Synopsi
Memindahkan Keindahan Puisi ke Layar Putih: Sebuah Tafsir Karya Garin Nugroho
Ceknricek.com--Simaklah adegan ini : kepala asli seorang yang baru saja dipenggal, penuh darah, matanya masih berkedip-kedip, dipertontonkan di kue ulang tahun di atas meja, di tengah pesta berkostum hantu dan pengunjung bertopeng dengan musik yang hingar bingar. Itulah salah satu adegan yang rada “aneh” mengarah ke surealis, yang terdapat dalam film “Puisi Cinta yang Membunuh” karya terbaru Sutradara Garin Nugroho yang mulai ditayangkan di OTT 5 Mei ini.
Bagi sutradara film yang kreatif, bentangan layar putih bukanlah sekedar tempat menyajikan adegan jalinan alur kisah di sebuah film. Layar juga sebuah kanvas besar tempat ekspresi lukisan bergerak. Komposisi dan warna menjadi bagian penting dari setiap gambar yang muncul. Oleh lantaran itu, komposisi gambar bergerak sesuatu yang esensial yang harus dipadukan dengan unsur lainnya seperti bunyi, musik, akting, dan sebagainya. Dengan begitu, dalam adegan sebuah film, ada citra gerak yang sesungguhnya.
Dalam film “Puisi Cinta yang Membunuh “ sutradara Garin Nugroho sangat percaya terhadap hal itu. Adegan pada film itu tidak cuma sekedar menghadirkan jalinan kisah saja. Adegan dalam “Puisi Cinta yang Membunuh” merupakan mosaik lukisan bergerak. Dia sangat memperhatikan komposisi ruang dan waktu serta terutama tafsir fenomena dalam kehidupan.
Keindahan Bawah Sadar
Manusia memandang kehidupan dan penghidupan melalui sesuatu yang kasat mata, tetapi menghadapi dan menafsirkannya dengan alam bawah sadar. Pengalaman-pengalaman traumatis terbawa sampai akhir hayat. Sedangkan nilai-nilai mistis yang melingkupi manusia itu bakal membingkai cara manusianya menghadapinya. Kombinasi antara bawah sadar yang purba dengan gabungan mistis, membuat persepsi manusia terhadap kehidupan tak lagi melulu menilai penghidupan dan kehidupan dengan cara pandang realis, melainkan sudah dari sudut pandang jauh menukik dari relitas, yakni telah dengan sudut pandang surealis. Termasuk di film ini.
Adegan dalam pesta ulang tahun yang membaurkan antara bawah sadar, imajinasi, dan realitas. Itulah surealisme.
Kepala asli yang sudah terpenggal dihadirkan dalam sajian kue ulang tahun, yang dianggap sebagai hal biasa saja, dan bahkan menjadi sesuatu yang menarik. Iringan musik yang hingar bingar menambah asosiatif multitafsir terhadap hal itu.
Perubahan perilaku dari seorang gadis lembut yang diliputi rasa ketakutan menjadi gadis yang penuh dendam dan sadis, dari seorang pelaku menjadi seorang korban merupakan metafora peranan dan kedudukan dalam dunia yang sekejap dapat berubah drastis. Proses itu sendiri sudah merupakan puisi gelap, abstrak yang riil setiap saat kita hadapi.
Latar Belakang Kisah
Drama keluarga Ranum terpilih dalam intrik, situasi puitik, romantis, dan seketika berubah penuh teror. Film ini berkisah ihwal Ranum (Mawar Eva De Jongh), perempuan cantik yang mudah terpikat dengan kalimat manis dan indah dari puisi. Dia lantas jatuh cinta kepada Hayat (Baskara Mahendra).
Awalnya semua berjalan lancar dan manis, tapi kemudian menjadi berantakan. Dalam suatu acara lomba masak Ranum digoda, dibully, dan diancam oleh Rendy ( Morgan Oey). Tapi setelah itu tiba-tiba Rendy ada yang bunuh. Dia ditusuk dengan pisau di dapur.
Tak sampai situ. Kematian Rendy tentu membuat Ranum menjadi trauma. Sementara Ranum semakin mendapat teror, fisik dan psikis. Bahkan Ranum juga mendapatkan kekerasan fisik, tatkala diserang oleh seseorang secara misterius.
