Nasib Malang Nakes di Indonesia, Kemkes Cuma bisa Mengelak dari Tanggung-jawab | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Sumber: Istimewa

Nasib Malang Nakes di Indonesia, Kemkes Cuma bisa Mengelak dari Tanggung-jawab

Ceknricek.com--Ratusan tenaga kesehatan dipecat usai demo menuntut kenaikan gaji, demikian headline berita di DetikHealth, hari Jum’at 12 April 2024, tepat hari kedua setelah hari raya Idul Fitri 1445 H lalu (https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-7289630/ratusan-nakes-di-ntt-dipecat-usai-demo-kemenkes-buka-suara). 

Aksi unjuk rasa sekitar 300 nakes tersebut dilakukan di Kantor Bupati Manggarai, NTT, untuk menuntut perpanjangan Surat perintah Kerja (SPK) dan meminta kenaikan gaji agar setara Upah Minimum Kabupaten (UMK).

Yang paling menyedihkan terkait peristiwa ini bukanlah soal pemecatan tersebut. Tapi komentar sang Menteri yang selalu mengumbar janji untuk memperbaiki kesejahteraan tenaga kesehatan. “Ini merupakan kewenangan daerah terkait pengangkatan nakes karena tergantung kebutuhan, prioritas, dan ketersediaan anggaran,“demikian kata kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes.

Jelas ini adalah sebuah upaya untuk mengelak dari tanggung jawab seorang Menkes yang sebelumnya dengan penuh kesombongan mengusung sebuah UU Kesehatan yang menghapuskan kewajiban negara untuk menyediakan anggaran kesehatan (Mandatory Spending Kesehatan atau MSK) minimal 5% dari APBN dan 10% dari APBD sebagaimana Tap MPR No 10-2001 yang dijabarkan dalam UU No 9-2009 pasal 171, ayat 1-2.

“MSK adalah sebuah keniscayaan bagi negara yang menginginkan peningkatan kualitas hidup rakyatnya, dan tidak ada satupun negara di luar sana yang tidak menetapkan MSK,” demikian kata Dr. Dicky Budiman, MSc., PH., peneliti kesehatan dan epidemiolog Griffith University, Australia, pada diskusi Forkom IDI, Minggu 21/5/2024.

Bahkan ada jejak digital sang menteri yang menyatakan “Sepuluh persen (dari APBD) ini harus direalisasikan dengan baik termasuk untuk peningkatan dan pemerataan tenaga kesehatan” (pernyataan menkes pada ‘Forum Penguatan Program dan Strategi Transformasi SDM Kesehatan di Jawa Tengah’ pada tanggal 22/7/2022).

Terlihat jelas bahwa sikap menkes menyerahkan tanggung jawab pemenuhan hak kesejahteraan nakes sepenuhnya kepada Pemda, padahal dalam UU 17-2023 anggaran wajib kesehatan dihapuskan dari APBD, adalah nyata-nyata sikap hipokrit, bak peribahasa ‘lempar batu sembunyi tangan’,atau bahkan lebih tepat lagi ‘menjilat ludah sendiri’.

Kegagalan kemenkes memenuhi kewajiban konstitusional sesuai Pasal 34 Ayat 3 UUD 1945

Kemenkes adalah kepanjangan tangan negara dengan tanggung jawab wajib untuk menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan yang layak (UUD 1945 pasal 34 ayat 3).Pengertian ‘layak’ saat kita merdeka 1945 tentunya berbeda sekali dengan saat ini, 78 tahun pasca kemerdekaan. 

Selain sarana dan fasilitas medis, tentunya juga kecukupan nakes sesuai standar. Kegagalan Kemenkes terkait penyediaan Fasyankes yang’layak’, yang pertama adalah target pencapaian Puskesmas terakreditasi yang cuma 56,4% dari target 100%, dan kedua adalah pemenuhan nakes sesuai standar untuk Puskesmas yang cuma 56,07% dari target 83%. Belum lagi, 9 dari 10 indikator program kesehatan berdasarkan Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 berpotensi gagal tercapai (Laporan Ketua Bappenas dalam rapat Komisi XI DPR, Senin, 5 Juni 2023) (https://katadata.co.id/yuliawaty/berita/647dba44ad349).

