Wilayah udara yang tampaknya tak berbatas, sesungguhnya terkandung batas-batas kekuasaan yang tak kalah nyata dari garis-garis perbatasan di darat dan laut.
Oleh: Chappy Hakim
Ceknricek.com–Wilayah udara yang tampaknya tak berbatas, sesungguhnya terkandung batas-batas kekuasaan yang tak kalah nyata dari garis-garis perbatasan di darat dan laut. Sejak zaman Romawi Kuno, prinsip “cuius est solum, eius est usque ad coelum et ad inferos” barang siapa memiliki tanah, maka dia juga memiliki udara di atasnya hingga ke langit , telah menjadi fondasi filosofis bahwa kedaulatan negara tidak berhenti di permukaan bumi. Ia menjulang ke angkasa. Ini menandakan bahwa konsep freedom of the air sudah ditolak sejak jaman romawi kuno (Prof.Priyatna Abdurrasjid)
Dalam konteks kenegaraan modern, kedaulatan negara di udara bukan sekadar persoalan teknis penerbangan atau hukum internasional. Ia adalah juga soal kekuasaan politik. Dan karena itulah, isu ini sangat erat dengan ilmu politik ilmu yang membedah bagaimana kekuasaan dirancang, dikelola, dan dipertahankan dalam relasi domestik maupun global. Beberapa referensi yang relevan antara lain :
Hans Morgenthau – Realisme Politik
Dalam bukunya Politics Among Nations (1948), Morgenthau menekankan bahwa politik internasional adalah perjuangan kekuasaan antar negara. Dalam kerangka realis ini, penguasaan atas ruang udara adalah bagian dari proyeksi kekuasaan dan kepentingan nasional. Jadi, pengelolaan ruang udara bukan sekadar urusan administratif, melainkan bagian dari arena konflik kekuasaan antarnegara. “International politics, like all politics, is a struggle for power.”
Stephen D. Krasner – Sovereignty as Organized Hypocrisy
Krasner dalam bukunya menyatakan bahwa konsep kedaulatan sering kali dibentuk, dikompromikan, dan dinegosiasikan dalam kerangka kepentingan politik negara. Ruang udara sebagai bagian dari wilayah kedaulatan negara tentu menjadi medan dari tawar-menawar dan dominasi politik internasional.
Robert Keohane dan Joseph Nye – Interdependensi Kompleks
Dalam teori complex interdependence, Keohane dan Nye menunjukkan bahwa kekuasaan dalam dunia modern tersebar ke berbagai sektor, termasuk sektor udara dan teknologi tinggi. Mereka mengajak untuk melihat isu teknis sebagai bagian dari matriks kekuasaan global. Dalam hal ini isu teknis dapat merujuk kepada FIR dan pengaturan wilayah udara.
Michael Mann – The Autonomous Power of the State
Michael Mann menyebut negara memiliki “infrastructural power” yang memungkinkan negara mengontrol aktivitas dalam wilayahnya, termasuk udara. Maka, ketika negara menyerahkan kendali wilayah udaranya, sesungguhnya terjadi pengurangan atas kapasitas politik dan administratif negara itu sendiri.
Udara: Wilayah Strategis Negara
Seiring berkembangnya teknologi penerbangan dan satelit, ruang udara kini menjadi bagian vital dari infrastruktur kekuasaan nasional. Penguasaan wilayah udara bukan lagi soal melindungi ruang bagi pesawat sipil agar tidak bertabrakan di langit, tetapi soal bagaimana negara menegaskan eksistensinya dalam tataran geopolitik dan terutama pertahanan. Dalam ilmu politik, kedaulatan adalah konsep kunci yang merujuk pada otoritas tertinggi dalam suatu wilayah. Kedaulatan di udara menjadi manifestasi dari kedaulatan nasional yang menyeluruh dan tak terbagi. Di sinilah ruang udara menjadi bukan hanya arena teknis, tetapi juga simbol politik siapa mengatur wilayah udara maka dialah yang berdaulat.
