Close Menu
CEK&RICEKCEK&RICEK
  • Home
  • Headline
  • Berita
    • AKTIVITAS PRESIDEN
    • AKTIVITAS KEPALA DAERAH
    • AKTIVITAS MENTERI
    • POLITIK
    • JURNALISTIK
    • BREAKING NEWS
    • LINGKUNGAN HIDUP
    • KESEHATAN
    • BISNIS INDUSTRI
    • EKONOMI & BISNIS
    • HUKUM
    • SOSIAL BUDAYA
    • INTERNASIONAL
    • OLAHRAGA
  • Pengetahuan
    • SOSOK
    • SEJARAH
    • BIOGRAFI
    • BUKU & LITERATUR
    • TEKNOLOGI & INOVASI
    • RISET & DUNIA KAMPUS
  • ENTERTAINMENT
    • FASHION & BEAUTY
    • FILM & MUSIK
    • SELEBRITI
    • KOMUNITAS
    • FOOD REVIEW
    • WISATA
    • DUNIA KESEHATAN
    • SENI & BUDAYA
    • PARENTING & KIDS
    • TIPS & TRIK
    • TEATER
  • Opini
Tentang Kami Kontak Kami
  • APP STORE
  • GOOGLE PLAY
Facebook X (Twitter) Instagram YouTube
CEK&RICEKCEK&RICEK
Trending:
  • Olivia Rodrigo Ajak Dunia Bergerak dan Membantu Palestina
  • Lisa Mariana Akui Video Pornonya Dibuat Dalam Kondisi Tidak Sadar
  • Geger Pengakuan Model Erika Carlina Hamil 9 Bulan Tanpa Suami
  • Prediksi Susunan Pemain Timnas U-23 Indonesia Vs Filipina
  • Pulkam ke Norwegia, Begini Perjuangan Alice Norin
Facebook X (Twitter) Instagram YouTube
  • Home
  • Headline
  • Berita
    • AKTIVITAS PRESIDEN
    • AKTIVITAS KEPALA DAERAH
    • AKTIVITAS MENTERI
    • POLITIK
    • JURNALISTIK
    • BREAKING NEWS
    • LINGKUNGAN HIDUP
    • KESEHATAN
    • BISNIS INDUSTRI
    • EKONOMI & BISNIS
    • HUKUM
    • SOSIAL BUDAYA
    • INTERNASIONAL
    • OLAHRAGA
  • Pengetahuan
    • SOSOK
    • SEJARAH
    • BIOGRAFI
    • BUKU & LITERATUR
    • TEKNOLOGI & INOVASI
    • RISET & DUNIA KAMPUS
  • ENTERTAINMENT
    • FASHION & BEAUTY
    • FILM & MUSIK
    • SELEBRITI
    • KOMUNITAS
    • FOOD REVIEW
    • WISATA
    • DUNIA KESEHATAN
    • SENI & BUDAYA
    • PARENTING & KIDS
    • TIPS & TRIK
    • TEATER
  • Opini
CEK&RICEKCEK&RICEK
  • Home
  • Headline
  • Berita
  • Pengetahuan
  • ENTERTAINMENT
  • Opini
Home»Opini
Opini

Kudeta Wembley

Juli 13, 20216 Mins Read

Ceknricek.com — Mimpi buruk yang menjadi kenyataan. Kudeta Maracana akhirnya menular ke Wembley. Leonel Messi berhasil mengakhiri kutukan 28 tahun tidak pernah memenangkan piala untuk timnas Argentina. Sebaliknya, timnas Inggris memperpanjang kutukan 56 tahun tidak pernah juara di turnamen besar.

Plesetan suporter Italia ‘’Football Coming Rome’’ menjadi kenyataan. Italia melakukan kudeta tidak berdarah di Wembley, dengan mengalahkan tuan rumah Inggris 3-2 (1-1) melalui drama adu penalti yang menyesakkan dada Senin dinihari (12/7). ‘’Lagu kebangsaan’’ timnas Inggris ‘’Football Coming Home’’ tidak jadi dikumandangkan, mungkin untuk waktu yang sangat lama.

