Besar sekali hutang Umat Manusia kepada sistem yang pernah diterapkan dalam zaman khilafah dan ajaran Islam secara keseluruhan
Ceknricek.com–Merujuk Kasus Thomas Trikasih Lembong, Pujangga Inggris William Congreve pernah mencerminkan angkara murka seorang perempuan yang dikecewakan/disakiti hatinya, dalam salah satu sajaknya dengan ungkapan berikut ini:
“Heaven has no rage like love to hatred turned, / Nor hell a fury like a woman scorned.”
Yang artinya, kira-kira:
“Akhiratpun tidak memiliki kemarahan seperti cinta yang berubah menjadi kebencian,. Dan nerakapun tidak memiliki angkara murka seperti seorang perempuan yang dikecewakan.”
Mungkinkah ini yang menyebabkan seorang janda bernama Erin Patterson, 50 tahun, akhirnya diputus bersalah melakukan pembunuhan?
Erin Patterson adalah seorang perempuan yang bertempat tinggal di sebuah kota kecil bernama Morwell, sekitar 150 kilometer dari ibukota negara bagian Victoria, Melbourne, dengan penduduk sekitar 15-ribu jiwa.
Erin adalah seorang yang bukan saja cukup terpelajar melainkan juga putri dari ibu-bapa yang dua-duanya berkedudukan – ibunya adalah seorang dosen.
Dalam tahun 2007 Erin menikah dengan Simon Patterson, dan dikurniai 2 orang anak. Namun apa hendak dikata, dalam tahun 2015 rumah tangga mereka akhirnya bobrok.
Meski berpisah ranjang dan bahkan rumah, namun hubungan Erin dengan mantan suaminya masih dapat dikatakan cukup lumayan, mungkin berkat dua orang anak dari hasil pernikahan mereka.
Namun lambat laun, hubungan pasca pernikahan itu mulai mengalami keretakan. Ternyata Erin memendam rasa dendam kesumat yang akhirnya dilampiaskannya terhadap sejumlah saudara mantan suaminya.
Hidangan Daging Sapi Maut
Suatu hari, tepatnya pada tanggal 29 Juli tahun 2023, Erin mengundang makan siang mantan mertua perempuan dan mertua lelakinya serta mantan ipar perempuannya yang juga adalah isteri seorang pendeta gereja setempat.
Untuk menjamu para tamunya Erin, begitu pengakuannya di depan pengadilan, membeli daging sapi termahal dan menyiapkan masakan yang di Australia dikenal dengan nama Beef Wellington.
Hidangan ini meminjam nama salah seorang pahlawan Inggris, The Duke of Wellington, yang mengalahkan pemimpin Prancis Napoleon Bonaparte dalam pertarungan di Waterloo dalam bulan Juni 1815. (Konon pada hari yang nahas itu Napoleon tidak dapat menunggang kudanya untuk memimpin bala tantara Prancis karena ambiennya kambuh).
Akibat memakan hidangan yang disiapkan Erin Patterson itu, kedua mantan mertuanya serta mantan iparnya, meninggal dunia, sedangkan suami iparnya itu, sang pendeta, akhirnya sembuh.
Dalam sidang pengadilan di Morwell itu, Erin didakwa membubuhi serbuk jamur liar yang dikenal punya racun yang dapat mematikan, dalam ramuan hidangannya itu. Jamur yang nama ilmiahnya adalah Amanita phalloides itu mudah dijumpai di berbagai tempat di Australia, termasuk di samping rumah saya sekarang ini.
Hampir 10 minggu sidang berjalan, dan hampir seminggu sesudahnya Erin diputus bersalah. Dalam sidang pengadilan yang berlangsung selama hampir 10 minggu, Dewan Juri yang terdiri dari 12 warga biasa penduduk kota Morwell, setelah berembuk (dan berdebat?) selama hampir seminggu, akhirnya memutuskan bahwa Erin Patterson dengan sengaja melakukan pengracunan lewat hidangan makan siang Beef Wellington, yang mengakibatkan kematian 3 orang tamunya, dan (percobaan pembunuhan) terhadap seorang lainnya, yakni Pastor Ian Wilkinson.