Bahasa Keindahan
Untuk sutradara Garin Nugroho, film adalah bahasa keindahan. Bauran unsur-unsur film merupakan kesepadanan buat menghasilkan komposisi dan struktur gambar hidup yang indah. Betapapun hebatnya suatu gagasan atau pesan sebuah film, jika tidak disuguhkan melalui keindahan, maka bakal kehilangan nilai filmisnya, bahkan pesan itu dapat berubah menjadi “propaganda yang agak kasar.”
Pernyataan itu memang tak diungkapkan langsung dengan lugas oleh Garin, tapi dapat disimpulkan dari untaian film-film karya sutradara ini , dan kembali diperkuat dalam film Garin “Puisi Cinta yang Membunuh” bergenre horor thriller yang sebelumnya telah pula ditayangkan di bioskop.
Kejahatan sekalipun, dapat didekati dengan keindahan. Nilai puitik dalam sebuah puisi dapat menjadi aura seni yang membunuh
Kendati begitu, perlu digaris bawahi, keindahan film Garin, harus dikaitkan dengan “kredo” Garin mengenai seni, khusus nya film. Sutradara lulusan fakultas hukum UI tak membatasi film sebagai keindahan “salon” atau “keindahan menara gading” yang tidak dapat terkait dengan kepentingan publik, tapi keindahan yang merujuk ke berbagai seni kehidupan lainnya.
Dengarkan kata Garin, “Seni adalah hak sipil. Hak asasi layaknya hal atas pengetahuan dan teknologi yang membawa peradaban. Seni membawa nilai penting demokrasi: tafsir dan kebebasan individu. Ia membawa berbagai peradaban yang sering tak bisa dilakukan ekonomi dan politik yang sering kali menjadi panglima.”
Dari pernyataannya itu, Garin ingin menegaskan, walaupun dia menempatkan keindahan film sebagai “mahkota” film, namun keindahan dalam film bukanlah semata-mata “keindahan” yang tidak terkait dengan kehidupan dan penghidupan sehari-hari. Keindahan itu harus otonom. Keindahan yang berasal dari nurani masing-masing sutradara yang memiliki kekhasan. Dengan kata lain, keindahan-keindahan dalam film Garin bukanlah keindahan yang sudah dimamah biak oleh sineas-sineas lain sebelumnya.
Setidaknya itu pula yang ingin ditampilkan Garin dalam film “Puisi Cinta yang Membunuh” yang inspirasinya bersumber dari salah bab buku kumpulan puisi karya Garin berjudul “Ada Hawa dan Durian”(Penerbit Gramedia).
Kental Unsur Surealisme
Dari cara Garin menampilkan “Puisi yang Membunuh” mendedah perdebatan: apakah benar film ini dapat kita masukan dalam klaster film surealis?Dalam dunia seni, terutama seni rupa, aliran surealis yang membaurkan antara imajani, citra dengan kenyataan atau realis. Gambar bakal lebih menonjol dengan adanya aspek tradisi atau mitos, alam bawah, sadar (mimpi dan lainnya), dan juga metamorfosis.
Dalam dunia seni aliran yang satu ini adalah aliran seni yang menampilkan gambar objek yang nyata dalam kondisi yang tidak mungkin atau sulit terjadi di dunia nyata. Sehingga aliran surealisme memiliki citra seperti dalam keadaan mimpi.
Gambar menunjukan adanya sesuatu yang terpendam. Kemungkinan, sesuatu yang dipendam itu bisa terjadi karena tidak percaya diri, malu, sampai ditakuti karena adanya trauma tertentu. Hal tersebut juga bisa sesederhana sebuah mimpi di masa kecil seseorang yang terus memudar karena harus menghadapi realitas yang lebih logis saat mereka dewasa.
Dalam film, adegan merupakan sebuah cerita tersendiri yang menyambung dengan rangkaian cerita yang dapat secara eksplisit, implisit atau bahkan kesan saja. Bahkan gambar dalam adegan pun otonom. Masing-masing bidang seakan berdiri sendiri. Komposisi bidang dan warna dalam gambar menjadi penting seperti lukisan. Adegan dan gambar dalam film banyak menyiratkan hal tersebut.