Kudeta Wimbley
Foto: Getty images

Trauma ini akan berkepanjangan. Pemain-pemain, dan seluruh pendukung Inggris, tidak akan mau menonton ulang rekaman pertandingan itu beberapa waktu kedepan. Tapi, detik-detik yang penuh kepedihan itu akan secara otomatis di-rewind dalam otak mereka sampai kapan pun.

Mereka akan membayangkan lagi bagaimana pada menit ke-2–ketika semua orang masih belum jenak di tempat duduknya—Luke Shaw merangsek ke kotak penalti Italia, lalu menyongsong bola forset dari Raheem Sterling dengan tendangan first time keras mendatar. Kiper Gianluigi Donnarumma—yang jago dalam bereaksi—terpaku dan terpana, tidak mampu menjangkau tendangan itu.

Satu gol yang membuat seisi stadion meledak, dan suporter Italia terhenyak. Kira-kira selama 20 menit kemudian Inggris mengendalikan permainan. Raheem Sterling mengacak-acak pertahanan lawan, dan Calvin Phillips bersama Declan Rice mengontrol lapangan tengah.

Tapi, Italia adalah sekumpulan gladiator yang tidak kenal menyerah. Para tukang jagal berwajah dingin dan angker seperti Giorgio Chiellini dan Leonardo Bonucci, mulai memimpin serangan dan pengepungan di paroh kedua babak pertama.

Sungguh ironis. Sepak bola Italia selama ini dikenal dengan sistem gerendel Catanaccio yang fokus pada pertahanan. Sepak bola Italia identik dengan parkir bus atau parkir kereta api, atau semua tuduhan pejoratif yang berhubungan dengan sepak bola negatif.

Tapi, kali ini Italia malah memberi pelajaran kepada Inggris, bagaimana cara melakukan serbuan dan pengepungan ke kubu lawan yang bertahan di sepertiga lapangan. Justru tim Inggris–yang punya pemain dengan kecepatan menyerang naluri tinggi–yang malah menerapkan PPKM Darurat.

Mereka terkurung di rumahnya sendiri. Sepanjang babak kedua Inggris berada pada keadaan siaga ‘’under siege’’, siaga satu, karena daerahnya masuk zona merah. Frederico Chiesa adalah mimpi buruk sepanjang permainan. Ketika akhirnya Chiesa ditarik keluar karena cedera, ada desah nafas lega diembuskan pemain-pemain dan suporter Inggris.

Kudeta Wimbley
Foto: Getty Images/Paul Ellis – Pool

Tapi, sumber ancaman bukan datang dari para penyerang, Chiesa, Insigne, atau Immobile. Italia menyiapkan plot yang mematikan. Chiellini mengintai dari sisi kiri. Bonucci diam-diam mengincar jantung pertahanan Inggris.

Dalam sebuah serbuan kilat, kiper Inggris Jordan Pickford berjibaku mengusir bola yang menggelinding kearah gawannya. Ia tidak berhasil menghalau bola, tapi masih ada tiang gawang. Bola memental pelan. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba Bonucci muncul menyambar bola merobek gawang. Petaka di menit ke-61 membuat kedudukan 1-1 sampai babak kedua selesai.

Bonucci lari melompat lalu berdiri di pagar pembatas penonton dan menggenggamkan dua tangannya ke arah suporter Italia di belakang gawang Inggris. Bonucci seperti gladiator berdarah dingin yang baru saja membunuh lawan dengan pukulan mematikan.

Selama setengah jam berikutnya Inggris kehilangan nyawa. Perpanjangan waktu 2×15 menit adalah penantian panjang menuju vonis kematian. Pemain-pemain Inggris kehilangan akal untuk menembus pertahanan Italia. Beberapa pergantian dilakukan, hasilnya tetap buntu.

