Pertemuan Prabowo-Mega: Kecemasan Partai Koalisi | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto: Ashar/Ceknricek.com

Pertemuan Prabowo-Mega: Kecemasan Partai Koalisi

Ceknricek.com -- Prabowo Subianto seakan merelakan diri kembali ke masa lalu. Pada Rabu (24/7), ia mendatangi rumah Megawati Soekarnoputri di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat. Dia datang bersama dua fungsionaris Partai Gerindra, Ahmad Muzani (sekjen) dan Edy Prabowo (wakil Ketua Umum). Dua tokoh ini sudah lama dekat dengan Prabowo bahkan sebelum Gerindra berdiri.

Sedangkan Mega ditemani dua orang anaknya: Prananda dan Puan Maharani. Di samping itu ada juga Kepala BIN Budi Gunawan dan Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto, serta mantan Sekjen PDIP yang juga Menseskab, Pramono Anung.

Pertemuan itu terasa sebagai pertemuan terbatas dan personal. Maklum saja, Mega dan Prabowo sudah mempunyai hubungan personal cukup lama. Secara ideologis mereka juga sama. Jalur nasionalis dan kebangsaan.

Prabowo punya kisah sedih bersama Mega di masa lalu. Pada 2009, keduanya berpasangan maju sebagai capres-cawapres yang dikalahkan Susilo Bambang Yudhoyono-Budiono.

Sumber: Kompas

Kabarnya, ketika itu ada semacam perjanjian tertulis, Mega akan mendukung Prabowo pada Pilpres 2014 sebagai capres. Kesepakatan itu dikenal dengan nama Perjanjian Batutulis. Sesuai dengan nama Istana Batu Tulis, Bogor yang menjadi lokasi perjanjian ditandatangani.

Mega ingkar janji sehingga selama lima tahun terakhir ini keduanya saling membelakangi. PDIP mengusung Joko Widodo-Jusuf Kalla pada Pilpres 2014. Sedangkan Prabowo berpasangan dengan Hatta Radjasa, diusung koalisi partai politik yang dipimin Gerindra. Prabowo-Hatta kalah.

Sumber: Tempo

Perseteruan politik keduanya berlanjut dan tensinya kian meninggi ketika berlangsung Pilpres 2019. Sempat ada upaya menjodohkan Prabowo sebagai capres Jokowi. Namun usulan itu ditolak Prabowo. Seperti yang kita tahu, setelah itu  Prabowo yang berpasangan dengan Sandiaga Uno kembali dikalahkan oleh Jokowi yang berpasangan dengan Ma’ruf Amin.

Pilpres Belum Kelar

Seperti pertemuan Prabowo-Jokowi di gerbong MRT beberapa waktu lalu, pertemuan Prabowo-Mega ditanggapi kekecewaan para pendukungnya. Kekecewaan itu juga ditumpahkan dalam media sosial. Prabowo dianggap berkhianat.

Foto: Ashar/Ceknricek.com

Tulisan viral Nasrudin Joha mengajak publik untuk melupakan Prabowo. “Tak ada lagi macan Asia, yang ada hanya seekor kucing yang saat ini telah menghinakan diri untuk dapat remah ikan asin,” tulisnya, Rabu (23/7).

Konsultan media dan politik, Hersubeno Arief, menyebut pertemuannya sebagai CLBK. Cinta lama bersemi kembali. Cinta lama belum kelar. Lebih dari itu, ada agenda besar yang hendak mereka selesaikan. “Pilpres belum selesai,” katanya.

Hal itu terbukti ketika Budi Gunawan salah satu orang terdekat Mega berhasil mempertemukan Prabowo dengan Jokowi, dan sekarang dengan Mega. Padahal sebelumnya Luhut Panjaitan salah satu tangan kanan Jokowi sudah berupaya keras. Namun selalu ditolak Prabowo.

Menurut Hersu, pertemuan Prabowo dengan Mega ini kian menegaskan tengah terjadi power struggle (perebutan pengaruh/kekuasaan) di sekitar Jokowi pascapilpres. Megawati tengah melakukan konsolidasi pengamanan aset politiknya menuju Pilpres 2024 dengan melibatkan Prabowo.

Foto: Ashar/Ceknricek.com

Prabowo bersiap-siap memotong di tikungan. Sebab seperti dikatakan Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais, Prabowo sudah mengajukan power sharing 45-55% seperti hasil perolehan suara pilpres.

