Narasi menkes dihadapan yang mulia para Hakim MK, semuanya manipulatif, secara diametral bertolak belakang dengan bukti-bukti yang ada, mencampur-adukkan antara fakta dan kebohongan.
(bagian pertama dari dua tulisan)
Ceknricek.com–Dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materil UU 17/2023, baru-baru ini, menkes mencoba menjawab beberapa pertanyaan yang mulia Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra. Jawaban menkes ini patut kita telaah satu persatu, karena banyak narasi tidak sesuai dengan fakta yang ada, yang dilandasi kesimpulan asumtif tanpa bukti empiris yang bisa dijelaskan, bahkan banyak narasi yang patut diduga penuh dengan kebohongan.
Negara maju tidak bisa dilihat hanya dari penghasilan lebih 15 juta per bulan
Saat menjelaskan tentang cita-cita Indonesia menjadi negara maju (Indonesia Emas), menkes menyampaikan definisi negara maju hanya didasarkan atas kriteria pendapatan sebesar USD 14.800 pertahun atau sekitar Rp. 15 juta/ bulan. Padahal kita bisa berdebat panjang lebar terkait kriteria ini. Narasi yang dibangun menkes menempatkan kesehatan sebagai ‘alat’ untuk meningkatkan pendapatan, yang menurut Comission on Macroeconomic and Health (WHO 2001, Macroeconomics and Health: Investing in Health for Economic Development), hal ini bisa berbahaya karena akan mengarah pada komersialisasi layanan publik, dan mengabaikan hak-hak kesehatan rakyat miskin.
Kesehatan adalah hak konstitusional seluruh anak bangsa, bukan sekedar modal/ alat pertumbuhan ekonomi. Jika kesehatan diposisikan sebagai instrument untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, maka negara cenderung mengabaikan aspek keadilan sosial dan kesetaraan terkait akses terhadap layanan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau. Fakta fakta di bawah menjadi bukti bahwa paradigma layanan kesehatan di RS rujukan kemenkes yang telah bertransformasi dari kesejahteraan rakyat menjadi upaya bisnis mencari untung, dengan orang sakit sebagai komoditasnya.
Pemberian penghargaan pada RS Kemenkes (RSK) dengan penghasilan 1T, dan 12 RSK yang bisa meningkatkan revenue 20% year on year, merupakan fakta yang tak terbantahkan. SE Dirut RS Kariadi No. HK.02.03/D.X/9719/2024 yang membatasi layanan kamar bedah untuk pasien JKN/BPJS hanya pada hari kerja (Senin-Jum’at) dan jam kerja saja, sedangkan untuk pasien umum (layanan berbayar) bisa dilayani 7x 24 jam, termasuk pada hari libur adalah fakta yang mengenaskan. Padahal data antrean pasien yang menunggu panggilan rawat inap (di RS Kariadi) untuk tindak lanjut/ operasi penyakitnya per Desember 2004 mencapai 2278 orang, dan hanya 50 orang saja yang pasien umum (Bayar sendiri, KAI, Telkom, Swasta).
Artinya lebih dari 99,98% yang menunggu antrean layanan adalah pasien JKN/BPJS, dan lebih dari separohnya adalah pasien BPJS klas 3. Demi mengejar revenue, SE Dirut tsb. secara otomatis memperpanjang/ memperlama antrean alias mempersulit akses layanan bagi orang miskin, yang mesti antre 12-15 bulan sebelum mendapatkan haknya untuk di rawat inap, dan sebagian bahkan telah lebih dahulu dipanggil Yang Maha Kuasa sebelum dipanggil oleh RSK. Hal ini semakin membenarkan adagium “Orang Miskin Dilarang Sakit’, dari sudut pandang moral dan etika profesi, ini adalah satu bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan.
Konsep pembangunan manusia tidak boleh hanya terpusat pada aspek ekonomi saja, tapi harus meningkatkan manusia secara keseluruhan, termasuk aspek kapabilitas dan pemanfaatan kemampuan tersebut secara optimal. Oleh karena itu Badan PBB untuk Pembangunan Manusia (UNDP) menganjurkan penggunaan Kriteria Human Development Index atau Index Pembangunan Manusia (IPM) yang berfokus pada 3 variabel utama yaitu ekonomi, kesehatan, dan pendidikan. Keberhasilan pembangunan tidak hanya dinilai dari besarnya pendapatan (PDB), tapi juga seberapa berhasil mereka membangun SDM yang dicerminkan melalui IPM.