Selain duo tukang jagal Chiellini dan Bonucci, Italia masih punya penjaga benteng muda nan kokoh tak tertembus, Gialuigi Donnarumma. Nama depannya sama dengan legenda kiper Italia, Gianluigi Buffon. Nama itu bisa membuat penyerang Inggris menggigil.

Sungguh sebuah paradoks. Italia menjadi juara dengan menyandang status sebagai tim paling produktif. Tapi, yang menjadi pemain terbaik sepanjang turnamen adalah sang kiper Donnarumma. Ini menjadi bukti kokohnya lini Italia dari belakang sampai depan.

Italia menjadi juara dan menjadi tim tak terkalahkan sepanjang turnamen. Selama dilatih oleh Mancini, total Italia tidak terkalahkan dalam 34 pertandingan. Italia layak mendapat juukan The Invincible, Yang Tak Terkalahkan, mengulang sejarah Arsenal yang menjadi juara Liga Inggris tanpa pernah kalah sekali pun pada musim kompetisi 2003-2004.

Sebagaimana Arsene Wenger yang mendapat gelar lapangan ‘’The Professor’’ yang menciptakan mahakarya ‘’Arsenal The Invincible’’, Roberto Mancini pun layak mendapat gelar kehormatan PhD dari komunitas sepak bola dunia. Mancini membuktikan bahwa dia adalah masterclass tactician, jururacik taktik kelas dewa.

Saat-saat menuju adu penalti adalah saat-saat seluruh pemain Inggris digiring menuju penjagalan Guillotine. Wajah pucat pasi dan kaki gemetar. Tidak ada aura kemenangan yang terpancar. Seolah-oleh mereka semua sudah pasrah menghadapi takdir.

Kudeta Wimbley
Foto: Getty Images/Christopher Lee

Seolah mereka semua menyerah menghadapi kutukan. Inggris tidak pernah menang dalam adu penalti di babak semifinal di berbagai major tournament. Kali ini Inggris maju hanya selangkah, dan ditakdirkan untuk terhenti.

Inggris sudah berhasil mengatasi trauma melawan Jerman. Kemenangan 2-0 di perempat final disambut gegap-gempita di seluruh negeri. Inggris merasa sudah bisa menghapus trauma masa lampau karena selalu kalah melawan Jerman di babak penting turnamen besar.

Pemain-pemain Inggris yang rata-rata masih berumur likuran awal, tidak pernah punya kenangan terhadap Jerman. Dan, itulah yang membuat mereka tidak punya beban sejarah melawan Jerman. Penampilan anak-anak muda, Raheem Sterling, Jadon Sancho, Marcus Rashford, Bukayo Saka, Calvin Phillips, Mason Mount, dan Declan Rice, memberi harapan besar bahwa sepak bola Inggris mempunyai masa depan cerah.

Tapi, sekarang Inggris berkutat dengan mimpi buruk baru. Alih-alih menghapuskan trauma kalah di adu penalti, Inggris justru mewariskan trauma itu kepada pemain-pemain muda yang harusnya tidak punya dosa.

Dalam setiap pertandingan besar, sebuah detail kecil akan menentukan sejarah. Pelatih Gareth Southgate dipuja bak dewa di seluruh negeri, karena berhasil membuktikan kehebatannya dalam menyusun strategi dan memilih pasukan yang tepat. Tapi, pada babak adu penalti itu semuanya seperti lenyap. Kemarau setahun tersapu hujan semalam.

Tiga algojo yang dipilih Southgate adalah ‘’anak-anak kecil’’, dalam bahasa Roy Keane, yang belum jejag kakinya di stadion. Marcus Rashford dan Jadon Sancho hanya beberapa menit di lapangan. Bukayo Saka baru masuk di akhir babak kedua. Mereka belum jangkap nyawanya ketika ditunjuk sebagai algojo.

Para pandit, seperti Roy Keane, dibayar mahal karena lidahnya yang tajam. Banyak komentarnya yang menusuk dan mematikan. Tapi, kali ini Keane coba bersimpati. Itu pun komentarnya tetap menusuk. Dia mengutuk para pemain senior, Raheem Sterlling dan Jack Grealish, yang membiarkan ‘’anak-anak kecil’’ itu menjadi penendang penalti, dan mereka memilih duduk-duduk menyaksikan.

