Close Menu
CEK&RICEKCEK&RICEK
  • Home
  • Headline
  • Berita
    • AKTIVITAS PRESIDEN
    • AKTIVITAS KEPALA DAERAH
    • AKTIVITAS MENTERI
    • POLITIK
    • JURNALISTIK
    • BREAKING NEWS
    • LINGKUNGAN HIDUP
    • KESEHATAN
    • BISNIS INDUSTRI
    • EKONOMI & BISNIS
    • HUKUM
    • SOSIAL BUDAYA
    • INTERNASIONAL
    • OLAHRAGA
  • Pengetahuan
    • SOSOK
    • SEJARAH
    • BIOGRAFI
    • BUKU & LITERATUR
    • TEKNOLOGI & INOVASI
    • RISET & DUNIA KAMPUS
  • ENTERTAINMENT
    • FASHION & BEAUTY
    • FILM & MUSIK
    • SELEBRITI
    • KOMUNITAS
    • FOOD REVIEW
    • WISATA
    • DUNIA KESEHATAN
    • SENI & BUDAYA
    • PARENTING & KIDS
    • TIPS & TRIK
    • TEATER
  • Opini
Tentang Kami Kontak Kami
  • APP STORE
  • GOOGLE PLAY
Facebook X (Twitter) Instagram YouTube
CEK&RICEKCEK&RICEK
Trending:
  • Lagu Open Source
  • Ngantuk Cacing
  • Juventus Menang 2-0 Atas Parma
  • Pagelaran Sabang Merauke – The Indonesian Broadway 2025 “Hikayat Nusantara” Premiere Show Memukau Ribuan Penonton di Panggung Indonesia Arena
  • Rukun Digital Umrah-Haji
Facebook X (Twitter) Instagram YouTube
  • Home
  • Headline
  • Berita
    • AKTIVITAS PRESIDEN
    • AKTIVITAS KEPALA DAERAH
    • AKTIVITAS MENTERI
    • POLITIK
    • JURNALISTIK
    • BREAKING NEWS
    • LINGKUNGAN HIDUP
    • KESEHATAN
    • BISNIS INDUSTRI
    • EKONOMI & BISNIS
    • HUKUM
    • SOSIAL BUDAYA
    • INTERNASIONAL
    • OLAHRAGA
  • Pengetahuan
    • SOSOK
    • SEJARAH
    • BIOGRAFI
    • BUKU & LITERATUR
    • TEKNOLOGI & INOVASI
    • RISET & DUNIA KAMPUS
  • ENTERTAINMENT
    • FASHION & BEAUTY
    • FILM & MUSIK
    • SELEBRITI
    • KOMUNITAS
    • FOOD REVIEW
    • WISATA
    • DUNIA KESEHATAN
    • SENI & BUDAYA
    • PARENTING & KIDS
    • TIPS & TRIK
    • TEATER
  • Opini
CEK&RICEKCEK&RICEK
  • Home
  • Headline
  • Berita
  • Pengetahuan
  • ENTERTAINMENT
  • Opini
Home»Opini
Opini

Lagu Open Source

Agustus 25, 20256 Mins Read
Foto: Istimewa
Pada akhirnya, musik adalah soal resonansi, bukan soal retribusi. Ia mengikat manusia lewat nada, bukan lewat nota tagihan.

Oleh: Ahmadie Thaha

Ceknricek.com–Bayangkan Anda sedang makan bakso di warung sederhana. Suara sendok ketemu mangkuk porselen direkam jadi musik pengiring. Tiba-tiba datang petugas Lembaga Manajemen Kolektif (LMK), berkata: “Maaf, suara mangkoknya mirip perkusi, apakah sudah bayar royalti?”

Begitulah nasib dunia musik Indonesia: ribut sejagat bukan pada soal kreatifitasnya, tapi pada siapa yang paling berhak memungut royalti. Seolah-olah musik bukan lagi tentang getaran jiwa, melainkan getaran ATM. Ributnya mengganggu irama nafas.

Padahal, kalau merujuk pada Tempo (20 Agustus 2025), jelas masalah utama ada pada ketidaktransparanan sistem distribusi royalti. Banyak musisi kecil merasa seperti jadi kurir makanan: capek masak, capek antar, tapi tip disedot aplikasi.

Nah, di tengah drama “royalti vs hajatan”, ada satu solusi alternatif yang lebih segar, agak satiris, tapi serius: bikin lagu open source pakai AI. Tapi tentu tetap ada manusia pembuatnya, yang tetap memiliki hak cipta namun ala open source.

Jangan bayangkan robot Terminator menyanyi dangdut, tapi bayangkan komunitas kreatif baru, semacam “koperasi musik alternatif”, di mana para aktivis lirik, pembuat partitur, dan teknisi AI berkumpul. Ini bukan koperasi merdeka Merah Putih top down, tapi merdeka dari royalti.

