Dalam sejarah ada beberapa kejadian yang menyangkut dan melibatkan gajah sebagai “bala tentara”.
Oleh: Nuim Khaiyath
Ceknricek.com–Masih mendingan kalau Gajah lawan Banteng dalam pertarungan partai-partai politik (di Indonesia, tentunya). Bagaimana kalau “banteng hitam dengan moncong putih” perang tanding dengan “gajah hitam berkepala merah”? Tunggu tanggal mainnya!
Di Amerika Serikat sejak abad ke-19, gegara seorang kartunis politik bernama Thomas Nast, Partai Republik yang sekarang berkuasa dilambangkan sebagai gajah, sementara Partai Demokrat dicitrakan sebagai keledai.
Bagi Presiden Republik Indonesia Jenderal (P) Prabowo Subianto, gajah, katanya dalam sambutan di depan Kongres Partai Solidaritas Indonesia (PSI – singkatan dari partai yang pernah terkenal karena intelektualitas para pengurus dan anggotanya ketika masih bernama Partai Sosialis Indonesia, yang kemudian “diharamkan oleh Bung Karno), adalah lambang “gagah perkasa”.
Sementara Ketua Umum PSI (era sekarang ini) Kaesang Pangerap menyebut gajah sebagai “simbol (lambang) kekuatan, kecerdasan, keteguhan dan solidaritas.”
Dalam sejarah ada beberapa kejadian yang menyangkut dan melibatkan gajah sebagai “bala tentara”.
Sayangnya, dalam dua ekspedisi penaklukan yang cukup penting, ternyata bala tentara gajah tidak berhasil memenangkan peperangan untuk pihak yang mengerahkannya.
Pemimpin Qartaj (kini bagian dari Tunisia di Afrika Utara) Hannibal pernah memanfaatkan sejumlah gajah ketika berusaha untuk menyerbu Italia dalam Perang Punic Kedua tahun 218 (BC alias Sebelum Era Bersama).
Ada catatan sejarah yang menyebutkan bahwa Hannibal membawa 37 ekor gajah melalui pegunungan Alpen di Eropa untuk menyerbu kekuatan Romawi di Italia.
Namun, begitu catatan sejarah, banyak di antara gajah-gajah tersebut yang mati karena suhu udara yang sangat dingin di Pegunungan Alpen. Siasat penyerbuan yang dilakukan oleh Hannibal juga cukup mengherankan. Kenapa dia harus bertolak dahulu ke arah utara dari Qartaj sebelum turun ke selatan menuju sasarannya, Italia, waktu itu.
Begitulah agaknya manusia, ibarat “sepandai-pandai tupai melompat akhirnya (gawal) jatuh juga”. Maksudnya sehebat apapun seseorang melakukan sesuatu, pada akhirnya dia akan membuat kesalahan atau mengalami kegagalan juga.
Dalam Islam, perihal gajah ini juga ada disebut dalam Al Qur’an, yakni Surah Al-Fiil (Gajah – Surah ke-105).
Dalam suatu penjelasan, diriwayatkan bahwa dalam tahun 570 Era Bersama, (bertepatan dengan tahun kelahiran Nabi Muhammad -saw -) penguasa Kristiani dari Yaman (Kerajaan Aksum) yang telah membangun sebuah katedral yang sangat megah di Sana’a, berhasrat sekali agar orang-orang yang waktu itu suka ziarah ke Kaabah di Mekkah, berpaling dari kebiasaan itu, dan sebaliknya menziarahi katedral megahnya di Sana’a (kini ibukota Yaman). Namun ketika upaya dan hasratnya itu gagal, maka Raja Abraha memutuskan untuk meluluhlantakkan Kaabah.
Diriwayatkan pula bahwa bala tentara Raja Abraha itu diperkuat oleh sejumlah gajah petarung yang di zaman itu dianggap sebagai “senjata pamungkas”.
Namun, begitu diriwayatkan, gajah bernama Mahmud yang menjadi ujung tombak serangan itu, ketika tiba di perbatasan kota Mekkah, tidak bersedia terus melangkah. Dan Allah (swt) mengutus sejumlah burung yang membawa batu-batu untuk menyerang bala tentara Abraha, hingga mereka puntang panting dan menderita kekalahan.
Dalam Surah Al-Fiil, diriwayatkan sebagai berikut:
- Apakah tidak engkau perhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap pasukan bergajah?
- Apakah Dia tidak menjadikan tipu daya mereka itu sia-sia.
- Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong;
- Yang melempari mereka dengan batu dari tanah yang dibakar;
- Maka Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat). (Al Qur’an Terjemah Indonesia Karya TNI Angkatan Darat cetakan ke xx).
Meski gajah bukanlah binatang peliharaan yang lazim, seperti anjing dan kucing, misalnya, namun dalam sejarah kita temukan riwayat-riwayat yang menyebutkan bahwa pernah para pemimpin dunia menerima hadiah dalam bentuk gajah, sebagai ujud dari lambang hubungan diplomatik.
Salah satu contoh adalah hadiah berupa seekor gajah dari Khalifah Abbasiyah Harun al-Rashid di abad ke-9 Era Bersama kepada Charlemagne (lahir April 2, 747—mangkat January 28, 814) di Aachen, Austrasia [kini Jerman). Dia adalah Raja kaum Frankish (Kristiani) yang karena daya upayanya kemudian dikenal sebagai pimpinan Emporium Suci Romawi.
Presiden Amerika pun pernah menerima serombongan gajah dari Raja Thailand; begitu juga Paus di Vatikan.
Hati-hati Kalau Dihadiahi Gajah Putih
Dalam bahasa Inggris ada peringatan “hati-hati kalau dihadiahi gajah putih”.
Kenapa?
Seseorang pemilik gajah putih harus mengeluarkan biaya yang besar untuk mengurus peliharaannya itu, dan biaya untuk mengurusnya jauh lebih besar dari manfaat yang dapat diperoleh darinya. Soalnya, sangat dipantangkan untuk menyia-nyiakan gajah putih yang dimiliki. Biasanya dipantangkan untuk mengerahkan gajah putih melakukan pekerjaan berat/kasar seperti menarik gelondong kayu hutan.
Memang di zaman lalu, kepemilikan gajah putih merupakan lambang kekayaan. Begitu.