Memperingati hari kemerdekaan berarti harus bisa menangkap apinya (semangat), bahwa perjuangan kemerdekaan ialah perjuangan meninggikan martabat dan kapabilitas bangsa, dengan kesetaraan di depan hukum tanpa diskriminasi antara warga negara Indonesia.
Oleh : Abustan
Ceknricek.com–Memperingati hari kemerdekaan di tengah kehidupan masyarakat yang masih “jungkir balik” dengan penegakan hukum yang ada, dengan aneka krisis ikutannya, menyuguhkan isyarat kesadaran bahwa kemerdekaan untuk hidup setara di depan hukum dari penjajahan bukanlah akhir dari perjuangan pembebasan.
Namun, penjajahan sendiri mempunyai banyak nyawa yang bisa “reinkarnasi” dalam bentuk yang beragam. Lebih dari itu, tetapi kebebasan dalam operasionalnya (pelaksanaan) tak bisa diraih hanya dengan melawan musuh dan ancaman dari luar. Akan tetapi, juga dengan kesungguhan dan komitmen penegak hukumnya dan kemauan politik penguasa yang ada.
Maka dari itulah, pidato pembukaan Konferensi Asia-Afrika (18 April 1955). Bung Karno mengingatkan : “Dan saya minta kepada Tuan-Tuan, janganlah hendaknya melihat kolonialisme dalam bentuk klasiknya saja, seperti yang kita di Indonesia dan saudara-saudara kita di berbagai wilayah Asia-Afrika juga mengenalnya.
Sebab, kolonialisme mempunyai juga baju moderen, dalam bentuk penguasaan ekonomi, penguasaan intelektual, penguasaan materiil yang nyata, dilakukan juga oleh sekumpulan kecil orang-orang asing yang tinggal di tengah-tengah rakyat. Di mana dan bagaimanapun ia muncul, kolonialisme adalah hal yang jahat, yang harus dilenyapkan di muka bumi.”
Kesenjangan kehidupan rakyat
Kini, kita menyonsong hari kemerdekaan yang ke 80 tahun dengan berbagai tantangan yang harus dihadapi. Itulah sebabnya, kesenjangan dan berbagai kerentanan kehidupan berbangsa masih saja terjadi di sana-sini. Karena itu, peringatan Bung Karno masih saja relevan untuk realitas kehidupan bernegara. Seperti manipulasi sumber daya alam (SDA) merupakan atau menjadi imperialisme baru setelah 80 tahun, kita merdeka.
Hal itu, direspon ketika kita mendengar pidato Prabowo di sidang tahunan MPR, 15 Agustus 2025. Presiden RI dengan jujur dan jernih mengungkapkan keheranannya: “Indonesia negara produsen kelapa sawit terbesar di dunia. Tapi justru pernah mengalami kelangkaan minyak goreng” kata presiden di atas podium.
Lebih lanjut, presiden dengan tegas menyebut praktek distorsi dan monopoli kekayaan negara hanya dikuasai/dinikmati oleh segelintir kelompok usaha adalah sebagai suatu pelanggaran konstitusi atas amanat Pasal 33 Ayat (1),(2),(3), dan (4) tentang keadilan ekonomi bagi seluruh rakyat.
Bahkan, secara detail ingin menekankan perlunya negara harus hadir memastikan pengelolaan kekayaan alam secara konsisten seperti kelapa sawit, tambang, timah, dan nikel. Atas dasar itu, keberadaan kekayaan sumber daya alam memberikan kemaslahatan / kesejahteraan kepada rakyat. Inilah komitmen presiden untuk menyelamatkan kekayaan negara.
Fakta itu harus diwujudkankan, dengan mengurai sengkarut minyak goreng haruslah diletakkan dalam konteks menjaga ketahanan pangan. Minyak goreng sawit sumber lemak, energi, yang harus terjangkau dari sisi harga dan ketersediaan bagi rakyat, terutama kelompok rentan, karena Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar dunia.
Mendorong semangat rakyat
Dengan semangat 80 tahun kemerdekann ini diharapkan pemerintahan presiden ke-8, lebih mendorong patriotisme rakyat yaitu semangat membangun dan memberdayakan, sehingga peluang untuk mengembangkan kualitas hidup lebih baik dapat tercapai.
Pada hakekatnya, harapan hidup lebih baik, seperti ungkapan Albert Camus, “Freedom is nothing but a chance to be better.” Kemerdekaan (kebebasan) sejati itu harus dihayati sebagai peluang untuk mengembangkan kualitas hidup yang lebih baik.
Kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan rakyat telah menyingkap begitu banyak ketimpangan sosial sebagai ekspresi ketidakmerdekaan. Hasrat meraih kehidupan yang lebih baik terancam oleh ledakan kemiskinan. Dengan demikian, secara lebih hakiki kemiskinan itu mencerminkan wujud keterbatasan pilihan yang timbul karena rendahnya kualitas hidup. Sebagai contoh kurangnya ketersediaan sekolah, kesenjangan akses terhadap sarana dan prasarana tehnologi pendidikan. Dan fasilitas kesehatan, gizi buruk, keterbatasan obat-obatan, serta lapangan kerja dan seterusnya.
Oleh sebab itu, untuk mendorong semangat rakyat mengejar berbagai ketertinggalan dan keterbelakangan haruslah dihindari dari berbagai beban yang bisa “mencekik” kehidupan rakyat. Katakanlah kecenderungan akhir-akhir ini yang banyak mengeluarkan kebijakan kenaikan pajak (pemerintah daerah).
Tentu saja, kebijakan yang membebani rakyat ini, bisa menjadi pelajaran moral politik dari peristiwa Pati, tanggal 13 Agustus. Dalam konteks ini, kekuasaan menunjukkan karakter arogansinya dengan menantang kehendak rakyat. Khususnya melakukan pemerasan dengan menaikkan pajak 250 persen. Akibatnya rakyat marah / bergolak melawan pemerasan atas nama pajak.
Penyalagunaan kekuasaan ini, akhirnya menimbulkan ketidakpastian dan kekacauan (ketertiban), karena ketidakpastian terkait dengan rasa aman.
Sama halnya, rasa aman yang diperlukan dalam kehidupan dengan negara yang sebenarnya dipandang sebagai lembaga yang mempunyai kekuasaan, dan kekuasaan selalu mempunyai kecenderungan disalahgunakan, seperti bunyi adagium terkenal dari Lord Acton “power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”.
Maka, ada baiknya setiap perayaan hari kemerdekaan kita selalu ingat janji kemerdekaan. Janji tersebut termuat dalam Pembukaan UUD 1945, pemerintah negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Dua tujuan penting itu, yaitu kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, masih perlu terus digaungkan untuk mendorong semangat patriotisme rakyat. Agenda kesejahteraan umum berkaitan dengan isu kemiskinan dan pengangguran serta agenda mencerdasan kehidupan bangsa berkaitan dengan isu pendidikan. Karena itu, kedua isu tersebut masih terus aktual hingga hari ini saat kita sudah 80 tahun merdeka.
Memperingati hari kemerdekaan berarti harus bisa menangkap apinya (semangat), bahwa perjuangan kemerdekaan ialah perjuangan meninggikan martabat dan kapabilitas bangsa, dengan kesetaraan di depan hukum tanpa diskriminasi antara warga negara Indonesia.
Jakarta, 16 Agustus 2025
#Abustan, Pengajar Ilmu Hukum Universitas Islam Jakarta (UID)