Mereka duduk bareng, mungkin sambil minum kopi sachet di emperan kampus seni, lalu berkata: “Oke, kita bikin lagu-lagu alternatif, semua orang boleh pakai, tapi tetap ada hak cipta yang tidak dimonopoli LMK.” Semua punya ruang kreativitas yang sepenuhnya merdeka.

Pertanyaan besar: apakah ada jenis lisensi berbentuk open source untuk lagu? Jawabannya: ada. Walau tidak persis seperti MIT atau Apache License di dunia software, musik bisa dibuka dengan lisensi Creative Commons (CC) yang diakui dunia.

Bentuk lisensinya, misalnya: CC-BY: semua orang boleh pakai, asal mencantumkan pencipta. Ada juga CC-BY-SA: boleh dipakai, asal karya turunan ikut terbuka. Terakhir, model lisensi CC0: serahkan semua ke publik domain, alias ikhlas lillahi ta‘ala.

Di Eropa, banyak musisi independen sudah pakai lisensi semacam ini. Band indie Berlin misalnya, merilis track techno mereka di bawah CC-BY-SA sehingga DJ di Meksiko bisa melakukan remix atasnya tanpa takut digebuk polisi hak cipta.

Sementara di Amerika, komunitas “Open Music Initiative” (berbasis di Berklee College of Music, Boston) sudah mendorong blockchain untuk transparansi royalti. Tujuannya, agar tidak ada “blanket license” abal-abal seperti yang dikritik Panji Prasetyo di Tempo.

Di Indonesia? Kebanyakan masih terjebak logika “semua harus bayar”. Bahkan kafe kecil yang memutar playlist Spotify dengan iklan “Shopee, gratis ongkir” tetap kena tagihan. Bayangkan, para pemilik kafe kini ketar-ketir putar lagu apa pun, takut kena tagihan royalti.

Padahal, studi di Inggris menunjukkan bahwa kafe dan kedai justru meningkatkan popularitas musisi lewat pemutaran gratis. Di sana, pemerintah justru menganggap kedai kopi sebagai “ruang promosi”. Eh, di sini malah dianggap seperti “venue festival” skala Coldplay.

Di dunia internasional, konsep musik open source bukanlah mimpi utopis. Ada Free Music Archive (FMA), sebuah perpustakaan musik bebas sangat besar yang dikelola sejak 2009 oleh radio independen WFMU di Amerika Serikat.

Ribuan musisi dari berbagai genre merilis karyanya dengan lisensi Creative Commons, sehingga bisa diunduh, dipakai, bahkan di-remix secara legal oleh siapa saja, mulai dari mahasiswa film indie sampai produser podcast. Hasilnya, musik tak lagi terkungkung birokrasi royalti, melainkan berkembang lewat kolaborasi lintas batas.

Selain itu, ada Jamendo, platform asal Luksemburg yang kini punya lebih dari 600 ribu track dari 40 ribu artis independen di seluruh dunia. Mereka menyediakan dua jalur: musik gratis berlisensi Creative Commons untuk publik.

Jalur lainnya, mereka juga menyediakan layanan komersial dengan sistem lisensi sederhana untuk bisnis yang mau memutar lagu di restoran atau toko. Model hybrid ini membuktikan bahwa musik bisa tetap terbuka, tapi pencipta tidak kehilangan hak ekonomi.

Bahkan, inisiatif seperti Open Music Initiative yang digagas Berklee College of Music di Boston menunjukkan bagaimana teknologi blockchain bisa dipakai untuk transparansi royalti, sehingga tidak ada lagi musisi yang merasa “ditipu” oleh angka-angka gelap ala LMK.

Sekarang, mari bayangkan proses lahirnya komunitas musik AI alternatif tersebut. Pertama, keresahan jadi pemicu. Musisi indie Bandung, penyanyi jalanan Jogja, sampai pembuat beat bedroom di Makassar sama-sama bosan diperas sistem royalti yang absurd.

Mereka mulai segalanya dengan bikin grup WhatsApp bernama “Musik Merdeka”. Dari obrolan itulah muncul gagasan: “Gimana kalau kita bikin lagu pakai AI, hasilnya open source, bebas dipakai siapa saja, tapi tetap diakui penciptanya?”

Kedua, muncul ruang kolaborasi. Di coworking space pinggir jalan atau balai RW, mereka kumpul bareng. Lirik ditulis manual, musik dihasilkan pakai aplikasi AI seperti Suno, lalu digabung jadi karya utuh. Setiap karya langsung dirilis dengan lisensi Creative Commons.

Ketiga, sistem distribusi. Karena bosan dengan birokrasi LMK, mereka pakai GitHub atau platform serupa untuk lagu. Jadi bukan hanya kode yang bisa di-fork, lagu pun bisa di-remix. Anak kampus di Surabaya bisa bikin versi dangdut, sementara santri di Jombang bikin versi shalawat.

