Tabayyun | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day

Tabayyun

Ceknricek.com - Felix Siauw menasehati Abu Janda dalam acara Talkshow Indonesia Lawyers Club di tvOne, Selasa (5/12) malam. Kata Ustadz berusia 33 tahun ini, dia diajar guru-gurunya sejak dulu untuk selalu bicara dengan data. Ulangi: selalu bicara dengan data!

Mualaf kelahiran Palembang itu kemudian "menguliti" Ustadz Abu Janda. Dia membalikkan semua pernyataan pegiat sosial media itu dengan data, seperti yang tampak malam itu dan di dalam video yang viral di media sosial di hati -hari berikutnya.

Satu contoh soal bendera Rasululullah. Klaim Abu Janda mengenai bendera Nabi Muhammad dipastikan oleh Felix, salah. Itu adalah bendera Ustmani, Pemimpin Kekaisaran Ottoman di Turki. Dan, itu tak terbantahkan. Klaim Abu Janda bahwa bendera dimaksud disimpan di Museum Topkapi, Istanbul, Turki, faktanya juga tidak benar. Kebetulan dua  minggu sebelumnya, saya baru saja mengunjungi museum bekas Istana Sultan Ahmed itu. Tidak ada bendera dimaksud seperti disebut Abu Janda.

Tulisan ini tidak akan menguraikan lebih jauh mengenai debat dua ustadz yang sama- sama pula pegiat di media sosial. Saya hanya mau menggarisbawahi pernyataan keharusan bicara bersandar pada data.

Bicara dengan data sesungguhnya adalah bicara mengenai masalah yang dihadapi seluruh bangsa Indonesia saat ini dan juga seluruh bangsa di dunia. Ironinya semua itu terjadi justru setelah kita memasuki era tehnologi informasi, era yang memudahkan kita memperoleh informasi tentang apapun, di mana pun dan kapan pun.

Lihat saja bagaimana mudahnya seseorang membuat opini untuk mendiskreditkan satu pihak di media sosial. Sama mudahnya dengan penyebarannya yang berantai melalui perangkat smartphone. Yang menyedihkan, media mainstream sering ikut menari di gendang itu. Sebagian ikut pula menyebarluaskan tanpa verifikasi. Kalau pun dilakukan verifikasi, tapi konfirmasi yang dilakukan seadanya. Tidak sampai meletakkan duduk perkara secara seutuhnya. Verifikasi hanya terkesan untuk melindungi diri supaya tidak ikut disalahkan sebagai penyebar hoax.

Belakangan, lebih menyesakkan dada, prakteknya terbalik. Sebagian media mainstream itu yang justru meniru semangat pekerja di media sosial. Yang penting menyebarkan berita dengan cepat supaya banyak dapat hits atau like. Padahal, jelas praktek itu berpotensi melanggar kode etik karena lebih mendahulukan kecepatan daripada ketepatan. Maka, publik pun terbiasa menyaksikan media mainstream meralat sendiri beritanya. Mereka lupa berulangkali meralat berita sendiri bisa berakibat menjatuhkan kredibilitas media. Belum lagi kita menghitung kerusakan yang timbul akibat berita pertama, berita yang salah tadi. Bisa dipahami jika sebagian masyarakat yang apatis, memilih melapor ke pihak berwajib. Daripada mengikuti mekanisme hak jawab, atau mengadu ke Dewan Pers, seperti yang dianjurkan petinggi dunia pers: sebagai jalan keluar bagi korban suatu pemberitaan.

Kitab suci Al Quran sejak jauh hari sudah meramalkan bakal terjadi kekacauan komunikasi yang ditimbulkan oleh manusia. Maka melalui surat Al Hujjarat, Allah SWT mengingatkan perlunya akurasi data melalui metode Tabayyun sebelum memastikan kebenaran sesuatu. Saya kutipkan surat Al Hujjarat : " Kalau datang kepadamu seorang fasik menyampaikan suatu informasi maka wajib pertama-tama bagi kamu untuk memeriksa kebenaran informasi tersebut sebelum menimbulkan kerusakan."

Dalam prinsip kerja jurnalistik, tabayyun atau cek dan ricek, ialah meneliti kebenaran informasi sebelum disiarkan. Itu menjadi kewajiban utama bagi wartawan untuk dipatuhi yang diatur dalam kode etik profesi.

Kode etik jurnalistik adalah konsep operasional moral bagi wartawan. Wartawan yang mengabaikan itu moralnya patut dipertanyakan. Sebab, moral, khususnya bagi wartawan sekaligus menunjukkan martabatnya sebagai profesional.

Tentu saja, kode etik professi apapun niscaya meletakkan ukuran moral tadi sebagai mahkota bagi diri profesional, bagi professi, dan institusi tempat dia bekerja. Begitu pun dalam manejemen pemerintahan. Karena mengabaikan tabayyun itu,  pernah terjadi di negeri kita menteri yang diangkat presiden ternyata adalah warga negara asing.

Pekerja di media sosial, yang mengklaim dan memposisikan diri sebagai nitizen junalis mestinya seperti itu juga. Harus punya tanggung jawab moral untuk memperjuangkan kebenaran. Perangkat utama penelitian kebenaran itu adalah tabayyun. Kita tidak bisa membiarkan media sosial yang mendominasi dunia informasi di zaman now terlepas dari kaidah-kaidah tersebut. Sudah jatuh banyak korban dan banyak kerusakan dalam kehidupan bangsa kita.

Mark Zuckekerberg penemu Facebook pun sudah menyadari sendiri kekeliruannya. Dia mengembangkan FB dengan misi yang mulia : "connecting people". Namun Mark tidak menyangka bahwa yang terjadi setelah manusia terhubung bukanlah selesainya suatu masalah yaitu kurangnya komunikasi antar peradaban. Namun menimbulkan beribu masalah baru, yaitu kompleksnya pengelolaan informasi.

Dulu tanpa media sosial, kehidupan offline mempunyai seleksi alam bagaimana sebuah informasi dan penyebaran informasi menemukan jalan pemilik dan peredarannya masing masing. Contohnya: seorang berprofesi X pasti secara alamiah cenderung akan berkumpul dengan orang yg mempunyai pengalaman dan sejarah yang mirip dengannya. Sehingga hidupnya terlindungi, ia tidak diberatkan oleh adu argumen dengan seorang pihak lain yang tidak berada di halaman kehidupan yang sama.

Namun, kini setelah disrupsi internet kemudian sosial media, kita bisa melihat bagaimana seorang yang mempunyai kekuasaan dan penentu kebijakan, bisa salah mengambil sampel pendapat komunitasnya. Contoh: Pati kepolisian yang mengamati perbincangan digital antara komunitas Y. Yang dulu sebelum adanya internet dan sosial media, komunitas tersebut tidak mungkin didengarkan pendapatnya, karena tidak memiliki kompetensi yang diperlukan. Akibatnya Pati tersebut menganggap ide dalam digital konversasi tersebut adalah ide universal dalam komunitasnya.

Fenomena Pilgub DKI yang hampir meluluhlantakkan bangsa kita harus jadi pelajaran berharga, jangan sampai terulang.

Saya sependepat Felix yang menyebut pernyataan Abu Janda atau siapaun yang tak berdasar fakta kebenaran, sesungguhnya adalah kebohongan publik, hatespeach yang menjadi musuh seluruh umat manusia.



Berita Terkait