Tak Ada UN, Leha-leha?   | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Sumber: Tempo

Tak Ada UN, Leha-leha?  

Ceknricek.com -- Dua kata yang lagi sering disebut dalam dunia pendidikan belakangan ini adalah “Merdeka Belajar”. Kesan yang muncul adalah guru dan murid yang santai dan leha-leha. Apalagi dengan munculnya isu Ujian Nasional atau UN bakal dihapus. “Ujian Nasional atau UN pada 2020 menjadi penyelenggaraan UN yang terakhir,” begitu titah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim.

Bagi guru dan siswa, juga negara, UN jelas menjadi beban. Orientasi sekolah hanya untuk menyiapkan anak untuk ikut UN. Soalnya, prestise sekolah diukur dari nilai UN. Hasil UN bagus berarti sekolah itu bagus. UN sebagai penentu kelulusan. Kalau perlu dicurang-curangi juga tak soal.

Sumber: Akurat.co

Jelas ini orientasi pendidikan yang salah. Tidak membentuk anak yang cerdas, berani inovasi, tapi melulu memikirkan nilai UN. Wajar juga ada yang bilang UN membikin kacau pendidikan. Membikin disorientasi pendidikan. Padahal tujuan pendidikan adalah membentuk manusia cerdas, bukan yang jago UN.

Wacana menghapus UN sudah terjadi sejak era Anies Rasyid Baswedan menjadi menteri pendidikan. Hanya saja, pada saat itu Wakil Presiden Jusuf Kalla menentang. JK memiliki pertimbangan sendiri mengapa menolak penghapusan UN.

Sumber: Liputan6

Sebelum ada UN, dulu juga ada sistem pengujian bernama Ebtanas atau Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional. Sistem ini aneh karena ada sistem dongkrak. Ya, kelulusan siswa menggunakan rumus 'dongkrak'. "Hampir semua peserta didik diluluskan. Akibatnya, mutu pendidikan terus menurun, padahal Tuhan memberikan kemampuan otak sama dengan orang Amerika atau Jepang, yang beda hanya siapa yang belajar dengan baik dan siapa yang kurang belajar," tutur JK di Auditorium UNP, Padang, Kamis (5/12).

JK lalu melontarkan tanya, mengapa anak-anak Indonesia kurang belajar? Jawabannya karena sistem 'dongkrak' yang menggampangkan pelajar Indonesia dengan jaminan lulus. "Para pejabat seperti bupati, wali kota juga menekan sekolah pada peran guru agar meluluskan murid-muridnya, akhirnya anak-anak merasa tak perlu belajar, toh pasti lulus juga," kritik JK.

Sumber: Epasikola

Pada tahun 2003, Kementerian Pendidikan akhirnya meluncurkan sistem Ujian Akhir Nasional atau UAN. Lalu disempurnakan menjadi Ujian Nasional atau UN pada 2005. UN diharapkan menjadi basis standar mutu merata di seluruh Indonesia. JK pun yakin dengan sistem Ujian Nasional bisa menguji kemampuan pengetahuan siswa yang sudah seharusnya.

Baca Juga: Merdeka Belajar: Kuncinya di Guru

"Kenapa harus ada standar nasional? Karena kalau tidak, kita punya standar berbeda dan itu berbahaya, mutu berbeda maka ada gap dan kesenjangan mutu pendidikan satu daerah ke daerah lain," beber JK.

Munculnya Ujian Nasional diakui JK tak berjalan mulus. Tercatat pada awal penerapannya, 18% pelajar dinyatakan tidak lulus ujian. Namun, dari tahun ke tahun seiring evaluasi banyak perubahan diciptakan lewat Ujian Nasional. "Evaluasi bisa dilihat, dilihat perkembangannya, ini yang perlu menjadi catatan," tandas JK.

Bukan Dihapus

Cara berpikir JK ini akan menjadi masa lalu. Menteri Nadiem menawarkan empat program pokok kebijakan pendidikan. Salah satunya soal UN. UN 2020 disebutnya sebagai penyelenggaraan UN yang terakhir.

Sumber: detik

Lalu, benarkan seperti itu? Ternyata tidak begitu. Menteri Nadiem bilang UN tidak dihapus. Hanya diganti formatnya. Dikembalikan pada esensi semangat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu mengukur penilaian kompetensi minimum. Begitu urai Nadiem dalam Diskusi Standar Nasional Pendidikan, di Jakarta, Jumat, 13 Desember 2019.

Nantinya, sekolah tak dipaksa untuk menggunakan format UN jika belum siap berubah. “Silakan gunakan soal dari USBN, silakan gunakan dari UN kalau memang itu cara tercepat kalau memang belum siap, tapi sudah tidak ada lagi paksaan," ujarnya.