Penilaian IPM ini berdasarkan 3 tujuan akhir Pembangunan, yaitu: 1. Angka harapan hidup; 2. Pengetahuan, dilihat dari kemampuan baca tulis dan rata-rata tahun bersekolah; dan 3. Standar kehidupan, yang diukur dengan pendapatan riil perkapita yang disesuaikan dengan paritas daya beli. UNDP menerbitkan angka IPM semua negara secara berkala dari skala 0 (terendah) sampai 1 (tertinggi). IPM dibagi jadi 4 kategori yaitu Very High (1-47), High (48-94), Medium (95-141), dan Low (142-187). HDI Report 2023/2024 yang dirilis UNDP Maret 2025 IPM Indonesia ada di urutan 112 dunia, di bawah Palestina, Aftrika Selatan, Lebanon, Mesir, dan Vietnam. Di Skala Asia, Indonesia urutan ke 18, sedangkan di ASEAN, Indonesia urutan ke 6, dibawah Vietnam, Thailand, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Singapura, di bawah Indonesia hanya Filipina (https://id.wikipedia.org dan https://katalog.data.go.id dan https://berkas.dpr.go.id).
Tugas konstitusi kemenkes dalam memenuhi hak-hak kesehatan rakyat ini tidak bersyarat pada pendapatan perkapita, tugas ini mesti dipenuhi tanpa menunggu Indonesia menjadi negara maju. Sebagai pejabat publik yang paling bertanggung-jawab dalam memenuhi hak-hak kesehatan rakyat banyak, menkes tidak boleh dan tidak mungkin berjalan sendiri dengan menegasikan peran dari para ‘stake holder’ lainnya, khususnya kalangan akademisi dan profesional medis. Bahkan yang terjadi bukannya dialog melainkan monolog, kolaborasi semu alias pura-pura yang dibalut framing buruk terhadap semua ‘stake holder’ yang berbeda pendapat. Monolog menkes ini menjadi semakin kocak tatkala semua perubahan yang dinarasikan tidak satupun berbasis kajian ilmiah, melainkan kesimpulan-kesimpulan asumtif belaka, ha ha ha.
Terkait Upaya Preventif dan Kuratif, Narasi menkes memutar-balikkan Fakta
Menkes mengatakan bahwa saat dia masuk ke kemenkes, 80% program adalah Kuratif (mengobati orang sakit), tapi saat ini dia bisa membalikkan menjadi 80% preventif (mencegah orang jangan sakit). Mari kita telaah dengan contoh penyakit jantung yang narasinya terus menerus diulang-ulang oleh menkes. Menkes mengatakan bahwa ada 250 ribu orang Indonesia mati tiap tahun kena serangan jantung, untuk mengatasinya harus dilakukan pasang Ring Jantung dalam waktu kurang dari 4 jam, jadi perlu alat Cath Lab di RSUD Kabupaten/ Kota yang jumlahnya ada 514.
Untuk itulah dibuat program pengadaan Cath Lab dalam jumlah besar, dengan nilai pengadaan antara 15-25 M setiap unitnya. Jadi ini adalah anggaran yang amat besar untuk sebuah program kuratip di RS Rujukan, tanpa dilandasi studi epidemiologis terkait pola penyakit di wilayah itu, serta tanpa ada kolaborasi dengan dokter spesialis terkait. Ujung-ujungnya program ini banyak mengalami kendala terkait SDM (dokter spesialis, perawat, ahli fisika radiasi), Infrastruktur keamanan radiasi, syarat perijinan Bapeten, dan Kerjasama dengan BPJS), sehingga berakibat banyaknya alat yang mangkrak.
Terkait dengan penyakit jantung ini, ada kontra narasi dari Perhimpunan Dokter Spesialis penyakit dalam (PAPDI), bahwa untuk 9,4 juta kasus jantung setiap tahun, tersedia 169.000 dokter umum, 5380 spesialis Penyakit Dalam, dan 1500 dokter spesialis dan subspesialis Jantung yang memiliki kompetensi penuh menangani penyakit jantung sesuai tingkatannya. Pengelolaan penyakit jantung haruslah dimulai dari pengelolaan Hipertensi dan Diabetes di Faskes Primer, bahkan pola hidup sehat bisa diajarkan oleh Kader PKK dan nakes lain.
Narasi lain yang bisa jadi pedoman adalah data dari American Heart Association (AHA), tahun 2022, sebagai berikut: Angka kematian akibat jantung di dunia: 240.000/100 juta populasi, jadi angka di Indonesia 250.000/280 juta populasi adalah kurang dari separoh angka dunia. Serangan Jantung itu 25% ringan, 50% sedang, 25% berat. Hanya yang berat saja yang perlu intervensi Pasang Ring di Fasilitas Cath Lab. Untuk yang sedang-berat, bila Cath Lab tidak tersedia, bisa distabilisasi lebih dulu dengan pemberian Obat Fibrinolitik, dan dipertahankan sampai 24 jam sebelum dirujuk ke fasilitas Cath Lab.