Jika melihat dari filosofis Garin tentang kebudayaan pada umumnya dan film pada khususnya, film “Puisi Cinta yang Membunuh” dapat dipastikan memang terkait dengan unsur bawah sadar dan mistis dalam dunia terlihat dan tak terlihat. Itu artinya dalam film “Puisi Cinta yang Membunuh” memang ada unsur surealismenya yang kental. Tetapi apakah memang sudah masuk kategori film “full surealis” masih menjadi perdebatan.
Ada beberapa unsur surealis yang belum selalu muncul dalam film ini. Perbedaan antara kenyataan dan fakta masih dapat ditelusuri dengan mudah, terutama pada bagian akhir.
Trauma Kekerasan
Selain itu kita pun dapat memperdebatkan, kenapa “Puisi Cinta yang Membunuh” dipenuhi darah. Dalam hal ini apa tafsir umum banyak darah? Misalnya secara khusus darah di berbagai adegan, seperti di kaca mobil depan yang tertutup darah?
Garin nampaknya ingin menunjukkan kepada kita, kekerasan ekstrim selalu bergelimang darah. Negeri ini sudah sejak awal dipenuhi dengan darah. Lewat film ini Garin menegaskan, menjadi ciri negeri ini melahirkan trauma bagi setiap manusia.
Contohnya kontroversial seperti kasus besar tragedi PKI. Terlepas dari pro kontra politik, saat zaman itu ada sekitar dua juta orang Indonesia ditahan tanpa pernah diadili , dan sekitar 500 ribu diantaranya tewas. Dalam peradaban modern bangsa kita, inilah jumlah kematian dengan kekerasan terbesar. Lantas sebagian anak bangsa ini mengalami trauma kekerasan.
Maka bagi Garin diperlukan proses trauma healing. Pelepasan trauma. Dalam film ini Garin menggarisbawahi setiap manusia yang bisa lepas trauma akan lahir baru, seperti psikolog yang trauma kekerasan ibu dan darah waktu kecil dan akhirnya berani membersihkan darah dengan wiper mobil.
Lewat ekspresi film seperti ini, Garin ingin memberikan tekanan kekerasan yang melahirkan trauma menjadi rahim berbagai tindak kekejaman dan energi negatif manusia yang bisa menjadi perilaku iblis. Pesta dengan hiruk pikuk musik dan cuplikan hasrat libido di tengah kepala terpenggal yang masih berdarah merupakan salah satu adegan bukti pendukung sikap Garin. Lihatlah, di tengah hingar bingar musik yang dan para tokoh film dengan bertopeng-topeng, terjadilah pembunuhan itu. Apa hubungan antara tipikal musik, tokoh yang bertopeng dengan pembunuhan nya?
Trauma kekerasan juga sudah diperlihatkan ketika tokoh utama waktu kecil duduk dekat closet dan menjeduk-jedukan kepadanya sambil berulang-ulang mengatakan “berdoa, berdoa.”
Bukan Horor Biasa
Rupanya film ini mencoba menghindari tindakan dalam horor umumnya. Ini bukan genre horor biasa. Tidak ada hantu buruk. Tidak ada kyai dan doa. Tidak ada tempat apartemen yang seram. Dalam hal ini musik dan puisi : semua adalah bagian gaya hidup.
Garin ingin membuktikan horor bisa dikembangkan dari berbagai ruang. Dracula berdasi dan di castel atau di kuburan dan tempat terasing. Namun jangan lupa juga, dapat muncul dari gaya hidup seperti musik dan kekerasan sebagaimana disuguhkan Garin dalam film ini.
Penyajian kepala asli yang terpenggal sebagai kue hadiah ulang tahun dalam sebuah pesta dan kemudian bahkan dicium bibirnya, merupakan salah satu bagian yang menarik dari film ini. Kira-kira narasi dan makna apa yang ingin Garin sampaikan? Lantas dari aspek sinematografis, kenapa dia menyusun dan menyuguhkan frame semacam itu?
Nampaknya Garin berkeyakinan dunia film bakal berkembang jika unsur genre juga dikembangkan. Disinilah dia bereksperimen mengembangkan unsur- unsur yang langka di genre horor Indonesia.