Hakim Tunggal, Christopher Beale, yang memimpin persidangan itu sama sekali tidak punya peran dalam menentukan bersalah-tidaknya terdakwa Erin Patterson.
Bersalah-tidaknya seseorang terdakwa dalam sistem Dewan Juri di Australia sepenuhnya merupakan wewenang Dewan Juri yang dianggap mewakili rasa keadilan Masyarakat.
Sang hakim laksana wasit dalam pertandingan sepakbola (antara jaksa dan pembela) – hanya memastikan segalanya berjalan sesuai hukum. Putusannya ditentukan rakyat biasa!
Seandainya Thomas Trikasih Lembong ditentukan bersalah atau tidak oleh Dewan Juri, bukan oleh Majelis Hakim, apakah mungkin muncul putusan yang sama seperti yang dijatuhkan Hakim di Jakarta, ataukah “rasa keadilan Masyarakat biasa” memutus berbeda? Entahlah.
Hakim akan menentukan hukuman dalam sidang pengadilan bulan September mendatang. Sementara pengamat peradilan mengatakan kemungkinan Erin Patterson akan dijatuhi hukuman seumur hidup – mendekam dalam penjara paling tidak 20 tahun maksimum.
Sistem Dewan Juri
Di Australia, sebagaimana halnya dengan sejumlah negara lain seperti Inggris, Kanada, Amerika, Selandia Baru (dan dahulu juga Singapura), memang penentu bersalah-tidaknya seseorang terdakwa atau pihak dalam kasus pidana dan juga kasus-kasus perdata tertentu, bukanlah hakim atau Majelis Hakim, melainkan Dewan Juri.
Dewan Juri beranggotakan unsur masyarakat biasa yang sama sekali “buta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Perdata – alias buta hukum”.
Di Australia seseorang warganegara yang sudah berusia 18 tahun dan terdaftar sebagai pemilih dalam pemilu berkewajiban menjadi anggota dewan juri apabila diminta oleh pengadilan.
Calon anggota Dewan Juri harus menjadi penduduk di wilayah peradilan yang terkait. Tidak semua warga dianggap memenuhi syarat untuk menjadi anggota Dewan Juri.
Advokat/pengacara, pegawai peradilan, anggota kepolisian, orang yang pernah dinyatakan bangkrut; orang yang punya catatan pernah melakukan perbuatan pidana, serta orang-orang yang memegang jabatan tertentu, seperti Gubernur, dianggap tidak memenuhi syarat untuk menjadi anggota Dewan Juri.
Seseorang yang karena alasan kesehatan dapat menolak menjadi anggota Dewan Juri; mereka yang berdomisili cukup jauh dari pengadilan yang bersangkutan juga dapat menghindar dari keharusan menjadi anggota Dewan Juri. Mereka yang punya usaha sendiri (tidak bekerja pada orang lain) juga dapat menghindari untuk menjadi anggota Dewan Juri.
Para anggota Dewan Juri mendapat tunjangan dari negara dan terkadang juga dari majikan, selama bertugas menjadi anggota Dewan Juri. Jumlah bayaran yang diperoleh berkisar dari (sebanding) satu juta rupiah sehari s/d dua setengah juta rupiah sehari.
Di Indonesia kita mengenai ungkapan bahwa “Hakim adalah wakil Tuhan”. Ini disebabkan begitu tinggi dan bermartabatnya kedudukan seorang hakim yang harus menjunjung “sepuluh prinsip yang harus dipegang oleh hakim, yaitu berperilaku adil, berperilaku jujur, berperilaku arif dan bijaksana, bersikap mandiri, berintegritas tinggi, bertanggungjawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, berperilaku rendah hati, dan bersikap professional.” (Tempo).
