Omong Kosong Anti Korupsi | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Sumber: Liputan6

Omong Kosong Anti Korupsi

Ceknricek.com -- Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK akan segera berganti. Irjen Firli Bahuri, anggota Polri, yang dianggap pernah melanggar etik KPK bakal menjadi pimpinan lembaga anti-rasuah ini. Di sisi lain, Presiden Joko Widodo juga sudah selesai menyusun anggota Dewan Pengawas atau Dewas KPK 2019-2023. Dewas bakal dilantik bersama dengan jajaran pimpinan KPK 2019-2023, pada 21 Desember.

Urusan Dewas ini penting. Soalnya, penghuni pos baru dalam KPK ini memiliki kekuasaan yang sangat besar. Sebagai contoh, bila para komisioner KPK ingin melakukan penyadapan telepon untuk menangkap para koruptor yang akan bertransaksi, maka harus ada dulu izin dari Dewas. Izin bisa saja ditolak.

Soal itu sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Nah, UU yang dianggap banyak pihak sebagai UU pelemahan KPK itu nantinya mulai diberlakukan secara efektif.

Omong Kosong Anti Korupsi
Sumber: Sindo

Walau sejatinya, aura UU ini memang sudah terasa kelam belakangan ini. Sejak UU KPK yang baru ini disahkan oleh pemerintah dan DPR, tidak ada satu pun kasus baru yang ditangani KPK. Perayaan Hari Anti Korupsi Sedunia yang jatuh pada 9 Desember pun terasa berbeda jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Tak ada gregetnya. 

Suasana dingin ini wajar terjadi. Soalnya, beberapa bulan sebelum peringatan hari antikorupsi, pemerintah banyak menelorkan kebijakan yang cenderung prokorupsi. Paling tidak, kini sudah muncul kesan, semangat negara dalam memberantas korupsi semakin surut. Publik meragukan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. 

Omong Kosong Anti Korupsi
Sumber: Merahputih

Baca Juga: Hari Anti Korupsi Sedunia 9 Desember 2019, dari JAGA hingga Lelang KPK

Presiden Jokowi dengan ringan memberikan pengurangan hukuman bagi narapidana kasus korupsi. Jokowi juga tidak menyelesaikan perkara penyiraman air keras penyidik senior, Novel Baswedan. Kasus tersebut tidak selesai sejak 2017 lalu dan masih menyimpan banyak pertanyaan hingga saat ini. 

“Rezim Joko Widodo memang tidak pernah menganggap pemberantasan korupsi sebagai sebuah entitas penting," ujar peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, seperti dikutip Tirto, Kamis (5/12/2019). 

Kondisi Mahkamah Agung (MA) di era pemerintahan Jokowi juga menjadi sorotan. Pintu terakhir rakyat memperoleh keadilan ini memberi banyak keringanan kepada koruptor. Data ICW menyebutkan sepanjang tahun 2018 lalu rata-rata vonis pelaku korupsi hanya 2 tahun 5 bulan penjara. 

Grasi Annas Maamun

Jokowi juga menerbitkan grasi kepada koruptor Annas Maamun. Grasi itu tertuang dalam Keppres nomor 23/G tahun 2019. Publik kaget karena pengusutan kasus korupsi yang menjerat bekas Gubernur Riau ini sangat kompleks dan membutuhkan waktu berlarut-larut. Keputusan presiden ini aneh dan tanda dasar yang memadai. 

Omong Kosong Anti Korupsi
Sumber: Tempo

Baca Juga: Sekitar 3.000 Pelajar Gelar Aksi Peringati Hari Antikorupsi Sedunia 2019 di Semarang

Jokowi telah menggiring ingatan pubik pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang tidak memberikan keringanan sedikit kepada besannya, Aulia Pohan.

Aulia Pohan adalah ayah dari Annisa Pohan, menantu Presiden SBY. Annisa menikah dengan putra sulung Presiden, Agus Harimurti Yudhoyono. Aulia ditangkap KPK pada tahun 2009 silam karena terkait kasus aliran dana Bank Indonesia.

Aulia Pohan divonis di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dengan hukuman 4,5 tahun. Mahkamah Agung kemudian meringankan hukuman mantan Deputi Gubernur BI itu menjadi 3 tahun. Aulia dianggap bersalah karena menyetujui pengambilan uang Rp100 miliar dari Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) lewat Rapat Dewan Gubernur BI. 

Omong Kosong Anti Korupsi
Sumber: Merdeka

Pada kisah ini SBY bisa dijadikan contoh baik. Kini, tauladan seperti itu sudah tidak ada lagi. "Kita kehilangan tokoh teladan baik di level nasional sekalipun,” ujar eks Pimpinan KPK, Bambang Widjojanto, seperti dikutip RMOL, Selasa (10/12).

Korupsi telah dikategorikan sebagai extraordinary crime, semestinya pengurangan hukuman dalam bentuk apa pun tidak dapat dibenarkan. "Janji anti korupsi yang selama ini didengungkan oleh Presiden Joko Widodo pun semestinya tidak lagi didengar oleh publik, sebab faktanya narasi itu hanya omong kosong belaka," tambah Kurnia.

BACA JUGA: Cek POLITIK, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini


Editor: Farid R Iskandar


Berita Terkait