Simbol Tangan
Garin juga tetap memakai bahasa simbol dalam film ini. Dia memilih simbol jari tangan (putih) untuk mewakili adanya tokoh kembar dalam pelbagai adegan. Apa yang ada di balik pemikiran Garin ihwal ini?
Memang bayangan jari sesungguhnya sangat sederhana. Dalam film-film eksperimental Jerman tahun 40 an sampai 50 an, sudah dipakai simbol semacam itu. Boleh jadi Garin menempatkan tangan seperti itu lantaran dalam praktek tangan menjadi bagian penting dari tubuh. Tanganlah yang melakukan kerja keras, tetapi sekaligus tangan pulalah bagian tubuh manusia yang paling banyak melakukan kekerasan: membunuh dan sebagainya.
Garin tak mau mengambil resiko memakai simbol lain yang tidak akrab dengan penonton. Bahwa lantas simbol tangan itu membuat film menjadi kehilangan “kebaharuanya” dan sekaligus mengurangi “suspen, ” itu perkara lain yang konsekuensinya harus diterima dari karya ini.
Menarik juga menukil “tokoh kembar” yang semula imajianatif, mistis, tetapi dengan di terang jelaskan tiba-tiba menjadi sesuatu yang “konkrit” yang berubah dalam “pikiran nyata,” sehingga tidak terlampau menegangkan lagi. Wajarlah jika kita bertanya apa yang melatarbelakangi pilihan Garin semacam itu? Apakah ini merupakan bentuk “kompromistis “ dengan daya nalar masyarakat umumnya dalam mengapresiasi sebuah karya film?
Kita pun patut bertanya-tanya mengapa para tokoh datang dan pergi tanpa terlalu banyak planning information. Perceraian orang tua kembar cuma dijelaskan “karena kutukan,” tapi apa yang sebenarnya terjadi tak dijelaskan, termasuk kok tiba-tiba salah satu kembar diambil bapaknya. Selain itu, tak dijelaskan apa yang terjadi sehingga dia menjadi orang yang begitu “sadis.”
Kita hanya mengira-mengira, Garin mendalilkan semua yang terjadi dalam kondisi traumatik. Semua sengaja ditampilkan sekilasan, lantaran Garin berasumsi penonton dapat membaca sendiri dampak dari trauma kekerasan. Garin dalam hal ini percaya, seperti membaca hidup yang penuh kekerasan ekstrim, kita harus membacanya sendiri latar belakangnya. Dari sana kita akan tahu kaitan tali temalinya.
Keindahan Tubuh yang Berdarah
Demikian pula banyaknya latar belakang dunia fashion lengkap dengan industrinya yang ditampilkan dalam film ini, melahirkan tanda tanya, apakah hal ini karena Garin menilai tubuh bagian yang kompleks dan bukan sekedar seonggok daging dengan jiwa?
Dalam hal ini Garin punya semacam konsep, fashion dan tubuh selalu berkait. Bagi Garin, tubuh juga mengaitkan keindahan namun juga tragedi berdarah. Disinilah kenapa industri fashion banyak ditampilkan diiring kekerasan, darah dan pembunuhan.
Garin juga memasukan adegan “percintaan” dua perempuan. Apakah hanya sekedar menghasilkan “rasa” sensual ? Kelihatannya tidak. Keindahan tubuh menarik siapa saja, dan pada pandangan Garin, dalam masyarakat yang absurd keindahan tubuh termasuk menarik sesama jenis. Semua itu dipandang Garin sebagai fenomena sosial di masyarakat.
Untuk “memahami,” apa lagi “menikmati” film “Puisi Cinta yang Membunuh” bukan soal mudah. Kita hanya mampu menangkap dan memberikan apresiasi “keindahannya” jika memiliki alat kelengkapan “bacaan” terhadap film ini. Jika tanpa referensi yang cukup, kemungkinan film ini menjadi film yang membingungkan, sebagaimana dikemukakan salah satu yang mengaku “pengamat” film yang menuding film ini cuma merusak genre film horor yang katanya sedang berkembang di Indonesia.
Garin tidak dapat dipahami oleh mereka yang cuma memiliki pemahaman sederhana tentang film. “Membaca” film Garin “Puisi Cinta yang Membunuh” membutuhkan pengetahuan lebih. Film Garin film khusus.*
WINA ARMADA SUKARDI, kritikus film.