Lalu apa sebenarnya tugas Dewan Juri yang biasanya terdiri dari orang-orang yang buta ilmu hukum? Kalau Hakim kita sudah tahu apa tugasnya; Jaksa menjadi wakil negara, maka Dewan Juri adalah orang-orang yang mencerminkan “rasa keadilan Masyarakat (awam)”.
Ketika seseorang menjadi anggota Dewan Juri maka dia dilarang mambahas kasus yang harus “diadilinya” itu dengan orang lain; dia harus menghindar dari “pengaruh-pengaruh” yang mungkin tertuang dalam laporan media tentang kasus yang sedang diikutinya itu. Dia harus mengadili atau menilai kasus yang dipercayakan kepadanya itu dengan sepenuh perhatian-NYA semata-mata tanpa masukan-masukan dari pihak lain.
Memang dalam perdebatan atau pembahasan yang kemudian harus dilakukan Dewan Juri setelah sidang selesai, boleh saja mereka berembuk dan berdebat sesama mereka, hanya sesama mereka, untuk menyimpulkan bersalah atau tidaknya terdakwa atau pihak yang terlibat dalam perkara itu.
Di sana sini pernah terjadi di mana Dewan Juri tidak berhasil mufakat. Umumnya kalau ketidaksepakatan itu berbilang 11-lawan satu, dari 12 anggota Dewan Juri, maka putusan yang disepakati ke-11 anggota Dewan Juri itu dianggap sah.
Kalau perbedaan antara yang menyimpulkan terdakwa bersalah dan yang menyimpulkan terdakwa tidak bersalah, maka hakim akan menyatakan “mistrial” dalam Bahasa Inggris, yang berarti perkara itu dapat disidangkan kembali atau pihak kejaksaan menyatakan perkara itu tidak akan diteruskan.
Dalam kasus terdakwa Erin Patterson yang disebutkan di atas seorang anggota Dewan Juri ketika terlacak telah membahas kasus itu dengan orang lain di luar Dewan Juri, langsung dicopot oleh hakim.
Peranan Islam dalam Sistem Peradilan
Dalam Islam keadilan memang sangat diutamakan.Tidak mengherankan kalau di banyak tempat di mana keadilan merupakan kunci utama (seperti Mahkamah Konstitusi di Jakarta) kutipan dari Al Qur’an 4:135 begitu ditonjolkan.
(Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan).
Bahkan di pintu gerbang Jurusan Hukum Universitas tertua (dan sering dinilai terjitu di Amerika Serikat), yakni Harvard, tertera kutipan dari surah An-Nisa itu. Dan ayat-ayat tentang keadilan dalam Al Qur’an memang banyak yang diakui kehebatannya.
Namun barangkali tidak banyak yang tahu atau belum tahu bahwa sistem Dewan Juri pada hakikatnya adalah warisan dari sistem peradilan Islami.
Dalam buku berjudul “Histoire de L’organisation judicaire” (hal.236-52) dan “Renaissance (hal. 295-6) disebutkan bahwa: “Suatu badan pencari fakta yang dikenal dengan nama lafif, yang pertama kali dibentuk di kota Fez (Maroko) dalam abad-abad ke-10 dan 11, sangat mirip dengan sistem Dewan Juri di Inggris. Badan ini ditugaskan apabila tidak terdapat cukup lelaki yang dianggap memenuhi tolok-ukur yang diperlukan untuk menjadi saksi-saksi yang andalan.”
Sebagaimana diketahui sistem Juri baru dikerahkan di Inggris dalam awal abad ke-13. (Kebetulan juga adalah di kota Fez Universitas/Perguruan Tinggi pertama di dunia didirikan oleh seorang Muslimah bernama Fatimah al-Fihri dalam tahun 857. Universitas itu bernama Al Qawariyyin, dan sampai sekarang masih menjadi tempat menimba ilmu bagi para mahasiswa. Di antara lulusannya termasuk orang yang kemudian menjadi Paus Sylvester II dan cendekiawan Yahudi Maimonides atau Al Maimun.).
