Ceknricek.com — “Bagi Rabi’ah, akad nikah merupakan hak pemilik alam semesta dan harus dimintakan dari Tuhan, bukan dirinya.”
Nama Rabi’ah al-’Adawiyah harum di mata banyak orang. Kealimannya, kerendah hatiannya, dan hidup zuhudnya seolah memunculkan magnet yang menarik banyak kalangan untuk mengaguminya sebagai perempuan sufi yang tak biasa. Tak hanya masyarakat awam, kekaguman tersebut ternyata juga dimiliki para ulama besar yang sezaman.
Sumber : NU Online
Tak heran, ketika ulama perempuan ini berstatus janda lantaran sang suami wafat, banyak ulama yang berusaha melamarnya untuk menjadi pendamping hidup. Dalam kitab Durratun Nashihin diuangkapkan, para ulama ternama yang terpikat hatinya itu antara lain Hasan al-Bashri, Malik bin Dinar, dan Tsabit al-Banani.
Syahdan, suatu hari para ulama tersebut datang ke kediaman Rabi’ah al-’Adawiyah dan mengutarakan maksud tulus mereka untuk meminang Rabi’ah. Ia pun mengizinkan mereka masuk sambil mengulurkan tabir dan duduk di belakang tabir.
Imam Hasan Al-Bashri dan para sahabatnya berkata, “sekarang, suamimu telah tiada, maka pilihlah di antara kami ini, orang-orang yang zuhud, siapakah yang kamu mau untuk dijadikan suami?”
Lalu Rabi’ah menjawab, “baik. Sebenarnya aku menyukai dan memuliakan kalian semua. Namun, aku ingin bertanya kepada kalian siapakah di antara kalian yang paling alim untuk kujadikan sebagai suamiku yang baru?”
Sebelum Hasan Al-Bashri sempat membuka mulut, para sahabatnya telah menjawab lebih dahulu, “orang yang paling alim di antara kami adalah Hasan Al-Bashri.”
Maka Rabi’ah berkata, “jika engkau bisa menjawab beberapa pertanyaan dariku, maka aku bersedia menjadi istrimu!”
Imam Hasan Al-Bashri pun segera menjawab, “tanyalah, jika Allah memberiku petunjuk untuk menjawab, maka aku akan menjawab pertanyaanmu.”
Rabi’ah lalu melontarkan pertanyaan pertama, “bagaimana menurutmu, seandainya aku meninggal, apakah aku akan meninggalkan dunia ini sebagai orang Islam atau sebagai orang kafir?”
Imam Hasan Al-Bashri menjawab, “masalah kematian berikut tanda-tandanya adalah masalah gaib bagi makhluk.”
Rabi’ah lalu melontarkan pertanyaan kedua, “bagaimana menurutmu, seandainya aku sudah dimasukkan ke liang kubur, lalu Malaikat Munkar dan Nakir bertanya kepadaku, apakah aku mampu menjawab pertanyaan mereka atau tidak?”
Imam Hasan menjawab, “mengetahui mampu-tidaknya seseorang untuk menjawab pertanyaan kedua malaikat itu adalah juga sama seperti masalah gaib yang ditanyakan sebelumnya.”
Kemudian, Rabi’ah Adawiyah menyampaikan pertanyaan ketiga, “jika manusia dikumpulkan di tempat perhentiannya pada Hari Kiamat, sementara buku-buku catatan berterbangan, lalu sebagian manusia ada yang diberikan buku amalnya dari sebelah kanan atau dari arah depan yang menandakan bahwa orang itu adalah orang Mukmin yang taat. Sedangkan, sebagian lagi ada yang diberikan dari sebelah kiri atau dari arah belakang yang menandakan bahwa dia adalah orang kafir. Menurutmu, apakah aku akan diberikan buku catatan amal dari sebelah kananku atau dari sebelah kiriku?”
Imam Hasan menjawab, “mengetahui pemberian buku amal perbuatan juga masalah gaib.”
Rabi’ah kemudian mengajukan pertanyaan keempat, “jika sekelompok manusia di Hari Kiamat dipanggil untuk masuk ke dalam surga dan sekelompok lain masuk ke dalam neraka, apakah aku akan termasuk penghuni surga ataukah penghuni neraka?”
Imam Hasan juga menjawab, “mengetahui apakah engkau termasuk penghuni surga atau penghuni neraka adalah juga sebuah masalah gaib.”
Setelah mendengar jawaban Hasan Al-Bashri, Rabi’ah pun berkata, “apakah seseorang yang gelisah terhadap keempat pertanyaan seperti itu membutuhkan suami atau mau menghabiskan waktunya hanya untuk memilih suami?”
Para ulama itu pun meneteskan air mata dan keluar dari rumah Rabi’ah al-’Adawiyah dengan penuh penyesalan.
(Sumber : Uqud Al-Lujain fi Bayani Huquq-Zaujain karya Nawawi Al-Bantani)