Ujian kelulusan adalah hak dan ketentuan sekolah sesuai Undang-Undang Sisdiknas. Bagi guru dan kepala sekolah yang ingin melakukan penilaian lebih kognitif, berdasarkan portofolio, esai, prestasi dan kompetensi itu diperbolehkan. "Sekarang dimerdekakan. Jadi, monggo," lanjutnya.

Sumber: Indozone

Baca Juga: Kemendikbud Jelaskan Mengenai 'Penghapusan' Ujian Nasional

Nadiem mengatakan bagi yang ingin maju ke depan, bergerak dan bertransformasi, kini tak ada lagi paksaan. Setelah ini, dia menyebut guru akan melalui proses pemikiran di mana menginterpretasi adalah kebijakan merdeka belajar.

Menurut Nadiem, UN cenderung terlalu padat oleh mata pelajaran. Sehingga membuat materi dan semua silabus harus dimasukkan ke dalam UN. "Di situlah cara tercepat untuk mendapatkan angka tinggi di UN adalah untuk menghapal. Ini bukan perdebatan. Ini kenyataan yang terjadi di lapangan karena banyak sekali guru stres karena penilaian sekolahnya. Siswa dan orang tua stres karena seleksi dia ke tahap berikutnya bergantung kepada angka ini," katanya.

Sumber: republika

Maksud dari UN tentu bukan seperti itu. Mestinya UN adalah penilaian sistem pendidikan dan tolak ukur. Tidak mungkin prestasi kita ditentukan oleh suatu tes pilihan ganda. "Makanya sesuai undang-undang, penilai murid hanya oleh satu orang, yaitu guru. Karena guru paling mengenal anak itu," sambungnya.

Penyelenggaraan USBN nantinya akan diterapkan dengan ujian yang diselenggarakan hanya oleh sekolah. Ujian tersebut, dilakukan untuk menilai kompetensi siswa yang dapat dilakukan dalam bentuk tes tertulis atau bentuk penilaian lainnya yang lebih komprehensif, seperti portofolio dan penugasan.

Melalui hal itu, guru dan sekolah lebih merdeka dalam penilaian hasil belajar siswa. Lalu, anggaran USBN pun dapat dialihkan untuk mengembangkan kapasitas guru dan sekolah guna meningkatkan kualitas pembelajaran.

Sumber: Detik

Penyelenggaraan UN 2021 akan diubah menjadi asesmen kompetensi minimum dan survei karakter yang terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi) dan penguatan pendidikan karakter.

Jika begitu, sesungguhnya UN memang tidak dihapus melainkan akan diganti. Hanya saja, penggantinya belum kelihatan seperti apa. Asesmen adalah bagian yang tidak terpisahkan dari belajar.

Analisis Perbaikan

Mereka yang sependapat dengan JK juga tak sedikit. UN sebenarnya bagus. Banyak manfaatnya. Masalahnya, setelah di-UN-kan, enggak pernah dianalisis untuk perbaikan. Pengganti UN juga akan sama nasibnya kalau tidak ada analisis perbaikan. Jadi, mau bentuk asesmen apa pun juga harus ditindaklanjuti untuk perbaikan.

Lagi pula, UN adalah salah satu standar penilaian yang diamanatkan UU. Rupanya, Menteri Nadiem ingin melakukan penyederhanaan standar-standar itu. UN belum dihapus juga karena UU-nya belum diganti.

Baca Juga: 'Merdeka Belajar': UN Dihapus, Zonasi Lebih Fleksibel

Sumber: Depdiknas

UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mesti direvisi sebelum mengganti UN. Sebelum itu diganti, mestinya tetap harus ada standar, kendati sederhana. Standar itu tidak perlu mengatur-mengatur yang terlalu detail.

Bisa saja nanti kalaupun ada UN, bisa dibuat lembaga UN sendiri seperti lembaga TOEFL. UN bisa diselenggarakan setahun empat kali, tapi itu opsional. Siswa boleh ikut, boleh tidak.

Jika menelaah perdebatan soal ini, rupanya persoalannya memang bukan UN atau tidak UN. Prinsipnya bagaimana membuat anak belajar lebih keras dan disiplin. Belajar mesti dalam kondisi menyenangkan. Hanya saja, murid juga mesti diberikan tantangan. Pendidikan merupakan pejalan sepanjang hayat, oleh karenanya anak mesti diberikan sejumlah tantangan setiap saatnya. Bukan hanya menjelang dia lulus. Tantangan-tantangan akan membuat anak bekerja keras dan disiplin.

Jadi tetap harus ada koridor challenge yang tepat untuk anak. Dan letaknya di mana challenge itu? Tak harus di akhir, tak harus UN saja.

BACA JUGA: Cek BIOGRAFI, Persepektif Ceknricek.com, Klik di Sini



Berita Terkait