Misi Penerbangan Terberat | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto: Istimewa

Misi Penerbangan Terberat

Ceknricek.com--Pagi itu, langit Jakarta membentang luas, biru jernih, seakan menjadi saksi dari sebuah tugas besar yang akan saya emban. Tanggal 30 Juli 1988, dalam balutan pangkat Letnan Kolonel, saya menerima Surat Perintah Terbang (SPT) dengan rute Jakarta-Solo. Misi yang tertulis begitu singkat namun sarat makna: "reserve RI 1." Pesawat cadangan untuk membawa Presiden Republik Indonesia.

Pagi itu, pangkalan udara Halim Perdana Kusuma dipenuhi deru mesin dan hiruk-pikuk persiapan. Dua belas pesawat berjajar rapi, siap mengangkut jenazah, keluarga Presiden, serta para pelayat. Saya sendiri masih belum tahu apakah pesawat saya, Hercules A-1314, akan terbang atau tetap berjaga sebagai cadangan. Hingga menit-menit terakhir, ketidakpastian masih menyelimuti.

Namun, keputusan yang datang kemudian mengubah segalanya. Peti jenazah akan diangkut dengan pesawat Hercules, dan yang terpilih adalah pesawat saya. Saya tetap tenang, menginstruksikan kru untuk menyiapkan kabin dengan sebaik mungkin. Namun, kejutan berikutnya membuat jantung saya berdetak lebih kencang—Presiden beserta keluarganya memutuskan untuk turut serta dalam penerbangan yang sama. Ada delapan pesawat lain yang tersedia, tetapi entah mengapa, takdir memilih pesawat saya.

Di balik ketegangan yang muncul, saya berusaha menanamkan rasa bangga dalam hati. Kepercayaan yang diberikan kepada saya adalah amanah yang harus ditunaikan dengan penuh tanggung jawab. Saya mulai menyadari ada tanda-tanda kecil yang mengarah ke keputusan ini—kehadiran Mayjen TNI Syaukat, Sekretaris Militer Presiden, beserta beberapa anggota Paspampres yang mengamati pesawat saya beberapa saat sebelumnya.

Hercules A-1314 memang bukan pesawat biasa. Kabinnya dirancang untuk kenyamanan VIP, kursi-kursinya lebih nyaman, dan ruangannya cukup luas untuk menampung peti jenazah serta rombongan keluarga dalam satu penerbangan. Mungkin itulah sebabnya pesawat ini yang dipilih.

Setelah pengaturan kabin disetujui, kami para awak pesawat berjajar di belakang buritan, bersiap memberikan laporan dan penghormatan kepada Presiden. Seperti biasanya, beliau tampil tenang, menerima laporan dengan sikap penuh wibawa, lalu menaiki pesawat bersama keluarga. Begitu semua siap, saya dan kopilot saya, Letnan Andry, segera bergegas ke kokpit. Di sanalah, di balik panel kendali dan ratusan instrumen, perjalanan yang penuh beban ini dimulai.

Dengan jemari yang terasa lebih berat dari biasanya, saya mulai menyalakan mesin satu per satu. Setiap detik selama proses start engine dipenuhi doa—semoga semua berjalan lancar, semoga tidak ada mesin yang gagal hidup. Bayangkan betapa memalukan dan paniknya jika di saat genting ini, mesin saya mogok! Namun, Tuhan berkehendak baik. Mesin satu, dua, tiga, dan empat menyala dengan sempurna. Saya menarik napas dalam-dalam. Waktunya lepas landas.

Sejak pesawat meninggalkan landasan, saya terbang dengan tingkat kewaspadaan yang belum pernah saya alami sebelumnya. Setiap gerakan, setiap tarikan tuas, setiap sentuhan pada kontrol pesawat saya lakukan dengan kehati-hatian yang luar biasa. Saya pernah menerbangkan Presiden sebelumnya, tetapi tidak pernah dalam suasana seserius ini—di mana kesedihan mendalam menyelimuti seluruh kabin.

Waktu seakan melambat. Lima puluh tujuh menit penerbangan terasa seperti berjam-jam. Namun, tantangan sesungguhnya belum datang. Ketegangan mencapai puncaknya saat kami mulai bersiap mendarat di Lanud Adi Soemarmo, Solo. Dari ketinggian 1.500 kaki, saya melihat ratusan orang telah berkumpul, menanti kedatangan pesawat kami.

Di titik ini, perhitungan presisi adalah segalanya. Namun, ada satu masalah—kami tidak tahu dengan pasti berapa berat total pesawat, karena peti jenazah dan para penumpang tidak sempat ditimbang sebelumnya. Navigator dan engineer mengandalkan pengalaman serta insting mereka untuk mengira-ngira angka yang paling mendekati, lalu mencari kecepatan yang sesuai dalam manual pesawat.

Dengan hati-hati, saya menurunkan roda pendarat. Udara terasa lebih berat saat pesawat mulai merendah. Saya harus memastikan setiap gerakan setepat mungkin, tak boleh ada kesalahan. Semua perhatian dan keahlian yang saya punya tercurah dalam detik-detik terakhir sebelum roda menyentuh landasan.

Ketika akhirnya pesawat mendarat dengan halus—nyaris tanpa guncangan—sebuah kelegaan luar biasa mengalir di tubuh saya. Saya terus mengarahkan pesawat menuju area parkir yang telah disiapkan, memastikan semuanya tetap terkendali. Namun, kejutan belum usai.

Tiba-tiba saja, Pak Syaukat naik ke kokpit dan berkata dengan nada setengah bercanda, "Chap, kamu ditanya Ibu Tien, apakah pesawat ini sudah mendarat?" Saya tersenyum tipis, antara lega dan bangga seraya menjawab ”Terimakasih Pak !”. Tanpa terasa, di dalam kokpit yang berudara sejuk itu, keringat sebesar butiran jagung menetes di dahiku.

Begitu pesawat berhenti sempurna, saya dan kru kembali ke buritan untuk memberikan laporan akhir kepada Presiden. Dengan satu ucapan sederhana, "Terima kasih," dari beliau, segala ketegangan dan tekanan yang saya pikul seolah cair dan sirna. Itulah akhir dari penerbangan paling menegangkan yang pernah saya alami—sebuah misi yang akan selalu saya kenang sebagai bukti dedikasi, kehormatan, kebanggaan dan tanggung jawab yang tak ternilai harganya.

DARI BUKU:”SAYA PENGEN JADI PILOT” tulisan Chappy Hakim

Ditulis ulang di Jakarta 28 Februari 2025

Chappy Hakim – Pusat Studi Air Power Indonesia

 

 

 


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait