Negara Absen, Premanisme Merajalela: Menggugat Kedaulatan, Menuntut Solusi Konkret dan Berani | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto: Istimewa

Negara Absen, Premanisme Merajalela: Menggugat Kedaulatan, Menuntut Solusi Konkret dan Berani

Ceknricek.com--Menjelang delapan dekade kemerdekaan Republik Indonesia, bangsa ini kembali dihadapkan pada ironi yang memilukan. Alih-alih merasakan kehadiran negara yang melindungi dan mengayomi, ruang publik kita justru semakin akrab dengan bayang-bayang kekuasaan informal yang kerap disebut premanisme.

Fenomena ini bukanlah sekadar riak kriminalitas, melainkan gejala struktural yang mengindikasikan kerapuhan fondasi negara hukum kita. Analisis tajam Ian Douglas Wilson, akademisi Australia, dalam karyanya mengenai politik jatah preman di Indonesia pasca-Orde Baru, menjadi cermin refleksi yang penting dan relevan. Namun, analisis ini akan semakin kuat jika dihubungkan dengan landasan konstitusional dan hukum negara kita.

Wilson, melalui studinya, membedah sosok seperti Hercules Rosario Marshall bukan sebagai anomali, melainkan sebagai produk dari "absennya negara" (absent state). Ketika negara gagal menjalankan fungsi-fungsi dasarnya, maka kekosongan otoritas formal ini diisi oleh aktor-aktor non-negara. Hercules, dan figur-figur sejenisnya, tampil sebagai "makelar kekerasan" (violence broker) dalam sistem demokrasi yang pincang.

Namun, fenomena ini jelas bertentangan dengan mandat UUD 1945. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan, "Negara Indonesia adalah negara hukum." Artinya, segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara harus didasarkan pada hukum, bukan pada kekerasan atau kekuatan informal. Kehadiran premanisme jelas-jelas menafikan prinsip negara hukum ini.

Lebih jauh, Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menjamin hak setiap orang atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Premanisme adalah antitesis dari jaminan ini.

Premanisme ini merusak tatanan sosial, ekonomi, bahkan psikologis masyarakat. Wilson mengidentifikasi kekuatan para "makelar kekerasan" ini bersumber dari jejaring, loyalitas, dan kemampuan memanfaatkan ketakutan sebagai "mata uang sosial" (social currency). Mereka membangun "modal koersif" (coercive capital), otoritas informal tanpa legitimasi formal, namun seringkali lebih efektif memaksakan kehendak. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip keadilan sosial yang diamanatkan dalam Pancasila, khususnya sila kelima, dan tujuan negara untuk "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia" sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.

Lebih jauh, Wilson mengamati evolusi premanisme yang semakin canggih. Jika dulu identik dengan parang dan tatapan garang, kini ia bisa hadir dalam balutan proposal "pengamanan lingkungan," menyaru sebagai ormas, berfoto mesra dengan elite politik, bahkan mengirimkan surat resmi. Kasus "mitra lingkungan" dan BYD adalah contoh "pemaksaan tak terlihat" (invisible coercion) yang dibungkus retorika kewirausahaan dan stabilitas. Perilaku ini, jika ditelaah lebih dalam, seringkali melanggar aturan hukum, yaitu UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (jika disalahgunakan).

Pertanyaan yang kemudian muncul: apakah fenomena merajalelanya premanisme ini murni cerminan ketidakmampuan negara? Atau, apakah ada unsur kesengajaan? Wilson sendiri mengisyaratkan bahwa preman bukanlah selalu lawan negara; terkadang mereka adalah "mitra yang dibutuhkan oleh elite untuk mengerjakan apa yang tak bisa dilakukan secara sah." Ini adalah hipotesis yang sangat mengganggu.

Jika demikian, maka kita tidak hanya berbicara tentang kegagalan hukum, tetapi tentang pengkhianatan terhadap amanat konstitusi dan cita-cita kemerdekaan. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menjamin hak setiap warga negara atas kedudukan yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan. Namun, premanisme menciptakan sistem hukum rimba, di mana yang kuat adalah yang menang, dan hukum hanya berlaku bagi mereka yang lemah. Negara yang membiarkan kekuasaan berserakan dan tidak sungguh-sungguh merebutnya kembali dari tangan-tangan tak bernama adalah negara yang kehilangan marwahnya.

Tragedi kita hari ini, seperti yang disimpulkan dengan getir, adalah "negara ada, tapi tak hadir; preman ada, dan selalu tahu kapan harus datang." Hercules mungkin pernah menjadi ancaman bagi negara, tetapi kehadirannya, dan para penerusnya dalam berbagai bentuk, adalah penanda yang jauh lebih penting: bahwa negara bisa diancam, dan bahkan dinegasikan perannya, karena ia terlalu lama membiarkan dirinya absen atau bahkan berkolusi dengan bayang-bayang.

