Gugatan ke MK seharusnya tidak dilihat sebagai ancaman, melainkan wake-up call: alarm keras bahwa sistem pendidikan dokter spesialis harus dibenahi segera.
Oleh : Krismono Irwanto
Ceknricek.com–Apakah dokter spesialis di Indonesia harus ditempa oleh kampus, atau cukup di rumah sakit? Pertanyaan inilah yang kini mengguncang dunia pendidikan kedokteran nasional.
Gugatan uji materi yang diajukan Dekan Fakultas Kedokteran Unsoed, seorang dokter spesialis, dan mahasiswa ke Mahkamah Konstitusi (MK) membuka kembali perdebatan sengit tentang dualismenya pendidikan dokter spesialis dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
Di satu sisi, ada sistem university-based: dokter spesialis dididik oleh perguruan tinggi, dengan jaminan tridharma; pendidikan, penelitian, pengabdian. Di sisi lain, lahir sistem hospital-based: rumah sakit langsung mendidik spesialis dengan pola lebih praktis dan biaya sering kali lebih murah.
Masalahnya? Dua sistem berjalan paralel tanpa sinkronisasi, menciptakan ketidakpastian hukum, ketidakadilan biaya, dan potensi disparitas kualitas lulusan. Bagi calon dokter, ini membingungkan. Bagi masyarakat, ini bisa berbahaya.
Kebutuhan Mendesak: Dokter Spesialis Berkualitas dan Merata
Indonesia kekurangan dokter spesialis. Menurut data Kemenkes, rasio dokter spesialis terhadap jumlah penduduk masih jauh di bawah standar WHO. Sementara masyarakat, apalagi di daerah, menuntut akses layanan kesehatan spesialistik yang cepat, terjangkau, dan berkualitas.
Di sinilah paradoksnya:
University-based menjanjikan kualitas, tetapi biaya tinggi dan kuota terbatas.
Hospital-based lebih cepat menambah jumlah, tetapi dikhawatirkan mengorbankan standar akademik.
Seperti pepatah lama: “Kalau memilih salah satu, kita bisa kehilangan yang lain. Tapi kalau mampu menyatukan, kita dapatkan semuanya.”
Win-Win Solution: Jalan Tengah yang Bisa Ditempuh
Alih-alih memperpanjang tarik ulur, Indonesia perlu merumuskan solusi elegan. Berikut formula yang bisa menjembatani kepentingan semua pihak:
1.Model Hybrid RS–PT
Rumah sakit pendidikan boleh menyelenggarakan pendidikan spesialis, tetapi tetap di bawah kurikulum dan pengawasan universitas. Dengan begitu, tridharma akademik tetap terjamin, sementara praktek klinis intensif tetap berjalan.
2.Standarisasi Kompetensi Nasional
Lulusan, dari jalur manapun, wajib melalui sertifikasi kompetensi independen. Satu pintu, satu standar. Sehingga tidak ada spesialis “kelas A” dan “kelas B”.
3.Skema Pembiayaan Adil
Dibentuk Dana Khusus Pendidikan Spesialis: kolaborasi pemerintah, perguruan tinggi, rumah sakit. Ini memastikan akses yang lebih luas tanpa diskriminasi biaya.
4.Dewan Nasional Pendidikan Spesialis
Forum lintas sektor yang melibatkan Kemenkes, Kemendikbudristek, perguruan tinggi, rumah sakit, dan mahasiswa. Fungsinya: merumuskan, mengawasi, dan mengevaluasi implementasi. Transparan, inklusif, dan solutif.
5.Pilot Project & Evaluasi
Terapkan sistem hybrid di beberapa RS pendidikan unggulan, evaluasi hasilnya, lalu perbesar skala. Dengan begini, perubahan dilakukan bertahap, terukur, dan berbasis bukti.
Mengapa Ini Bisa Menjadi Momentum Nasional
Bayangkan jika Indonesia berhasil mengharmonikan sistem ini:
Mahasiswa tidak lagi pusing memilih jalur.
Rumah sakit tidak kehilangan peran.
Universitas tetap menjaga kualitas.
Masyarakat mendapatkan dokter spesialis yang cukup jumlahnya, tersebar merata, dan kompeten. Bahkan, model ini bisa menjadi benchmark global: sistem pendidikan dokter spesialis khas Indonesia yang efisien namun tetap akademik.
Penutup: Dari Polemik ke Kolaborasi
Gugatan ke MK seharusnya tidak dilihat sebagai ancaman, melainkan wake-up call: alarm keras bahwa sistem pendidikan dokter spesialis harus dibenahi segera.
Daripada memilih siapa yang salah atau benar, mari ambil sikap lebih dewasa: fokus pada kebutuhan bangsa; dokter spesialis yang banyak, terjangkau, dan bermutu.
Indonesia tidak butuh perdebatan tanpa ujung. Indonesia butuh solusi. Dan solusi itu ada di jalan tengah: hybrid, inklusif, adil, dan berstandar tinggi.