Hak-hak Kemanusiaan dan Kesejahteraan Nakes tanggung-jawab siapa?

Peristiwa pemecatan hampir 300 nakes di NTT tersebut tentu bukan hal yang tiba-tiba dan yang pertama kali terjadi. Awal Januari tahun lalu, RSUD Chasan Boesoirie di Ternate, Maluku Utara tidak bisa memenuhi hak Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) selama 15 bulan untuk 700 Nakes ASN, 200 Nakes Non-ASN, serta 20 dokter kontrak (https://indotimur.com/kesehatan/). 

Awal Juli 2023 lalu, Dokter Spesialis dan Nakes di RSUD Namlea, Pulau Buru menyatakan mogok kerja karena TPP nya tidak dibayarkan selama 11 bulan (https://trans7/official/redaksi). Tidak berapa lama kemudian menyusul demo para dokter spesialis RSUD Jayapura, RSUD Abepura, dan RSJ Abepura terkait penerimaan TPP yang tidak sesuai dengan Pergub (https://www.kompas.tv/regional/438591).

Dua minggu sebelumnya, demo serupa terjadi di RSUD Sele Be Solu, Kota Sorong, karena insentif yang tidak dibayarkan selama 5 bulan. Mogok kerja para dokter umum, dokter spesialis dan dokter gigi juga terjadi awal September 2023 di RSUD Soe di Kabupaten Timor Tengah Selatan, lagi-lagi karena Tunjangan Kelangkaan Profesi yang tidak dibayarkan selama 6 bulan. Ternyata persoalan serupa ternyata juga terjadi di propinsi Aceh, di RSUD Subulussalam awal bulan September ini (https://linear.co.id/sejumlah-dokter-spesialis-di-rsud-subulussalam-mogok-kerja/).

Persoalan tentang nakes yang dipaksa bekerja rodi, dengan hak kesejahteraan yang cenderung diabaikan adalah ‘fenomena gunung es’. Di Kab. Pasaman Barat  dilaporkan bahwa sejak tahun 2019 tidak ada lagi TPP maupun insentif kelangkaan profesi. Sedangkan di Kab. Pesisir Selatan besaran TPP untuk dokter umum di Puskesmas Cuma sebesar Rp.170 ribu, betapa malang dan mengenaskan nasibmu, oh nakes di negeri ini. 

Di RSUD Soe, Kab. Timor Tengah Selatan, insentif Covid bulan Januari sampai Juli 2022 tidak pernah dibayarkan, padahal input telah dilakukan sesuai jadwal pada Aplikasi Kemkes. Insentif Covid juga tidak dibayarkan sejak Juni 2021 di Jambi dengan pelbagai alasan. Bahkan di Manokwari, TPP atau insentif untuk Nakes telah ditiadakan sama sekali oleh Bupati. Semua informasi dalam alinea ini didapat dari zoom meeting Kang Hadi Conscience (KHC) 4 Sept. 2023 (https://www.youtube.com/live/UOLSpp3CAXc?si=903oCvwiOvO67akB).

UU Kesehatan Omnibus Law menyelesaikan masalah atau malah menambah masalah?

Layanan kesehatan tidak bisa terlaksana tanpa kehadiran dokter dan nakes serta sarana peralatan yang diperlukan. Penyediaan fasyankes yang layak dan sarana yang memadai tidak akan berguna tanpa ada dokter dan nakes dengan kompetensi yang sesuai. Terpenuhinya hak-hak kemanusiaan dan kesejahteraan nakes mutlak menjadi tanggung-jawab negara untuk tercapainya target pemenuhan kebutuhan nakes sesuai standar (salah satu indikator target RPJMN Kesehatan 2020-2024).

Kehadiran UU No. 17-2023 yang penyusunannya setengah dipaksakan, dengan menegasikan meaningful participation dari kelompok terdampak, dinarasikan oleh menkes untuk mengatasi masalah distribusi nakes yang katanya terhambat oleh kehadiran Organisasi Profesi (IDI, PDGI, PPNI, IBI, dan IAI). 

Benarkah UU No.17-2023 yang mengusung konsep transformasi pelayanan kesehatan dan kedokteran presisi akan bisa menyelesaikan masalah carut marutnya distribusi nakes? Kalau kesejahteraan dan jenjang karir nakes merupakan tanggung-jawab Pemda, mengapa tidak satupun pasal dalam UU 17-2023 yang bicara tentang perubahan otonomi daerah terkait hal itu? Belakangan baru diketahui (dari persidangan Judicial Review di Mahkamah Konstitusi) bahwa penyusunan UU ini sama sekali tidak melibatkan Pemda, bahkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pun lupa diminta pertimbangannya (bak sebuah negeri sandiwara).

Menurut Perhimpunan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), dari 10.292 puskesmas, ada 3285 (31,6%) Puskesmas yang tidak punya dokter gigi (https://databoks.katadata.co.id), padahal produksi dokter gigi saat ini mencapai 2500 orang setiap tahun. Jelas bukan jumlah dokter gigi yang kurang, hanya menkes dan jajarannya yang paling tahu kenapa para dokter gigi tidak mau atau tidak bisa ditempatkan di 3285 Puskesmas tersebut.

Apakah kehadiran Elon Musk meng-internet-kan seluruh Puskesmas akan menyelesaikan target pemenuhan Nakes sesuai Standar Puskesmas? Menkes mesti tahu bahwa pasien sakit gigi tidak bisa dilakukan cabut gigi via zoom. Jadi menghadirkan dokter gigi di Puskesmas akan jauh lebih bermanfaat bagi pemenuhan hak kesehatan rakyat yang menjadi tanggung jawab Menkes, bukan Elon Musk. 

Dengan UU 17-2023, kesehatan dijadikan Objek Bisnis Negara terhadap rakyatnya

Di satu sisi, kehadiran UU 17-2023 telah memperkokoh cengkeraman Kemenkes atas tata kelola nakes dari hulu sampai kehilir dan sekaligus mengeliminasi peran penting OP Kesehatan dalam pemeliharaan kompetensi dan pengawalan etika profesi para nakes. Di sisi lain, dihilangkannya peran/kehadiran negara dalam bentuk MSK, tapi digelar karpet merah masuknya investasi asing atas nama bisnis layanan kesehatan. Bahkan sebelum lahirnya UU, sudah ada Permenkes 6-2023 tentang TK-WNA yang penuh kontroversi, misal tentang dokter asing yang tidak perlu bisa bahasa Indonesia saat mulai bekerja, dan terkait dokter asing untuk penempatan di daerah 3 T (terdekat, terkaya, dan termodern ?).

Apakah kehadiran RS Asing yang mewah dan canggih seperti RS Aspen di Depok, yang diresmikan oleh Menkes dan Menteri Airlangga Hartarto (Depok.tribunnews.com, 20-6-2023), Sanur Medical International Complex yang mewah di Bali, serta pembangunan sebanyak 30 RS Tiongkok yang perjanjiannya ditandatangani Menkes di Chengdu (https://youtu.be/sNYnt_NxdPY) sehari setelah pengesahan UU 17-2023, apakah akan jadi solusi?Benarkah semua RS asing nan mewah tersebut hadir mewakili negara memenuhi kewajiban konstitusional sebagaimana tertulis pada pasal 34 ayat 3 UUD 1945? Jawabnya Tidak, karena dengan UU 17-2023 ini yang sesungguhnya terjadi adalah negara (baca: Menkes) tengah berbisnis dengan rakyatnya sendiri.