Keempat, pengakuan publik. Begitu media menulis, publik menyadari: ternyata ada jalan tengah antara “musik gratis tanpa penghargaan” dan “musik berbayar dengan birokrasi rente”. Komunitas ini jadi semacam Wikipedia-nya dunia musik, di mana semua orang bisa ikut kontribusi, tapi tetap ada struktur etika dan penghargaan.

Tentu ada yang sinis: “Lagu AI itu tidak punya jiwa!” Ya benar, tapi apa semua lagu manusia punya jiwa?

Mari jujur: jingle iklan mi instan atau lagu parpol kadang lebih mirip spam ketimbang ekspresi seni. Bedanya, saat AI bikin jingle basi, maka kita bisa langsung tekan tombol “delete”. Tapi kalau manusia bikin lagu basi, lagu ini bisa bertahan jadi ringtone selama satu dekade.

Yang lebih penting, AI memecahkan masalah aksesibilitas. Dulu, bikin musik butuh studio mahal, mixer, gitar seharga motor. Kini, cukup laptop kentang plus koneksi WiFi gratis tetangga, sudah bisa bikin orkestra digital.

Artinya, lebih banyak orang bisa masuk ke dunia penciptaan lagu tanpa terhalang modal. Daripada ribut soal siapa yang harus bayar royalti di pesta kawinan, lebih baik pemerintah memfasilitasi lahirnya ekosistem open source musik. Caranya?

Pertama, akui lisensi Creative Commons sebagai format sah hak cipta di Indonesia. Lantas dorong LMK untuk mengadopsi sistem digital seperti Spotify: berbasis data penggunaan nyata, bukan asumsi kursi restoran. Juga, bentuk program inkubasi komunitas musik AI.

Itu semua, maksudnya, agar musisi indie bisa berkreasi tanpa takut digebuk regulasi. Dengan cara itu, kita bisa mengurangi sengkarut royalti, sekaligus membuka ruang inovasi. Musik tetap dihargai, tapi tidak lagi jadi ladang rente segelintir lembaga.

Pada akhirnya, musik adalah soal resonansi, bukan soal retribusi. Ia mengikat manusia lewat nada, bukan lewat nota tagihan. Kalau musik bisa lahir dari suara jangkrik, bisakah kita membayangkan masa depan di mana musik lahir dari prompt AI?

Itu terbuka untuk semua, dan tetap adil bagi pencipta. Kalau itu bisa terjadi, mungkin di pesta kawinan nanti, yang ditagih bukan lagi royalti lagu, tapi royalti tawa karena kita berhasil menertawakan absurditas sistem lama.

Cak AT – Ahmadie Thaha

Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 24/8/202

#Kisruh Lagu musik royalti

Penulis: Ahmadie Thaha

Editor: Ariful Hakim

Share. Facebook Twitter Telegram WhatsApp

Related Posts

Ngantuk Cacing

Rukun Digital Umrah-Haji

Bencana Hancurnya Meritokrasi

Kematian Raya karena Cacing, Antara Negara yang Abai dan Omong Kosong Menkes yang Bukan Dokter

Kunci Segala Pintu

Noel’s Serakahnomics

Add A Comment
Leave A Reply Cancel Reply


Sedang Tren

Lagu Open Source

Pada akhirnya, musik adalah soal resonansi, bukan soal retribusi. Ia mengikat manusia lewat nada, bukan lewat nota tagihan.

Ngantuk Cacing

Agustus 25, 2025

Juventus Menang 2-0 Atas Parma

Agustus 25, 2025

Pagelaran Sabang Merauke – The Indonesian Broadway 2025 “Hikayat Nusantara” Premiere Show Memukau Ribuan Penonton di Panggung Indonesia Arena

Agustus 25, 2025

Rukun Digital Umrah-Haji

Agustus 25, 2025

Remaja Difabel Rayakan Kebahagiaan Bersama di Konser Musik

Agustus 25, 2025

Prabowo Anugerahi Haji Isam Bintang Mahaputera Utama

Agustus 25, 2025

Presiden Sambangi Kediaman Wapres Ma’ruf Amin, Teguhkan Semangat Persatuan Bangsa

Agustus 25, 2025
logo

Graha C&R, Jalan Penyelesaian Tomang IV Blok 85/21, Kav DKI Meruya Ilir, Jakarta Barat. redaksi@ceknricek.com | (021) 5859328

CEK & RICEK
Telah diverifikasi oleh Dewan Pers
Sertifikat Nomor
575/DP-Verifikasi/K/X/2020

Facebook X (Twitter) Instagram YouTube
  • Headline
  • Berita
  • Pengetahuan
  • ENTERTAINMENT
  • Opini
© 2017-2025 Ceknricek.com Company. All rights reserved.

Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.