Penjelasan dari AHA ini menunjukkan bahwa tidak setiap kasus serangan jantung perlu Cath Lab, dan waktu tunggunya bukan 4 jam, bahkan bisa sampai 24 jam. Artinya Ketersediaan alat Cath Lab tidak harus di setiap RSUD kabupaten kota, tapi memperhatikan jarak transportasi dan situasi geografi yang berbeda-beda untuk wilayah yang berbeda. Tampak jelas bahwa narasi menkes amat manipulatif, hanya berdasarkan asumsi, guna menaikkan jumlah alat yang mesti dibeli.
APBN Kemenkes tahun 2023 mencapai 85,5 T (47,8%) dari total 178,7 T anggaran kesehatan Dari jumlah ini, 5,9 T (7%) untuk transformasi Layanan Primer, dan 18,4 T (21,5%) untuk transformasi Layanan Rujukan (https://sehatnegeriku.kemkes.go.id). Bagaimana dengan pinjamam Bank Dunia senilai USD 3,9 Milyar, yang rencananya akan digunakan untuk melengkapi alat kesehatan RS di 38 propinsi. “Ini merupakan upaya memperkuat layanan dan fasilitas kesehatan RSUD untuk penyakit kanker, jantung, dan ginjal”, kata menkes di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, hari Selasa 7/11/2023 (https://www.rri.co.id/pusat-pemberitaan/kesehatan/434452/kemenkes-terima-pinjaman-rp61-trilliun-dari-bank-dunia).
Contoh lain tentang layanan preventip yang dengan sengaja disalah artikan dan dimanipulasi adalah terkait penanganan kanker. “Salah satu masalah terbesar penanganan kanker di Indonesia adalah skrining kanker yang masih tergolong rendah, sehingga banyak pasien yang diketahui mengidap kanker setelah stadium lanjut”. Pernyataan ini 100% benar dan tidak salah. Yang tidak nyambung adalah ketika menkes tiba-tiba loncat membicarakan ketersediaan alat PET (Positron Emission Tomography) scan sebagai alat deteksi kanker yang hanya ada 3 dan semuanya di Jakarta. Kelanjutan dari pembicaraan ini sudah bisa ditebak, yaitu program beli alat super mahal yaitu 21 Unit PET scan di Indonesia (https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-7171798/menkes-curhat-sengkarut-polemik-pasien-kanker-di-ri-antreannya-bisa-3-bulan ).
Bicara tentang skrining dan deteksi dini kanker, tentu harus dimulai dari edukasi masyarakat dan peran dari Puskesmas serta RS Daerah. Misalnya, terkait kanker Payudara ada pemeriksaan payudara sendiri (SADARI), untuk kanker Leher Rahim ada test IVA dan Papsmir, dan untuk kanker usus besar (Colorectal), pemeriksaan adanya darah samar pada feses (kotoran manusia) bagi usia di atas 40 tahun, yang ditindak lanjuti dengan pemeriksaan ‘meneropong bagian dalam usus besar’ (endoskopy atau colonoscopy) di faskes rujukan sekunder.
PET Scan (yang nilai unitnya 100-200M) ini tempatnya di Faskes Rujukan Tersier atau di RS Kemenkes, dan jelas bukan untuk deteksi dini tapi lebih pada menilai perluasan dari kanker nya (staging dan grading), yaitu mendeteksi penyebaran sel kanker untuk penentuan stadium dan bentuk terapi lanjut yang dibutuhkan. Saat ini, pemeriksaan PET scan berbiaya minimal 15 juta rupiah dan tidak ditanggung oleh BPJS, jadi jelas sekali alat ini bukan buat skrining, betapa konyolnya.
Pengadaan alat-alat kesehatan canggih ini tidak didasarkan atas pertimbangan epidemiologis dan kebutuhan lokal, dan tanpa pernah dibahas bersama organisasi profesi terkait. (PAPDI dan PERKI untuk Penyakit Jantung, POGI dan IROS untuk kanker Leher Rahim, atau PERABOI, PERHOMPEDIN, dan IROS untuk kanker Payudara dan lainny). Semua ini selain semakin membebani layanan kuratif di RS dan secara langsung berakibat makin tertinggalnya layanan promotif dan preventif.
Bukti-bukti di atas memperlihatkan bahwa narasi menkes dihadapan yang mulia para Hakim MK, semuanya manipulatif, secara diametral bertolak belakang dengan bukti-bukti yang ada, mencampur-adukkan antara fakta dan kebohongan, dan (meminjam istilah Yang Mulia Hakim Saldi Isra) semuanya berlandaskan ‘Kesimpulan Asumtif’ belaka.
#Zainal Muttaqin, Pengampu Pendidikan Spesialis, Guru Besar Universitas Diponegoro