Liberalisasi dan industrialisasi layanan kesehatan secara pelan tapi pasti telah menjadikan ‘sehat’ sebagai barang mewah yang hanya terjangkau oleh segelintir anak bangsa termasuk para pejabat eksekutif dan legislatif. Semua RS mewah dan modern tersebut dibangun sebagai sarana wisata kesehatan, seperti pernyataan Menteri Airlangga Hartarto dan Erick Thohir. Jadi semua RS mewah tersebut bukan untuk 178,5 juta peserta BPJS kelas 3 yang memerlukan rawat inap bukan untuk ‘wisatakesehatan’. Rakyat miskin peserta BPJS kelas 3 ini butuh pengobatan penyakitnya, guna bisa bertahan hidup. Mereka tidak butuh ruang perawatan mewah bak hotel berbintang, bahkan dirawat di selasar/ bangsal tanpa penyejuk udara, tanpa kamar mandi dalam-pun mereka bersedia asal tanpa harus menunggu antrian rawat inap selama 6-12 bulan.

Rakyat punya Hak Kesehatan dan Nakes punya Hak Kesejahteraan

Mengapa setelah merdeka lebih dari 78 tahun, distribusi dokter dan nakes masih menjadi persoalan krusial yang terus berulang dan tidak pernah terselesaikan. Jangan berharap para nakes dengan sukacita (bukan terpaksa) melakukan tugas kemanusiaannya selama negara tidak bisa memenuhi hak kesejahteraan dan hak kemanusiaan mereka.Tidak hadirnya layanan kesehatan yang berkualitas dan pelayanan spesialistik di banyak daerah adalah bentuk ketidakadilan sosial, karena semua orang bayar iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), tetapi layanan spesialistik hanya bisa dinikmati oleh masyarakat perkotaan.

Apakah adil dan pantas bila nakes yang hampir semuanya merupakan lulusan pendidikan profesi (bukan vokasi) harus berdemo menuntut gaji setara UMR (berlaku untuk para buruh dan pekerja vokasi, bukan profesi). Masyarakat luas tidak perlu terkejut karena ada sekitar satu juta nakes yang berstatus honorer atau pegawai kontrak dengan gaji jauh di bawah UMR. Di sebuah ibu kota provinsi, Nakes mendapatkan gaji bulanan sebesar 900 ribu untuk yang D2-D3, dan sebesar 1,1 juta untuk yang S1-S2 (berdasarkan Surat keputusan tertanggal 4 januari 2021), di waktu yang sama UMR di kota itu sebesar 2,8 juta rupiah.

Dari semua kejadian di atas terlihat kasatmata negara membutuhkan kehadiran nakes, tapi di saat yang sama negara (baca: Menkes) menutup mata dan tidak peduli terhadap hak-hak kemanusiaan dan kesejahteraan Nakes. Kalau menkes berpendapat (sebagaimana disampaikan kepala Biro Komunikasi Kemenkes) bahwa jaminan kesejahteraan nakes di daerah bukan tanggung jawabnya, maka itu artinya ‘haram hukumnya’ bagi menkes bicara tentang kekurangan jumlah nakes di daerah, karena kedua situasi itu tidak mungkin dipertemukan.

Doa Penutup

Semoga kelak kita punya menkes yang bukan Cuma bisa bicara tentang transformasi layanan kesehatan dan peningkatanke sejahteraan nakes, tapi juga bertanggung-jawab ketika banyak nakes di daerah berteriak karena hak-hak kemanusiaannya terabaikan. Menkes yang tidak sekedar bicara tentang deteksi dini kanker tapi faktanya kanker payudara dan kanker leher rahim masih jadi penyebab tertinggi kematian ibu di Indonesia karena ternyata lebih dari 70% pejuang kanker belum terpenuhi haknya memperoleh radioterapi (https://conferences.iaea.org/event/229/contributions/18620/attachments9747/13610/53-icaro-3-synopsis-pdf ). 

Bukan menkes yang awalnya bicara tentang kurangnya skrining dan deteksi-dini kanker (peran edukasi masyarakat dan faskes primer di daerah) tapi berujung pada rencana beli alat PET scan yang super mahal untuk RS Rujukan Tersier (PET scan sama sekali bukan alat untuk deteksi dini kanker)(https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-7171798/menkes-curhat-sengkarut-polemik-pasien-kanker-di-ri-antreannya-bisa-3-bulan).Semoga Tuhan kabulkan doa dan harapan kami.Amin.

#Zainal Muttaqin,Praktisi Medis, Pengampu Pendidikan Dokter, Guru besar FK Undip

 


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait