Pagi di Jeju membuatku belajar tentang bagaimana kepemimpinan dan pendekatan kepemimpinan merupakan kunci kemajuan bersama suatu bangsa.
Oleh: Swary Utami Dewi
Ceknricek.com–Nama lengkap anak dari Cina ini susah diingat. Tapi dia memintaku untuk memanggilnya Chong. Dia terlihat masih sangat muda. Dia mengaku berasal dari Kwantung atau Guangdong, Republik Rakyat Cina. Aku bertemu Chong pagi hari, 1 Agustus 2025, ketika sedang duduk di lobi penginapan di Jeju, Korea Selatan.
Walau bahasa Inggrisnya agak terbata-bata, tapi dengan percaya diri dia mengobrol berbagai hal sembari menunggu resepsionis hotel datang di pagi itu. Google membantunya berkomunikasi saat dirinya sulit mengungkapkan sesuatu dalam bahasa Inggris.
Percakapan ini dimulai saat Chong menanyakan siapa orang Cina yang aku tahu. Aku menyebut dua: Mao Tse Tung dan Xi Jinping.
“Oh, itu. Mereka semua orang sangat besar di negara kami. Mao mejadikan Cina sebagai Republik. Dia waktu muda belajar Marxisme, lalu mendirikan Partai Komunis di Cina. Ajaran komunisme di Cina oleh Mao dikembangkan sesuai dengan kondisi Cina saat itu. Mao menyebarkan tiga prinsip yang harus saling mendukung, yakni nasionalisme, demokrasi, dan kesejahteraan rakyat. Tanpa Mao tak akan ada Cina yang sekarang.”
“Kamu sudah kuliah? Usiamu berapa?” tanyaku penasaran mendengar penjelasannya tentang Mao.
Bocah laki-laki ini ternyata baru berusia 16 tahun dan duduk di kelas 1 sekolah menengah atas (SMA). Tubuhnya yang cukup jangkung, 175 cm, membuatku semula mengira dia sudah berkuliah. Apalagi dia mampu menjelaskan tentang Mao dengan baik. Dia menjelaskan di Cina anak-anak sekolah membaca dan mempelajari tentang Mao Tse Tung.
“Kalau Xi Jinping bagaimana?” tanyaku lagi.
“Dia Presiden yang baik. Dia pemimpin yang membuat Cina besar seperti sekarang.”
Anak usia 16 tahun ini menceritakan bagaimana dirinya merasakan pembangunan di Cina di masa kepemimpinan Xi Jinping. “Xi Jinping menggabungkan antara komunisme dengan kapitalisme,” ujarnya lagi.
Aku minta dia menjelaskan lebih lanjut. Dia berkata Xi Jinping tidak memilih salah satu saja. Jika komunisme saja maka rakyat Cina akan tetap punya nasib merata. Mayoritas miskin. Tapi karena Xi memilih menggabungkan komunisme dengan kapitalisme, maka secara bersama kesejahteraan rakyat meningkat.
“Lihat Korea Utara, yang hanya komunisme saja. Mereka tetap miskin dan negaranya tertutup.”
Aku mengintip beberapa pemberitaan terbaru tentang Korea Utara. CNBC Indonesia (18 April 2025) menuliskan bahwa sejak merdeka, mayoritas warga Korea Utara masih terjerat kemiskinan. Mereka sulit memenuhi kebutuhan hidup dasar, seperti makanan dan air bersih.
“Kalau hanya kapitalisme bagaimana?” Aku bertanya kembali.
Chon menjawab bahwa pasti yang selalu kaya kelompok yang berkuasa atau yang dekat dengan yang berkuasa. Meski dia tidak menyebut satu negara sebagai contoh, dia mengatakan kapitalisme saja pasti tak pas.dengan kondisi Cina.
“China now is strong, big, and great,” tegasnya.
Aku menanyakan latar belakang keluarganya. Chong mengatakan orang tuanya dari keluarga biasa. Istilahnya “ordinary people.” Keduanya bekerja sebagai karyawan biasa di perusahaan. Bukan dari level atas.
“Tapi kamu yang masih SMA bisa liburan sekolah ke Jeju?” Aku masih sedikit penasaran dengan penjelasannya.
“Ya, karena kepemimpinan Presiden kami, saya bisa begini. Orang tua saya dulu bercerita mereka miskin. Xi membuat banyak orang di Cina, karena penggabungan komunisme dan kapitalisme, menjadi kaya bersama. Jadi di masa saya, banyak orang Cina menjadi kaya serta menjadi lebih sejahtera dan bisa liburan seperti saya dan kawan-kawan SMA saya.”
Saat saya menanyakan apa cita-citanya, Chong menjelaskan dalam sepuluh tahun dia mau menjadi kaya dan mengajak orang lain juga kaya bersama. “Saya mau menerapkan ajaran dan contoh yang diberikan Presiden Xi,” jawabnya.
Sekitar satu jam kami berbincang, lalu kembali datang dua tamu perempuan, yang saya perkirakan berusia 20 tahunan. Mereka tak bisa berbahasa Inggris sama sekali. Ternyata mereka juga dari Cina. Chong, yang menjadi penerjemah dadakan, mengatakan bahwa keduanya berasal dari Cina Utara, dekat perbatasan Mongolia. Mereka juga “ordinary people”, yang sedang berlibur.
Pembicaraan pagiku tentang Cina bersama Chong membuatku mencermati perkembangan Cina lewat beberapa berita online. Menyaksikan “ordinary people” Cina bisa berlibur ke luar negeri tentu membuktikan bahwa rakyat di sana telah menikmati hasil pembangunan di Cina.
Di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G-20, Xi Jinping mengklaim bahwa negaranya telah berhasil mengentaskan kemiskinan untuk 800 juta orang. “Kami telah memenuhi target Pembangunan Berkelanjutan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) soal pengurangan kemiskinan pada tahun 2030. Ini lebih cepat dari target PBB,” ujar Presiden Xi seperti yang dituliskan Antara (19 November 2024).
Bisa jadi masih banyak yang harus dibenahi di Cina. Tapi pagi di Jeju itu membuatku belajar tentang bagaimana kepemimpinan dan pendekatan kepemimpinan merupakan kunci kemajuan bersama suatu bangsa.
Indonesia punya Pancasila dan Konstitusi, yang jelas menyebutkan tentang keadilan, kerakyatan, dan kesejahteraan sosial. Juga ada tujuan bernegara untuk menyejahterakan rakyat dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini seharusnya terus menjadi spirit para pemimpin dan seluruh rakyat untuk maju, sejahtera, dan bahagia bersama. Semoga ini bisa segera dilakukan dengan sungguh-sungguh, sehingga paling tidak generasi mendatang bisa punya cerita bangga dan bahagia seperti Chong tadi.
Jeju, 2 Agustus 2025