajiban mengenyam pendidikan untuk mencapai target jangka pendek saja, contohnya lulus ujian, mendapat ranking dan mendapat ijazah.

Kemerdekaan diri dan kemerdekaan pikiran adalah dua pasal dalam “Azas Taman Siswa 1922” yang dicetuskan oleh Ki Hajar Dewantara dalam pidato pembukaan perguruan Taman Siswa. Pasal itu adalah pasal yang harus tetap hidup menuju pendidikan ideal yang diidamkan Ki Hajar Dewantara.

Sumber: Istimewa

Kemerdekaan terwujud jika anak merasa senang untuk mencari ilmu. Jadi, tanpa diiming-imingi sepeda, anak seharusnya sudah rajin mencari ilmu tentang apa yang ia sukai. Apabila anak sudah terpikat dengan pendidikan, anak akan mencari tahu sampai tuntas melalui media apapun.

Baca Juga: Mendikbud Nadiem Makarim, Waktulah Yang Akan Menjawab Kemampuan Dirinya

Sumber: Istimewa

Membiarkan anak memilih apa yang ingin dia pelajari tanpa menyederhanakan penilaian dengan angka, tetapi menghargai usaha anak dalam mendapatkan ilmu adalah upaya memberikan kebebasan berpikir pada anak. Anak menjadi tidak terpaku akan angka akhir yang terwujud ranking, sehingga anak akan santai, tanpa beban dan maksimal dalam menuntut ilmu.

Prinsip-prinsip tersebut (merdeka dalam belajar) tidak biasa bagi para guru di Indonesia. Jadi, mengubahnya perlu persiapan yang matang. “Ibarat membelokkan kapal tanker diperlukan ancang-ancang agar bisa berbelok dengan mulus,” ujar Retno Listyarti, Ketua Dewan Pengawas Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), dalam satu kesempatan.

Retno Listyarti. Sumber: Istimewa

Mabok Angka

Selama ini sistem pendidikan kita meyakini “semakin besar angka hasil mata pelajaran, semakin tinggi ranking”. Sejak Sekolah Dasar ketika pembagian rapor, seringkali orang tua berkata, “ranking anak saya berapa ya?”

Kepala sekolah, kepala dinas pendidikan dan bahkan para pejabat Kemdikbud selama bertahun-tahun juga “mabok angka”. Ujian Nasional pun didewakan hasilnya. Segala cara dilakukan demi pencapaian angka yang ditargetkan. Anak-anak pun jadi korban.

Retno mengatakan fenomena ranking ini memengaruhi psikologi anak dan orang tua. Psikologi orang tua terganggu karena menilai hasil belajar anaknya hanya dengan angka, bukan dengan perilaku positif anak dari hasil pendidikan. Memengaruhi psikologi anak karena membuat motivasi semu dalam hal pendidikan, yakni meraih target rangking.

Sumber: Istimewa

Pendidikan itu, kata Retno lagi, untuk mengajar anak berpikir bukan menjawab soal. Manusia terdidik adalah manusia yang tajam dalam berpikir dan memiliki kehalusan nurani. Namun, esensi berpikir (bernalar) dalam belajar, selama 25 tahun terakhir ini bukan budaya belajar dari sekolah-sekolah di Indonesia. Membalikkan ini semua bukan pekerjaan mudah bahkan sangat sulit.

Baca Juga: Mendikbud: Mendongeng dapat Melatih Imajinasi dan Kreativitas Anak

Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama 25 tahun terakhir cara mengajar guru-guru di Indonesia tidak berubah. Bukan salah guru. Tetapi sistem pendidikannya memang diukur dengan menggunakan angka-angka. Penghapusan penilaian angka, ranking dan penyesuaian kurikulum pendidikan bagi kebutuhan sehari-hari anak adalah upaya agar anak dapat merdeka akan diri dan pikirannya.

Sumber: Istimewa

Lalu, sudah tepatkah program Nadiem? Retno mengatakan arahnya sudah mencoba mendekati pemikiran bapak pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara.  “Memang sudah seharusnya pendidikan Indonesia dikembalikan ke pemikiran Ki Hajar Dewantara” ujarnya.

Pemikiran Awal Ki Hajar Dewantara

Retno yang Komisioner KPAI bidang Pendidikan juga mendorong demi kepentingan terbaik bagi anak, Menteri Nadiem hendaknya mengembalikan pendidikan sesuai dengan pemikiran awal Ki Hajar Dewantara. Pendidikan merupakan proses pembudayaan, yakni suatu usaha memberikan nilai-nilai luhur kepada generasi baru dalam masyarakat yang tidak hanya bersifat pemeliharaan tetapi juga dengan maksud memajukan, serta memperkembangkan kebudayaan menuju ke arah keluhuran hidup kemanusia”. Artinya, pendidikan sejatinya menguatkan kebudayaan dan nilai-nilai luhur bangsa kepada generasi muda/peserta didik.

Sumber: Istimewa

Ki Hajar Dewantara membedakan antara sistem “pengajaran” dan “pendidikan”. Pendidikan dan pengajaran idealnya memerdekakan manusia secara lahiriah dan batiniah selalu relevan untuk segala jaman.

Sumber: Istimewa

Menurutnya, pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan kebodohan). Sedangkan, pendidikan lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dan mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik).

Manusia merdeka itu adalah manusia yang hidupnya secara lahir dan batin tidak tergantung kepada orang lain, akan tetapi ia mampu bersandar dan berdiri di atas kakinya sendiri. Artinya, sistem pendidikan itu mampu menjadikan setiap individu hidup mandiri dan berani berpikir sendiri.

Menurut Ki Hajar Dewantara, tujuan dari pendidikan adalah penguasaan diri, sebab di sinilah pendidikan memanusiakan manusia (humanisasi). Penguasaan diri merupakan langkah yang dituju untuk tercapainya pendidikan yang memanusiawikan manusia. Pendidikan tidak semata-mata bertujuan untuk mendapatkan pekerjaan.

Sumber: Istimewa

Selanjutnya, Kemendikbud hendaknya membuat grand design. Guru dan sekolah harus disiapkan. Pelatihan guru selama ini yang berbasis individu harus diubah menjadi berbasis komunitas sekolah, karena kita harus mengubah budaya sekolah.

Baca Juga: Mengenang Jalan Hidup Ki Hadjar Dewantara

Teks-teks bacaan harus disiapkan karena proses pembelajaran mengedepankan literasi dan penalaran. Kalau literasi dan penalaran guru rendah, maka sangat sulit memerdekakan belajar. Guru yang berkualitas akan menghasilkan siswa-siswa yang berkualitas. Siswa dan guru yang berkualitas akan membuat sekolah itu berkualitas. Jadi kuncinya di para guru.

Sumber: Istimewa

Lima tahun ke depan, maju mundurnya pendidikan berada di telunjuk Nadiem. Kemerdekaan guru dan murid yang dicanangkan Nadiem diharapkan bukan hanya slogan kosong belaka.

BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini



Berita Terkait