Hadits Nabi tentang menyerahkan urusan kepada ahlinya bukan sekadar pesan moral, melainkan panduan praktis untuk membangun peradaban yang maju
Oleh : Rahmat Mulyana
Ketika Jabatan Tidak lagi Diserahkan Kepada yang Berhak
Ceknricek.com–Indonesia tengah menghadapi krisis yang mengancam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Krisis ini bukan hanya soal ekonomi atau politik semata, melainkan krisis fundamental yang menyerang fondasi tata kelola pemerintahan: hancurnya sistem meritokrasi.
Rasulullah SAW telah memperingatkan dalam haditsnya: “Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.” Peringatan ini terasa sangat relevan ketika menyaksikan realitas pemerintahan Indonesia hari ini, di mana jabatan-jabatan strategis kerap kali tidak diisi berdasarkan kompetensi, melainkan kedekatan politik, hubungan keluarga, atau pertimbangan lainnya yang jauh dari prinsip keahlian.
Parade Ketidakompetenan di Panggung Politik
Bukti nyata dari hancurnya meritokrasi dapat kita saksikan dari berbagai pernyataan dan tindakan pejabat yang mencengangkan publik. Mulai dari anggota DPR yang gagal dalam perhitungan sederhana hingga menteri urusan luar negeri yang kesulitan berkomunikasi dalam bahasa Inggris di forum internasional.
Contoh lainnya terlihat dari pernyataan kontroversial seperti yang dilontarkan seorang Anggota DPR tentang sulitnya bermobil sejuk dari Bintaro ke DPR sementara rakyat setiap hari bergumul menyabung nyawa di Stasiun Manggarai, atau bahkan Menteri Pertanian yang membandingkan harga beras di Indonesia dengan di Jepang, sama sekali jauh dari sentuhan Nurani yang riil yang dihadapi rakyat.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah fenomena anggota legislatif yang lebih fokus pada peningkatan kesejahteraan dirinya padahal jam tangannya pun nilainya milyaran, sementara sulit sekali menelurkan Solusi bagi kesejahteraan kehidupan 280 juta rakyat Indonesia.
Tiga Bencana Akibat Hancurnya Meritokrasi
1.The Mediocrity of Leadership (Mediokrasi Kepemimpinan)
Ketika masyarakat terbiasa menyaksikan pemimpin berkualitas rendah, standar kepemimpinan nasional perlahan-lahan mengalami degradasi. Yang dulunya kita harapkan pemimpin berkaliber Bung Hatta atau Soedjatmoko, kini kita “bersyukur” mendapat pemimpin yang sekadar bisa berbicara di depan publik tanpa membuat kesalahan fatal.
Fenomena ini menciptakan spiral menurun yang berbahaya. Generasi muda melihat bahwa untuk menjadi pemimpin, tidak perlu memiliki visi yang jernih, kemampuan analitis yang tajam, atau dedikasi yang tinggi terhadap kepentingan publik. Cukup dengan koneksi politik dan sedikit kemampuan retorika alias menjilat.
12.Dunning-Kruger Collective (Kebodohan Massal)
Efek Dunning-Kruger yang terjadi secara kolektif ini sangat berbahaya bagi demokrasi. Ketika pejabat yang tidak kompeten tampil percaya diri di media massa, hal ini menormalisasi ketidaktahuan dan ketidakmampuan sebagai sesuatu yang wajar, bahkan menghibur.
Masyarakat yang tengah menghadapi tekanan ekonomi kemudian mencari pelarian dalam tontonan politik yang menghibur, bukan yang mendidik atau menyelesaikan masalah.
Akibatnya, terjadi pembiasaan terhadap standar rendah dalam kehidupan publik. Logika dan data dalam pengambilan keputusan tergantikan oleh sensasi dan popularitas sesaat.
3.Democratic Apathy (Apatisme Demokrasi)
Dampak paling destruktif adalah munculnya apatisme massal terhadap sistem demokrasi. Ketika rakyat menyaksikan pajak yang mereka bayar digunakan untuk menggaji pejabat yang tidak berkontribusi, bahkan cenderung merugikan, muncul perasaan putus asa dan ketidakberdayaan.
Generasi terbaik bangsa mulai kehilangan minat untuk terlibat dalam kehidupan politik atau bahkan memilih untuk meninggalkan Indonesia. Brain drain menjadi ancaman nyata ketika sistem tidak lagi menghargai merit dan prestasi.
Urgensi Mengembalikan Meritokrasi
Indonesia membutuhkan reformasi fundamental dalam sistem rekrutmen pejabat publik. Prinsip meritokrasi harus ditegakkan secara konsisten, mulai dari level RT/RW hingga presiden.
Beberapa langkah konkret yang perlu dilakukan:
Pertama, penerapan tes kompetensi yang ketat dan transparan untuk semua posisi publik, termasuk anggota legislatif. Tidak cukup hanya bermodalkan popularitas atau dukungan partai politik.
Kedua, peningkatan kualitas pendidikan politik bagi masyarakat agar dapat membedakan antara pemimpin yang kompeten dengan yang sekadar pandai berkampanye.
Ketiga, penguatan sistem kontrol dan evaluasi kinerja pejabat publik dengan indikator yang jelas dan terukur.
Keempat, penegakan sanksi yang tegas bagi pejabat yang terbukti tidak kompeten atau merugikan kepentingan publik.
Harapan bagi Masa Depan
Hadits Nabi tentang menyerahkan urusan kepada ahlinya bukan sekadar pesan moral, melainkan panduan praktis untuk membangun peradaban yang maju. Indonesia memiliki sumber daya manusia yang berkualitas, namun sistem yang ada saat ini tidak mampu mengoptimalkan potensi tersebut.
Saatnya kita bersatu menolak normalisasi ketidakompetenan dalam kehidupan publik. Masa depan Indonesia bergantung pada kemampuan kita mengembalikan prinsip meritokrasi dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Jika kita membiarkan tren ini berlanjut, maka peringatan Rasulullah akan menjadi kenyataan. Namun jika kita berani mengambil langkah tegas untuk mereformasi sistem, Indonesia masih memiliki peluang untuk bangkit menjadi negara yang dipimpin oleh orang-orang terbaik dan terkompetennya.
Pilihan ada di tangan kita: melanjutkan kemunduran atau memulai kebangkitan. Waktu untuk memutuskan semakin menipis.