Presiden Prabowo Subianto dengan dukungan para wakil rakyat (DPR) telah menggunakan prerogatifnya (kalau pakai istilah prerogatif tidak perlu ditambahi kata ‘hak’ karena prerogative dalam bahasa aslinya adalah “hak Istimewa”.)
Oleh: Nuim Khaiyath
Ceknricek.com–Tidak mustahil kasus hukum yang bersumber dari anugerah “abolisi” dari Presiden Prabowo Subianto kepada terpidana kasus “aneh bin ajaib” yang menimpa mantan Menteri Perdagangan dalam pemerintahan Presiden ke-7 Joko Widodo, Thomas Trikasih Lembong, yang juga sempat bergabung dalam tim pemenangan Anies Baswedan untuk pemilihan presiden (Pilpres) 2024, adalah suatu “perlombaan” antara Kepala Negara NKRI dan Majelis Hakim Banding yang sedianya akan memeriksa putusan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang menjatuhkan hukuman 4 tahun 6 bulan penjara serta denda 750-juta rupiah.
Kenapa bisa dianggap “perlombaan”?
Karena dalam kasus yang menarik begitu banyak perhatian di Indonesia itu, banyak kejanggalan yang ditengarai telah terjadi dalam kasus yang sempat menganugerahkan gelar “terpidana” kepada seorang yang pada hakikatnya dianggap sebagai warganegara yang terpuji di Indonesia yang baru saja kehilangan salah seorang tokoh yang “mampu, jujur dan berani” dalam kehidupan politik di Indonesia, yakni Kwik Kian Gie.
Oleh sebab kejanggalan-kejanggalan dalam sidang-sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi itulah, sampai akhirnya turun putusan dalam bentuk hukuman 4 tahun 6 bulan serta denda 750 juta rupiah itu, banyak kalangan yang diakui mumpuni dalam bidang hukum tidak segan-segan untuk membelalakkan mata mereka karena terkejut menyaksikan pelaksanaan keadilan di Negara Pancasila ini.
Begitu rupa hingga rasanya telah sempat timbul dugaan/harapan yang sangat kuat bahwa Majelis Pengadilan Banding niscaya akan membatalkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi itu demi memulihkan marwah pengadilan di Indonesia.
Bukankah di Indonesia dikenal sebutan “jaksa mewakili negara, polisi mewakili Masyarakat, dan HAKIM mewakili Tuhan dan lambang keadilan?” (Efendi Lod Simanjuntak dalam ‘Anomali Hukum’).
Bagaimana kalau “wakil Tuhan” sampai dipandang tidak mampu menjalankan keadilan, dan sebaliknya (seolah?) sekadar melaksanakan pesanan?
Bukankah dalam ideologi negara Republik Indonesia, Pancasila, sila pertama dan utamanya adalah Ketuhanan Yang Masa Esa?
Alhasil dalam kasus ini memang terbuka kemungkinan bahwa Kepala Negara yang dilengkapi dengan wewenang-wewenang tertentu dalam UUD ‘45, ternyata sangat sigap dan cepat membaca keadaan dan mendahului Majelis Hakim Banding yang diperkirakan juga akan melakukan hal yang serupa (meski tidak sama?) seperti yang dijalankan Presiden Prabowo Subianto. (Allahu a’lam).
Presiden Prabowo Subianto dengan dukungan para wakil rakyat (DPR) telah menggunakan prerogatifnya (kalau pakai istilah prerogatif tidak perlu ditambahi kata ‘hak’ karena prerogative dalam bahasa aslinya adalah “hak Istimewa”.)
Sistem yang Berlaku di Amerika Serikat
Di negara yang suka mengaku paling demokratis – dan paling segalanya yang bagus-bagus – perbuatan seorang presiden yang menggunakan “prerogatifnya” berupa “pengampunan” (pardon) terhukum-terhukum tertentu sudah dianggap biasa.
Begitu akan menyelesaikan jabatan 4 tahunnya, Presiden Joe Biden, memberi pengampunan kepada putranya yang dikenal punya banyak masalah, yaitu Hunter Biden.
Menarik adalah pernyataan yang disampaikan Presiden Joe Biden ketika memutuskan untuk “mengampuni” putranya itu, hingga layak kiranya menarik untuk dibaca meski agak panjang.
“Hari ini, saya menandatangi pengampunan untuk putra saya Hunter. Sejak hari pertama saya memangku jabatan (Presiden) saya telah mengatakan sekali-kali tidak akan mencampuri Tindakan Departemen Kehakiman dalam mengambil Keputusan, dan ikrar itu saya patuhi meskipun saya mencermati putra saya itu dituntut secara pilih-kasih, secara tidak adil dan kemudian diadili. Segala itu dijalankan tanpa adanya faktor-faktor yang bersifat pidana yang dilakukan (putranya itu), melainkan hanya kesilapan dalam mengisi formular pembelian senjata.
Pada hal, mereka yang terlambat dalam melunasi pajak karena menderita kecanduan (narkoba berat), namun kemudian melunasinya disertai bunga dan denda, biasanya tidak diperlakukan sebagai seorang terpidana. Jelas bahwa Hunter (putra Presiden Biden) telah diperlakukan dengan berbeda.
Dakwaan dakwaan dalam kasus (putra sang Presiden) dikenakan atas dirinya hanya semata-mata setelah sejumlah lawan politik saya dalam Kongres (Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat) memprakarsainya demi untuk menyerang saya dan menentang agar saya jangan sampai terpilih (lagi).
Kemudian upaya damai (tawar-menawar hukuman) yang sudah disetujui Departemen Kehakiman ternyata kucar kacir di ruang sidang – dalam mana sejumlah lawan politik saya dalam Kongres mengaku telah berjasa dalam memberikan tekanan terhadap proses peradilan itu.
Seandainya tawar menawar itu dipegang teguh, maka itu akan merupakan penyelesaian yang adil dan masuk akal dalam kasus Hunter.
Siapa pun yang berakal yang meneliti fakta-fakta dalam kasus Hunter niscaya hanya akan sampai pada kesimpulan bahwa Hunter diperlakukan seperti itu hanya semata-mata karena dia adalah putra saya – dan ini tidak benar. Sejak sebelumnya sudah ada daya upaya untuk menggasak Hunter – yang sudah lima setengah tahun tidak menggunakan narkoba, meski menghadapi serangan-serangan yang tidak henti-hentinya dan diadili secara pilih kasih.
Upaya untuk merobohkan Hunter, pada hakikatnya hanya karena mereka hendak merobohkan saya – dan tidak ada alasan untuk meyakini bahwa segala ini akan berhenti sampai di sini saja. Yang sudah cukup adalah sudah cukup.
Dalam perjalanan karir saya, saya berpegang pada prinsip yang sederhana: yaitu sampaikanlah kepada rakyat Amerika yang sebenarnya. Mereka akan bersikap adil. Kenyataannya: saya meyakini sistem peradilan yang berlaku, namun saya telah bergelut dengan hal ini, dan saya juga yakin bahwa politik yang kasar telah meracuninya dan terjadilah penyelewengan keadilan – dan begitu saya mengambil keputusan ini akhir pekan lalu, tidak ada faedahnya untuk menunda-nundanya lagi.
Saya harap rakyat Amerika akan memahami kenapa seorang ayah yang juga seorang Presiden mengambil keputusan ini.
Tertanda tangan Pengampunan Kepresidenan Joseph Biden, Jr.
Executive Grant of Clemency
Dalam sejarah “Keputusan Presiden AS Mengampuni Para Terpidana”, ada juga gembong-gembong sindikat kejahatan yang pernah menikmati pengampunan seperti yang “dinikmati” oleh Hunter Biden. Sungguh tidak ada yang baru atau aneh di dunia sekarang ini.