Solusi Berani dan Terukur dalam Koridor Negara Hukum

Menghadapi fenomena ini, diam bukanlah pilihan. Negara hukum Indonesia memiliki instrumen dan kewajiban untuk bertindak tegas dan komprehensif. Solusi tidak cukup hanya bersifat reaktif, tetapi harus proaktif, preventif, dan berani, dengan tetap menjunjung tinggi supremasi hukum:

1.Kepemimpinan yang Tegas dan Inovatif di Semua Lini: Dibutuhkan pemimpin di tingkat nasional hingga daerah yang memiliki keberanian politik (political will) untuk memberantas premanisme tanpa pandang bulu, harus berani mengambil langkah-langkah inovatif dalam penataan kota dan pelayanan publik, termasuk upaya menciptakan rasa aman. Misalnya, dengan mengoptimalkan teknologi (CCTV terintegrasi, aplikasi pelaporan warga yang responsif), merevitalisasi ruang publik agar tidak menjadi sarang aktivitas ilegal, dan membangun komunikasi langsung dengan masyarakat untuk memetakan serta mengatasi potensi gangguan keamanan. Pemimpin harus menjadi panglima dalam perang melawan premanisme, bukan malah berkompromi.

2.Reformasi Struktural dan Kultural Aparat Penegak Hukum:

  • Integritas dan Profesionalisme: Memastikan aparat kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan bersih dari praktik kolusi dengan kelompok preman. Ini memerlukan pengawasan internal yang ketat (seperti penguatan Kompolnas dan Komisi Kejaksaan) dan sanksi tegas bagi oknum yang terlibat.
  • Peningkatan Kapasitas: Pelatihan khusus bagi aparat untuk menangani modus-modus premanisme modern, termasuk yang berkedok legal atau menggunakan teknologi.
  • Kesejahteraan Aparat: Peningkatan kesejahteraan aparat penegak hukum yang diimbangi dengan tuntutan akuntabilitas tinggi untuk mengurangi potensi korupsi.

3.Penegakan Hukum yang Konsisten dan Efektif (Zero Tolerance):

  • Tindakan Tegas dan Terukur: Melakukan operasi penindakan terhadap kelompok-kelompok preman secara berkelanjutan, berdasarkan data intelijen yang akurat, dan selalu dalam koridor hukum acara pidana. Tidak boleh ada "daerah bebas hukum" atau kelompok yang merasa kebal hukum.
  • Penerapan Pasal Berlapis: Menggunakan seluruh instrumen hukum yang ada, mulai dari KUHP (pemerasan, pengancaman, perusakan, penganiayaan), UU Ormas, hingga UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) untuk memiskinkan para gembong preman dan memutus aliran dananya.
  • Perlindungan Saksi dan Korban: Menjamin keamanan saksi dan korban yang melaporkan tindak premanisme agar mereka berani bersuara.

4.Revitalisasi Peran Negara dalam Pelayanan Publik dan Ekonomi:

  • Penyederhanaan Birokrasi: Memangkas birokrasi perizinan dan layanan publik yang berbelit-belit yang sering menjadi celah bagi "calo" dan preman untuk bermain. Digitalisasi layanan dapat menjadi salah satu solusi.
  • Penciptaan Lapangan Kerja dan Keadilan Ekonomi: Mengatasi akar masalah sosial ekonomi seperti kemiskinan dan pengangguran yang dapat menjadi lahan subur bagi rekrutmen anggota preman. Program pemberdayaan ekonomi yang tepat sasaran dan berkelanjutan.

5.Penguatan Partisipasi Masyarakat yang Konstruktif:

  • Sistem Keamanan Lingkungan (Siskamling) yang Terarah: Menghidupkan kembali Siskamling yang terintegrasi dan di bawah supervisi aparat keamanan resmi, bukan membentuk kelompok-kelompok main hakim sendiri.
  • Edukasi Publik: Kampanye masif untuk membangun kesadaran masyarakat agar tidak menggunakan "jasa" preman dan berani melaporkan praktik premanisme.

6.Pengawasan Ketat terhadap Ormas dan Entitas Serupa: Melakukan verifikasi dan pengawasan yang ketat terhadap ormas atau kelompok lain agar tidak disalahgunakan untuk kegiatan premanisme. Jika terbukti melanggar hukum, tindakan tegas sesuai UU Ormas, termasuk pembubaran, harus dilakukan.

Sebagai bangsa yang hampir 80 tahun merdeka, kita tidak boleh membiarkan kondisi ini menjadi normalitas baru. Negara harus hadir secara utuh, tidak hanya sebagai simbol, tetapi sebagai kekuatan nyata yang menjamin rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi setiap warga negara, tanpa terkecuali. Kedaulatan rakyat harus direbut kembali, tidak hanya dalam retorika, tetapi dalam praktik nyata sehari-hari. Jika tidak, peringatan Wilson akan terus bergema: "Kita memiliki negara, namun kita tidak benar-benar merasakannya". Dan itu adalah ironi terbesar bagi sebuah bangsa yang telah berjuang begitu keras untuk kemerdekaannya. Saatnya negara benar-benar hadir dan berdaulat, bukan hanya preman yang unjuk gigi dengan memanfaatkan absennya negara.


Editor: Ariful Hakim


Berita Terkait