Pesona Bromo, Kotoran Kuda di Kaldera | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day

Pesona Bromo, Kotoran Kuda di Kaldera

Catatan Asro Kamal Rokan

 

Ceknricek.com - KAWAH BROMO salah satu tempat wisata yang penting dikunjungi. Tidak saja pesona alam penggunungan, tapi juga proses untuk sampai ke sana. Sebelum subuh harus sudah sampai di Penanjakan — tempat untuk istrahat sebelum melihat matahari terbit. Itu artinya, sejak siang harus dipastikan mobil jeep yang disewa, sehat.

Menyewa jeep dengan sopir berpengalaman — yang cukup banyak tersedia —merupakan pilihan tepat untuk keamaan dan kelancaran. Perjalanan biasanya dimulai sekitar pukul 00.00 atau 01.00. Sebaiknya bawa jaket, sarung tangan, dan kupluk untuk menahan udara dingin sekitar lima drajat.

Dari Malang, jarak tempuh sekitar 50 km melalui jalur Lawang, Purwosari, Nangkojajar. Jalan gelap, sempit, menanjak, banyak tikungan tajam, serta melewati hutan, dan desa-desa sepi yang terlelap. Di beberapa tempat, jalan berlobang. Jalur yang banyak digunakan sepeda motor ini, terkesan kurang diperhatikan pemerintah. Kondisi seperti ini banyak ditemukan, padahal ini tempat wisata. Promosinya termasuk gencar dilakukan.

Sekitar dua jam lebih, kami delapan orang sekeluarga, tiba di Penanjakan 1. Di sini, ada Musolah. Jadi tempat istirahat sambil imenunggu waktu sholat subuh. Udara dingin dan angin serasa menusuk ke sumsum. Sajian pertama dimulai: menunggu terbit mata hari.

Melalui jalan setapak yang gelap dan mendaki, kabut menutupi puncak gunung. Arak-arakan kabut tebal datang silih berganti. Cahaya kemerahan terlihat, namun hanya sebersit, kembali tertutup. Kami di tempat yang tinggi, di atas awan tebal.

Setelah sekitar setengah jam menunggu bersama turis-turis asal Prancis, yang memasang tripod dan sesekali  melompat-lompat menghalau dingin, kami kembali ke tempat parkir mobil di Mushola, dan minum susu hangat.  Kami gagal menyaksikan mata hari terbit— yang konon sangat indah. Manusia berencana, Allah yang menentukan.

Bromo salah satu gunung berapi aktif di Indonesia. Letusan terakhir terjadi pada 2015. Dari permukaan laut, ketinggian Bromo 2.330 meter. Berada di empat kabupaten, Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan Malang, gunung Bromo dipercaya masyarakat Hindu Tengger — yang tinggal di sekitar kawasan ini — sebagai gunung suci. Setiap tahun, mereka mengadakan upacara Yadya Kasada di Pura kaki Bromo malam hingga dini hari.

Perjalanan turun menuju lembah Bromo dimulai. Jeep berjalan pelan menghindari pejalan kaki dan jeep-jeep yang parkir di kiri kanan jalan. Bromo di sebelah kiri, sedang di sisi kanan, kabut menutupi puncak gunung lain. Melalui jalan berkelok, kami sampai di satu titik. Kabut telah pergi. Lembah di kawasan Bromo terbentang. Masya Alllah, indahnya.

Ada dua gunung di lembah ini, yakni Gunung Batok dan Bromo yang lebih rendah. Bromo ditandai dengan asap yang mengebul. Kedua gunung itu dikelilingi kaldera, lautan pasir lebih dari 10km. Memandang dari tempat berhenti sisi jalan ke lembah Bromo, Gunung Batok, dan hamparan kaldera, sungguh indah. Jeep-jeep terlihat kecil berseliweran di kaldera — seperti semut dalam kuali. Setelah mengambil foto, kami menuju ke sana.

Jalan menurun dengan tingkungan tajam. Pak Ali, sopir jeep yang kami sewa, cukup ahli melewati medan yang sulit. Tiba di dasar lembah, terhampar padang pasir (kaldera) yang luas. Puluhan jeep berseliweran di kaldera ini. Iseng atau sensasi, sopir-sopir memacu jeepnya dengan kecepatan tinggi. Saling mendahului, layaknya reli Paris-Dakkar. Debu-debu pun berterbanngan. Ada juga pengunjung bersepeda motor. Pasir yang tebal menyulitkan mereka memacu motornya.

