Di tengah kelaparan dan kekacauan, Israel justru mempersenjatai geng penjarah. Abu Shabab
Ceknricek.com–Di tengah kelaparan dan kekacauan, Israel justru mempersenjatai geng penjarah. Abu Shabab jadi dalih baru: menjarah bantuan, membantai sesama, dan memperkuat alasan genosida. Ini bukan kekacauan, ini rancangan.
Ketika sebuah negara, demi mencapai tujuan militernya, justru mempersenjatai kelompok kriminal brutal untuk melawan musuhnya sendiri, lalu berharap hasilnya akan mendekatkan pada “kemenangan”, maka yang sebenarnya sedang dibangun bukanlah stabilitas, melainkan neraka berlapis.
Inilah yang disaksikan Prof. Jean-Pierre Filiu di Gaza: munculnya geng Abu Shabab—organisasi paramiliter bercorak mafia, brutal, oportunis, dan… disokong Israel.
Abu Shabab bukan sekadar geng jalanan. Mereka adalah hasil mutasi dari penderitaan yang terus-menerus: kelaparan, kehancuran, dan kekacauan yang disengaja.
Dalam laporan Filiu, geng ini memonopoli bantuan yang masuk ke Gaza. Mereka menjarah truk-truk bantuan, menjual barang-barangnya di pasar gelap, dan menciptakan situasi “hukum rimba” yang makin menghancurkan warga sipil Gaza.
Tapi yang membuat kisah ini benar-benar gelap adalah kenyataan bahwa Israel menyuplai senjata kepada mereka —sebuah kebijakan yang menurut Filiu adalah “paradoks tragis.”
“Satu dari contoh paling tajam dari kebutaan yang berbahaya adalah dukungan Israel terhadap geng Abu Shabab.”
Geng ini tidak hanya melemahkan Hamas —yang memang menjadi musuh utama Israel— tapi juga menghancurkan tatanan sipil dan kepercayaan sosial warga Gaza.
Bukannya memperlemah perlawanan, Abu Shabab justru memperkuat narasi Hamas sebagai satu-satunya pihak yang ‘masih berani menjaga ketertiban’.
Filiu mencatat secara detail malam penuh horor pada 4 Desember. Ia terbangun pukul 02:30 dini hari oleh tembakan hebat. Di luar tenda daruratnya, terjadi baku tembak antara penjaga konvoi bantuan (yang identitasnya tak jelas) dengan geng penjarah Abu Shabab, disokong oleh drone IDF (Israel Defense Forces).
Hasilnya tragis:
* 11 orang tewas: lima dibunuh oleh tentara, enam lainnya dalam baku tembak antara Abu Shabab dan Hamas
* 50 dari 70 truk bantuan dijarah.
* Barang-barang jarahan itu keesokan harinya dijual dengan harga selangit di pasar Muwasi.
Filiu menyaksikan sendiri bagaimana lingkaran kejahatan ini menciptakan inflasi buatan, membuat makanan makin langka dan mempercepat kelaparan.
Lingkaran setan kejahatan terorganisir ini menyebabkan lonjakan harga barang-barang pokok di pasar Gaza, dan mendorong warga biasa untuk ikut dalam penjarahan terorganisir.
Ironisnya, kehadiran Abu Shabab justru memberi pembenaran bagi Hamas untuk bertindak represif. Hukuman keras dari Hamas terhadap para penjarah—biasanya publik, kejam, dan tanpa proses —diterima masyarakat sebagai “kebutuhan darurat.”
Dalam kondisi keputusasaan, rakyat lebih membenci para penjarah daripada penguasa bersenjata. Di tengah kelaparan, tindakan keras Hamas justru dianggap sebagai bentuk perlindungan.
Filiu mencatat bahwa mayoritas warga Gaza membenci Abu Shabab. Banyak dari mereka dikucilkan oleh keluarganya sendiri. Tapi lebih mengerikan lagi adalah bahwa Israel menggantungkan kontrol wilayah pada orang-orang buangan ini.
“Saya bahkan tidak bicara dari sisi etika. Tapi dari sisi operasional, ini adalah kebijakan yang gila,” tulis Filiu.
Satu pengakuan mengejutkan dari Filiu adalah bahwa untuk pertama kalinya ia merasa benar-benar terancam di Gaza, bukan oleh bom atau tentara, tetapi oleh para anggota Abu Shabab.
Mereka digambarkannya sebagai “gangster sejati” —penuh ancaman, tak bisa diprediksi, dan beroperasi dengan kekejaman lepas kendali.
Dalam satu kejadian, ia tak sengaja berdiri terlalu dekat dengan para anggota geng ini. Dan saat itulah, untuk pertama kalinya, ia sadar: di antara reruntuhan Gaza, tidak semua kekerasan datang dari langit.
Apa yang ingin dicapai Israel melalui Abu Shabab? Pelemahan Hamas? Penaklukan sosial? Atau sekadar menciptakan kekacauan agar bisa tetap menyalahkan korban?
Yang terjadi justru sebaliknya
1.Abu Shabab menghancurkan sisa-sisa solidaritas warga Gaza.
2.Membuat warga sipil makin tergantung pada Hamas.
3.Dan memperlihatkan pada dunia bagaimana Israel bersedia bekerja sama dengan kekuatan kriminal brutal, selama bisa mendistorsi struktur sosial Gaza dari dalam.
Dalam sejarah konflik, ini bukan pertama kalinya kekuatan penjajah mempersenjatai pihak ketiga untuk menabur kekacauan. Tapi dalam konteks Gaza, akibatnya jauh lebih merusak: kepercayaan runtuh, logika moral ambruk, dan semua itu terjadi di hadapan dua juta manusia yang tinggal di antara tenda, puing, dan mayat.
Walhasil, Filiu tak menyamakan Israel dengan geng Abu Shabab. Tapi ia memperlihatkan bagaimana strategi negara yang membiarkan geng tumbuh, mempersenjatainya, dan memanfaatkannya sebagai alat, justru memantulkan wajah baru dari kekuasaan: kekuasaan yang tak hanya brutal, tapi juga tidak tahu malu.
Apa yang terjadi di Gaza bukan hanya soal perang. Ini soal penghancuran tatanan sipil lewat metode yang tak bisa lagi dibedakan dari kejahatan terorganisir.
Dan yang menyedihkan: dunia melihat, tapi tak bereaksi.
(Bersambung ke Bagian Keempat: Ikatan Sosial Runtuh)
Cak AT – Ahmadie Thaha
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 18/7/2025