Yang terjadi kemudian adalah tragedi. Rashford mengecoh Donnarumma yang bergerak ke kiri. Bola tendangan Rashford meluncur deras datar ke kanan gawang, tapi bola melintir keluar menabrak tiang gawang. Rashford tersungkur menutupkan dua tangannya ke muka.

Kudeta Wimbley
Foto: Getty images

Jadon Sancho kehilangan kepercayaan diri. Bagaimana pun, Rashford—yang akan menjadi teman satu timnya di Manchester United—adalah panutannya. Tendangan Sancho gampang diantisipasi oleh Donnarumma.

Dua penendang Italia juga gagal. Ada asa baru. Tugas terakhir ada di kaki Bukayo Saka. Anak berusia 19 tahun ini mengemban tugas negara nan berat. Tendangannya harus masuk untuk memperpanjang nyawa. Tapi, beban itu tak tertanggungkan untuk anak 19 tahun. Mukanya pucat, tidak tahu harus berbuat apa. Donaruma dengan yakin menjatuhkan diri ke sisi kiri gawang untuk memblok tendangan Saka.

Donnarumma bahkan tidak melakukan selebrasi setelah menghentikan tendangan itu. Ia membuat sejarah. Ia mendapat ganjaran sebagai ‘’Man of the Tournament’’.

Lengkaplah sudah kudeta di Wembley, ‘’Football Coming Rome’’. 

Baca juga: Menunggu 53 Tahun, Italia Juara Piala Eropa 2020

Penulis: Cek&Ricek.com

Editor: Cek&Ricek.com

#Inggris #wembley euro2020 italia kudeta
Share. Facebook Twitter Telegram WhatsApp

Related Posts

Gaza dalam Kesaksian Jean-Pierre Filiu: Geng Abu Shabab (3/5)

Gaza dalam Kesaksian Jean-Pierre Filiu: Tak Lagi Dikenali (2/5)

Ketika Jin Bikin Gara-Gara

Gaza dalam Kesaksian Jean-Pierre Filiu: Menembus Batas (1/5)

Pilkada Gado-Gado

Kuatnya MRC Selama ini Karena Diduga Dibekingi Jokowi

Add A Comment

Tinggalkan BalasanBatalkan balasan

Sedang Tren

Olivia Rodrigo Ajak Dunia Bergerak dan Membantu Palestina

Penyanyi Olivia Rodrigo , menyampaikan keprihatinannya yang mendalam terhadap situasi kemanusiaan yang memburuk di Palestina, khususnya Gaza.

Lisa Mariana Akui Video Pornonya Dibuat Dalam Kondisi Tidak Sadar

Juli 18, 2025

Geger Pengakuan Model Erika Carlina Hamil 9 Bulan Tanpa Suami

Juli 18, 2025

Prediksi Susunan Pemain Timnas U-23 Indonesia Vs Filipina

Juli 18, 2025

Pulkam ke Norwegia, Begini Perjuangan Alice Norin

Juli 18, 2025

Cerita Farel Prayoga Uangnya Habis Dikuras Keluarga

Juli 18, 2025

Wolverhampton Wanderers Masukkan Diogo Jota ke Dalam Hall of Fame

Juli 18, 2025

Jualannya Dihujat, Pinkan Mambo Bilang Gini

Juli 18, 2025
logo

Graha C&R, Jalan Penyelesaian Tomang IV Blok 85/21, Kav DKI Meruya Ilir, Jakarta Barat. redaksi@ceknricek.com | (021) 5859328

CEK & RICEK
Telah diverifikasi oleh Dewan Pers
Sertifikat Nomor
575/DP-Verifikasi/K/X/2020

Facebook X (Twitter) Instagram YouTube
  • Headline
  • Berita
  • Pengetahuan
  • ENTERTAINMENT
  • Opini
© 2017-2025 Ceknricek.com Company. All rights reserved.

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.