Dalam bukunya “Heaven On Earth” penulis berdarah Finlandia dari pihak ibu dan Pakistan dari pihak ayah, Sadakat Kadri (Sadaqat Qadri), seorang lulusan Universitas Harvard, mengatakan bahwa para hakim (qadi) Muslim di zaman khilafah biasanya mengenakan jubah hitam yang sangat menarik dan tutup kepala yang tidak kalah menariknya.
Di zaman khilafah Abbasiyah Al Mansur (754-775 Era Bersama) banyak ulama yang sedapat mungkin berusaha menghindari agar jangan sampai ditunjuk sebagai hakim (qadi), apalagi kalau sampai harus mengadili sesama Muslim.
Catatan atau riwayat-riwayat dari zaman atau era itu menyebutkan tentang ulama yang lebih rela dihukum cambuk daripada diangkat menjadi hakim. Ada yang pura-pura gila demi menghindari jabatan yang kini dianggap sangat terhormat di berbagai negara maju di dunia.
Ada kisah yang dianggap mencerminkan betapa seorang ulama tidak segan-segan menjalani berbagai hukuman asalkan jangan sampai ditunjuk sebagai hakim (qadi).
Ulama dari Afrika Utara itu ditugasi oleh Gubernur Maghrabi agar memutus sesuai tuntutan shari’ah suatu perkara. Untuk memastikan agar ulama tersebut melakukan titah sang Gubernur ia digiring oleh sepasukan pengawal bersenjata ke masjid.
Namun sampai di rumah ibadah itu ia tetap berusaha menghindar, dan barulah ketika ia diikat dan dibawa ke atas bumbung masjid dan diancam akan dicampakkan ke bawah dia bersedia untuk mengadili terdakwa. Namun ketersediaannya itu disertai dengan isak tangis yang tidak henti-hentinya. Akhirnya perkara itu diserahkan kepada pihak lain. (Tidak dijelaskan bagaimana kesudahan dari perkara itu).
Ada yang berpendapat bahwa keengganan para ahli agama Islam waktu itu untuk menjadi hakim (qadi) adalah karena hadits Rasulullah (saw) yang diriwayatkan pernah disampaikan oleh Rasul yang berpesan:
“Salah tafsir shari’ah ketika mengadili perkara antara dua orang Muslim adalah jalan singkat menuju neraka, dan bahwa penugasan untuk mengadili antara sesama Muslim adalah sama seperti penyembelihan tanpa pisau.” (Hadits ini oleh banyak ulama dianggap lemah).
Di zaman khilafah Bani Ummayah, banyak hakim (qadi) yang meminta pendampingan oleh para ahli agama (mufti) yang mampu mengeluarkan fatwa sebagai pegangan sang hakim (qadi). Para petinggi ini kemudian didampingi pula oleh para ahli hukum. Suatu bentuk pemeriksaan pengadilan yang baru diterapkan juga dalam bentuk keterangan para saksi.
Segala ini kemudian digenapkan dengan keharusan agar “setiap putusan hukum (yudisial) harus disaksikan dan disahkan (validasi) oleh lelaki-lelaki terkemuka dalam Masyarakat Muslim, yang diikat oleh sumpah. Dan ini, kata Sadakat Kadri, adalah Dewan Juri yang sudah ada dalam pemerintahan Islami EMPAT RATUS tahun sebelum Inggiris memperkenalkan sistem Dewan Juri-nya.”
Besar sekali hutang Umat Manusia kepada sistem yang pernah diterapkan dalam zaman khilafah dan ajaran Islam secara keseluruhan. Allahu a’lamu