Politik Kedaulatan: Antara Teori dan Praktik
Jean Bodin, pemikir politik dari abad ke-16, seolah meneruskan konsep romawi kuno, menyebutkan bahwa “sovereignty is the absolute and perpetual power of a Republic.” Konsep ini terus hidup dan berkembang, hingga diadopsi oleh berbagai instrumen hukum internasional, seperti Konvensi Paris 1919 dan Konvensi Chicago 1944 yang mengatur penerbangan sipil internasional. Dalam praktiknya, kedaulatan negara di udara seringkali dikompromikan melalui berbagai perjanjian, baik yang bersifat bilateral maupun multilateral. Negara-negara kecil atau berkembang kadang harus bernegosiasi bahkan menyerahkan sebagian kendali atas ruang udaranya karena keterbatasan teknis, politik, atau tekanan ekonomi. Di sinilah teori kedaulatan bertemu dengan realitas politik kekuasaan global. Dari sudut pandang ilmu politik, hal ini menunjukkan bahwa kedaulatan bukan entitas statis, melainkan arena tarik-menarik kekuasaan. Seorang realis seperti Hans Morgenthau akan melihat bahwa negara akan selalu memperjuangkan kepentingan nasionalnya, dan ruang udara menjadi bagian dari perebutan kepentingan tersebut baik untuk pertahanan, ekonomi, maupun simbol identitas negara.
Dominasi, Hegemoni, dan Politik Udara
Pengaturan wilayah udara tidak lepas dari dinamika kekuasaan global. Negara-negara besar dengan kekuatan militer dan teknologi yang mumpuni cenderung memiliki pengaruh lebih dalam menentukan siapa boleh mengelola dan siapa harus menyerah. Di sinilah konsep hegemonic stability theory dari Robert Keohane bisa digunakan untuk membaca ketimpangan dalam pengaturan wilayah udara, seperti yang terjadi di beberapa wilayah Asia dan Afrika. Contohnya, dalam kasus FIR (Flight Information Region), terdapat negara-negara yang wilayah udaranya dikendalikan oleh negara lain. Sering kali, hal ini bukan hanya masalah teknis, tetapi warisan kolonial dan refleksi dari ketimpangan struktur kekuasaan dunia. Teori ketergantungan (dependency theory) menilai bahwa struktur global yang timpang menjadikan negara-negara berkembang tetap bergantung pada negara maju dalam banyak aspek, termasuk pengelolaan wilayah udaranya sendiri.
Udara dan Kedaulatan Politik Nasional
Dalam konteks Indonesia, perjanjian-perjanjian yang menyangkut pengelolaan ruang udara harus dilihat dengan kacamata politik, bukan semata-mata administrasi penerbangan. Ketika sebagian wilayah udara dikelola oleh negara lain, bukan saja terjadi pelepasan kewenangan administratif, tetapi juga pembiaran atas hilangnya sebagian ekspresi kedaulatan negara. Ini adalah titik kritis yang seharusnya menjadi perhatian serius dari para pengambil kebijakan dan pemikir politik nasional. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, penguasaan ruang udara adalah mutlak. Tidak hanya sebagai jalur penghubung antar-pulau, tetapi juga sebagai benteng pertahanan dan medium proyeksi kekuasaan. Maka, para politisi, akademisi, dan pemimpin bangsa harus memahami bahwa politik udara bukanlah isu sempit, melainkan medan strategis yang akan menentukan harga diri bangsa dalam arena global.
Demikianlah, maka di masa depan, ruang udara akan semakin padat, bukan hanya oleh pesawat komersial dan militer, tetapi juga oleh drone, balon cuaca, bahkan proyek-proyek eksplorasi luar angkasa. Maka, pertarungan kedaulatan akan menjangkau lapisan yang lebih tinggi lagi. Ilmu politik memberikan kerangka untuk memahami semua ini, dari level domestik hingga internasional. Melalui kacamata politik, kita melihat bahwa kedaulatan udara bukan soal langit kosong, tetapi soal siapa yang berkuasa, siapa yang tunduk, dan siapa yang mengambil keputusan dalam ruang yang tampak hampa tapi sesungguhnya padat oleh banyak kepentingan. Wilayah udara bukan hanya tempat burung terbang. Ia adalah medan strategis kekuasaan. Dan dalam dunia politik, siapa yang kehilangan wilayah udaranya, maka tidak mustahil lambat laun akan kehilangan pula bumi tempatnya berpijak.
Referensi:
- Jean Bodin. Six Books of the Republic, 1576.
- Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional.
- Hans J. Morgenthau. Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace, 1948.
- Robert Keohane. After Hegemony: Cooperation and Discord in the World Political Economy, 1984.
- Andre Gunder Frank. The Development of Underdevelopment, 1966.
- Chappy Hakim “FIR di Kepulauan Riau – Wilayah Udara Kedaulatan NKRI” PT Kompas Media Nusantara tahun 2019.