Tema besar pameran adalah mengajak generasi muda mencintai dan menguasai kedirgantaraan.
Oleh: Chappy Hakim
Pameran buku kedirgantaraan sebagai panggilan untuk menyiapkan generasi insan dirgantara di abad antariksa.
Ceknricek.com–Langit Indonesia bukan sekadar pemandangan biru di atas kepala. Ia adalah wilayah kedaulatan, jalur strategis, dan ruang hidup masa depan. Pameran Buku Kedirgantaraan di Perpustakaan Nasional menjadi undangan terbuka bagi generasi muda untuk mencintai, memahami, dan menguasai langit.
Langit Indonesia selalu biru di mata mereka yang percaya pada masa depan, tetapi juga menyimpan tanda tanya bagi yang memahami bahwa langit adalah wilayah kedaulatan. Di sanalah berdenyut jalur kehidupan modern, dari lalu lintas penerbangan sipil hingga manuver pertahanan strategis.
Namun, di tengah riuh politik dan ekonomi, pembicaraan tentang langit sering tenggelam, seolah hanya milik pilot dan teknokrat. Padahal, udara dan antariksa adalah masa depan umat manusia. Jika kita ingin berdiri sejajar dengan bangsa besar, kita harus memandang langit sebagai ruang hidup yang mesti dipahami, dicintai, dan dikuasai.
Kesadaran inilah yang menjadi latar Pameran Buku Kedirgantaraan Chappy Hakim di Perpustakaan Nasional RI, 11–12 Agustus 2025, bagian dari perayaan HUT ke-80 Republik Indonesia.
Bagi saya, pameran ini bukan sekadar menata deretan buku di rak. Ia adalah cara menyampaikan pesan strategis kepada generasi muda: literasi dan kedirgantaraan harus berjalan seiring jika kita ingin menjadi bangsa yang berdaulat di langit.
Sejak pertama kali menulis di Kompas pada 22 Juni 1988, saya meyakini bahwa pena dapat menembus batas ruang dan waktu. Tulisan adalah wahana pendidikan, penyebaran gagasan, dan pembentuk opini publik. Puluhan buku yang saya tulis banyak mengangkat tema kedirgantaraan, pertahanan negara, strategi air power, hingga isu kebangsaan terkait ruang udara.
Mengapa fokus pada langit? Karena literasi udara di Indonesia masih tertinggal dibanding literasi darat dan laut. Padahal udara bukan sekadar jalur penerbangan sipil atau urusan teknis. Udara adalah ruang kedaulatan, jalur logistik vital, arena diplomasi, bahkan medan perang modern. Diskusi publik soal kedirgantaraan biasanya hanya muncul saat ada kecelakaan pesawat atau sengketa wilayah udara, jarang menyentuh visi jangka panjang tentang pengelolaan ruang udara nasional.
Pameran di Perpusnas ini menampilkan sekitar 50 buku saya yang mencakup strategi pertahanan udara, sejarah penerbangan nasional, kepemimpinan, hingga humaniora.
Menariknya, juga ada karya istri, anak, dan menantu saya—sebuah perayaan literasi keluarga yang jarang terjadi. Kuratornya, Dr. Nasir Tamara, menyusun pameran agar pengunjung dapat mengikuti perjalanan pemikiran saya dari karya pertama hingga terbaru.
Bagi saya, menulis dan membaca adalah perlawanan terhadap lupa. Di tengah arus informasi cepat dan dangkal, buku menjadi jangkar yang menjaga kedalaman berpikir. Pameran ini menjadi ruang dialog antara penulis dan pembaca, antara generasi lama dan baru.
Tema besar pameran adalah mengajak generasi muda mencintai dan menguasai kedirgantaraan. Seluruh sistem logistik modern, perdagangan internasional, pariwisata, dan keamanan pangan bergantung pada mobilitas udara. Perkembangan drone, satelit, dan kendaraan antariksa akan mengubah hidup kita dalam dekade mendatang.
Pertanyaannya: apakah Indonesia akan menjadi pemain atau penonton? Jawabannya tergantung bagaimana kita menyiapkan generasi sekarang. Literasi kedirgantaraan bukan hanya soal pesawat atau roket, tetapi juga strategi nasional, etika teknologi, dan diplomasi udara.
Pemilihan Perpusnas sebagai lokasi pameran sangat tepat. Perpustakaan adalah simbol pengetahuan yang terbuka untuk semua. Saya mengapresiasi Kepala Perpusnas, Prof. Dr. Aminuddin, yang mendukung ide ini. Pameran dibuka oleh Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof. Atip Latipulhayat, menegaskan bahwa literasi kedirgantaraan harus menjadi bagian dari ekosistem pendidikan nasional.
Selain buku, ada sesi bincang-bincang dan tanya jawab dengan saya. Diskusi langsung seperti ini bisa memicu rasa ingin tahu dan melahirkan ide baru. Masa depan Indonesia tidak akan ditentukan oleh banyaknya sumber daya alam, melainkan oleh kecepatan mengubah pengetahuan menjadi kekuatan strategis—dan di abad ini, penguasaan teknologi udara dan antariksa adalah kuncinya.
Bagi saya, pameran ini adalah refleksi perjalanan. Puluhan tahun mengabdi di penerbangan dan pertahanan membuat saya memahami betapa vitalnya udara bagi kedaulatan negara. Melalui buku-buku ini, saya ingin meninggalkan jejak pemikiran yang bisa dipelajari dan diteruskan generasi mendatang.
Ketika kita merayakan 80 tahun kemerdekaan, ingatlah bahwa kemerdekaan sejati adalah kemampuan menentukan nasib di semua domain: darat, laut, udara, dan antariksa. Untuk itu, kita harus menguasai langit, sebagaimana nenek moyang kita menguasai samudra. Buku adalah sayap pengetahuan—dan dengan sayap itulah, kita bisa terbang menuju masa depan.
Jakarta 10 Agustus 2025