Gejala ini sudah banyak yang menangkap. Pada Senin sore 22 Juli 2019 Luhut Panjaitan tiba-tiba memposting tulisan panjang di akun Facebooknya. Dia bercerita kegiatan pribadinya berziarah ke makam mantan Menhankam/Pangab LB Moerdani. Tulisan itu banyak ditafsirkan sebagai isyarat bahwa Luhut bakal tersingkir dan meninggalkan hiruk pikuk dunia politik.

Dalam tulisannya dia menyatakan: seberapa kaya seseorang. Betapa berkuasa sewaktu masih hidup, maka bila meninggal dunia yang tersisa hanya gundukan tanah seluas 1x2 meter.

Kecemasan Itu

Selanjutnya, pada Senin (22/7) Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh mengadakan pertemuan ketua umum parpol pengusung Jokowi-Ma'ruf Amin di kantor DPP Nasdem tanpa melibatkan Ketua Umum PDIP, Megawati.

Sumber: Tribun

Dalam pertemuan itu, selain Surya Paloh sebagai tuan rumah, hadir Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar, dan Plt Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Suharso Monoarfa.

Banyak pihak menduga pertemuan itu didasari atas kecemasan bakal surutnya pengaruh mereka di pemerintahan. Soalnya, sebelumnya sejumlah elite partai koalisi juga secara tegas menolak bergabungnya Gerindra dan kawan-kawan masuk pemerintahan. “Wong berbeda kok. Satu tahun lebih kita berbeda, dalam tanda petik, kita berseberangan," ujar politisi senior PDI Perjuangan, Effendi Simbolon, dalam diskusi bertajuk "Ngebut Munas Parpol" di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (20/7). "Saya kira cukup. Kami bukan musuh, bukan perang, (ini) hanya kontestasi lima tahunan semata, jadi tak perlu dimanjakan juga," lanjutnya.

Dewan Syura DPP PKB, Maman Imanulhaq, juga senada. Ia mengingatkan, kemenangan Jokowi-Ma'ruf dalam Pilpres 2019 tidak lepas dari kerja keras sepuluh parpol pengusung selama setahun terakhir, terlebih kader akar rumput atau relawan. "Tiba tiba, semuanya itu seolah-olah diakhiri 'oh iya masuk aja'," katanya.

Juru bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf, Ace Hasan Syadzily mengingatkan, apabila Gerindra memberikan sinyal bergabung dengan koalisi pemerintah, maka hal itu harus dibahas secara bersama-sama oleh Jokowi dan Koalisi Indonesia Kerja (KIK).

Menguat

Sebelumnya, Partai Gerindra mengungkap syarat jika harus bergabung dengan pemerintahan Jokowi-Maruf Amin. Syarat itu menurut Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, bukan sekadar bagi-bagi kursi Kabinet.

Syarat itu adalah tukar-menukar konsep mengenai pemeritahan lima tahun ke depan dari yang dimiliki Gerindra dan Koalisi Jokowi-Maruf Amin. Menurut Dasco, konsep-konsep yang dimaksud itu lebih terkait dengan pangan, energi, dan sebagainya.

Selain itu, Prabowo meminta Jokowi membebaskan sejumlah tokoh pendukungnya yang terjerat kasus hukum. Saat ini sejumlah tokoh pendukung Prabowo tengah terjerat kasus hukum di antaranya mantan Komandan Jenderal Kopassus Mayjen (Purn) Soenarko yang terjerat kasus kepemilikan senjata api ilegal dan mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Mayjen (Purn) Kivlan Zen yang terjerat kasus dugaan makar.

Ada pula sejumlah tokoh yang terseret kasus makar, yakni Wakil Ketua Umum Partai Gerindra sekaligus putri presiden pertama Soekarno, Rachmawati Soekarnoputri, aktivis Ratna Sarumpaet, dan Adityawarman Taha. Kemudian ada Eggi Sudjana, Lieus Sungkharisma, Rizieq Shihab, dan Bachtiar Nasir. Menurut hitungan Gerindra masih ada 200 orang pendukungnya yang dibui.

Pertemuan Megawati-Prabowo menunjukkan secara politik, faksi Megawati menguat dan mulai memainkan kontrolnya. Pada periode kedua Jokowi, Megawati jelas tak ingin lagi kecolongan dan kehilangan kontrol seperti pada masa periode pertama.

Foto: Ashar/Ceknricek.com

Pada periode pertama, figur seperti Surya Paloh dan Luhut Panjaitan terlihat sangat dominan dan memainkan peran penting di pemerintahan Jokowi. Sebagai petugas partai, Jokowi adalah aset politik terpenting PDIP. Aset politik yang harus benar-benar dalam kendali partai bila Megawati ingin memperpanjang kekuasaannya untuk periode berikutnya.



Berita Terkait