Setelah berputar-putar di padang pasir, mengambil foto, jeep berhenti di pangkalan menghadap gunung Bromo. Di pangkalan ini, tersedia cukup banyak warung-warung menjual makanan, juga kuda tunggangan. Para joki menawarkan kudanya melintasi kaldera ke tangga Bromo, jaraknya sekitar dua kilometer. Ongkos naik kuda antara Rp 50 ribu-Rp 75 ribu, tergantung penawaran.

Sampah dan Kotoran Kuda

Saya memilih berjalan kaki sekalian memanaskan badan dalam dekapan dingin. Berjalan kaki harus hati-hati. Kotoran kuda berserakan di kaldera, juga sampah-sampah botol plastik. Ini catatan buruk bagi pemerintah. Objek wisata yang bagus, dikunjungi turis asing, namun kepedulian pada kebersihan dan kenyamanan, sangat rendah. Mewajibkan dan mengawasi pemilik kuda untuk menampung kotoran kudanya, apa susahnya?

Setelah berjalan mengharungi pasir sekitar 20 menit, saya sampai di pelataran Bromo, tempat tangga menuju kawah Bromo. Badan terasa lelah, namun tantangan naik melalui sekitar 300 anak tangga dan menyaksikan langsung kawah, mengalirkan semangat baru: Jangan pergi ke Bromo jika tidak sampai ke kawahnya. Ayo, jalan...

Menapaki satu demi satu anak tangga ternyata tidak mudah. Selain sempit, orang berdesak, anak tangga juga dipenuhi pasir, yang jika tidak hati-hati biisa terpeleset dan berguling ke bawah. Faktor keamanan ini juga menjadi catatan buruk pemerintah. Sangat berbeda jika menapaki tangga Great Wall di China, nyaman dan aman. Pemerintah pusat maupun daerah, seperti tidak pernah serius membenahi objek wisata—yang secara ekonomi memberi hasil berlipat ganda.

Alhamdulillah, saya sampai di anak tangga terakhir. Dibatasi pagar semen, kawah Bromo— bergaris tengah 800 meter — terlihat sampai dasar. Asap bergulung-gulung naik membawa bau belerang. Suara menderu dari kawah. Rasa lelah mendadak hilang melihat pemandangan indah dan misterius.

Dari bibir kawah, terlihat juga sampah-sampah plastik, botol-botol air mineral yang dibuang pengunjung ke kawah. Betapa tidak nyaman. Belum lagi ratusan orang berdesakan di jalan sempit, yang rawan kecelakaan. Di sini juga tidak ada plataran untuk pengunjung mengambil foto. Beberapa orang terpaksa naik undakan batu, yang sangat mungkin jatuh terpeleset. Sekali lagi ini soal rendahnya kepedulian terhadap keamanan, kenyamanan, penataan, dan pelayanan.

Tidak lama di bibir kawah ini, sekitar 10 menit, karena pengunjung terus berdesakan, saya turun. Menapaki tangga turun juga harus hati-hati dengan berpegang pada pagar yang sebagian sudah rusak. Jika tidak waspada, bisa terpeleset dan jatuh.

Saya kembali ke pengkalan. Sopir jeep telah menunggu dengan gelisah. Kami menuju pulang ke Malang, melewati objek wisata lain di kawasan Bromo: Pasir Berbisik dan Bukit Teletubbies.

Pasir Berbisik— mengambil judul film sutradara Nan Achnas pada 2001 lalu — adalah hamparan pasir yang bergelombang dan bersuara karena ditiup angin. Tempat ini cocok untuk objek foto dan prawedding atau pembuatan video. Dari sini, tidak begitu jauh ada bukit Teletubbies. Bukit ini mirip dengan latar serial televisi anak-anak berjudul sama dengan tokohnya Tinky Winky, Dipsy, Lala, dan Po.

Tidak kalah pesonanya menyusuri jalan pulang melalui jalur Jemplang-Ngadas-Gubugklakah-Tumpang-Malang. Jalur ini penuh tanjakan, tikungan tajam, dan sisi-sisinya jurang dalam. Jalan baru diaspal ini memacu adrenalin, sempit, dan tidak jarang mobil berpapasan, bergesekan, dan bahkan kabarnya jika tidak ahli mobil bisa terguling ke jurang sedalam 300 meter. Menurut Pak Ali, sopir kami, dia beberapa kali menemukan mobil terguling remuk di bawah jurang. Tidak ada penumpang yang selamat.

Di saat meningkatnya degub jantung, mata menyaksikan lereng-lereng jurang yang hijau, lambaian pucuk-pucuk cemara, dan perkebunan apel yang terhampar di bawah— lukisan tiada tara, ciptaan Yang Maha Agung.

In Sha Allah, saya akan datang lagi.

 

Malang, 8 Juli 2018.



Berita Terkait