Ki Ageng Suryomentaram dan Kemerdekaan Indonesia | Cek&Ricek wardah-colorink-your-day
Foto : akarasa.com

Ki Ageng Suryomentaram dan Kemerdekaan Indonesia

Ceknricek.com - Di kalangan masyarakat Jawa, Ki Ageng Suryomentaram adalah seorang filsuf dan tokoh spiritual terkenal. Ia pemikir kritis yang berangkat dari kearifan Jawa. Ia bahkan aktif menggerakkan pemuda untuk mendaftar menjadi pasukan sukarela Pembela Tanah Air (PETA) menuju kemerdekaan. 

Sumber : SINDONews

Masa hidupnya dihabiskan untuk mengenali perilaku manusia hingga meninggal pada tanggal hari ini, 18 Maret 1962, dalam usia 70 tahun. Ki Ageng tutup usia di rumahnya di Jln. Rotowijayan no. 22, Yogyakarta. Almarhum meninggalkan harta berharga berjudul Kawruh Jiwa.

Pangeran yang Mencopot Gelar

Lahir dengan nama kecil Bendara Raden Mas (BRM) Kudiarmaji pada hari Jumat Kliwon, 20 Mei 1892, Ki Ageng Suryomentaram adalah anak ke-55 dari 79 putra-putri Sri Sultan Hamengku Buwana VII, raja dari Kasultanan Yogyakarta. Ibunya seorang garwa ampean bernama Bendara Raden Ayu Retnomandaya, putri Patih Danureja VI atau Pangeran Cakraningrat.

Sumber : Suryomentaram-langgar.co

BRM Kudiarmaji kecil gemar belajar dan membaca buku-buku sejarah, filsafat, ilmu jiwa, dan agama. Ia mendapat bimbingan dari K.H. Achmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, dalam bidang agama Islam.  Selain menempuh pendidikan dalam lingkungan keraton ia juga mengambil kursus bahasa Belanda, Arab, dan Inggris atas saran ibunya. Ia juga mengikuti persiapan dan ujian sebagai Klein Ambtenaar, dan kemudian akhirnya magang bekerja di kantor gubernur selama 2 tahun.

Di usia 18 tahun, BRM Kudiarmaji diangkat menjadi pangeran dengan gelar Bendara Pangeran Harya Suryomentaram. Kedudukan itu membuat ia mendapat banyak fasilitas, seperti tempat tinggal, gaji bulanan, kendaraan, pengawalan, dan tanah. Namun, segala kesenangan dan  fasilitas yang ia terima belum membahagiakan dirinya. Suryomentaram disergap kegelisahan dalam hidupnya. Ia merasa lingkungan keraton dan kedudukannya sebagai pangeran membuat relasinya dengan manusia lain bersifat semu. 

Merasa tidak mengenal jati dirinya sendiri, ia meminta kepada sang ayah untuk menanggalkan gelar pangerannya. Namun permintaan itu ditolak. Akhirnya ia pun memutuskan pergi tanpa pamit. Setelah cukup lama pergi dan menikmati hidup sebagai orang biasa, ia dipanggil kembali ke istana oleh ayahnya karena khawatir dengan mengirim utusan untuk mencarinya. 

Ketika ia ditemukan, utusan ayahnya ragu melihat Suryomentaram dengan sosoknya yang kotor dan dekil. Ia juga mengaku bahwa namanya Natadangsa. Setelah terjadi percakapan, utusan tersebut akhirnya yakin dan mengajaknya pulang.  Ketika ditemukan, utusan tersebut melihat Suryomentaram sedang bekerja menggali sumur di daerah Kroya. Akhirnya, dengan berat hati atas perintah ayahnya tersebut  pulanglah ia  kembali ke keraton. Namun tidak lama setelah ayahnya meninggal tahun 1921, Suryomentaram kembali berniat meninggalkan keraton.

Pembentukan PETA

Sejak kehadiran Jepang, Suryomentaram menunjukkan simpati dan rasa terimakasih kepada Jepang yang menurutnya telah membebaskan rakyat Indonesia dari penindasan kolonialisme. Dia dan teman-temannya menyatakan siap menerima pelatihan dan berjuang bersama Jepang melalui apa yang dia sebut Jimat Perang.

 Ki Ageng bersama Sukarno Sumber : Kawruhjiwo.blogspot.com

“Dia diundang untuk berbicara melalui radio Jakarta dan diizinkan menggelar pertemuan untuk menyebarkan gagasan ini,” tulis Marcel Bonneff dalam Ki Ageng Suryomentaram, Javanese Prince and Philosopher (1892-1962) yang dimuat jurnal Archipel, No. 57, 1993.

Berkat intervensi Mr. Sudjono, dia bertemu dengan para pemimpin nasionalis yang dipercaya Jepang,  Soekarno, Mohammad Hatta, K.H. Mas Mansyur, dan Ki Hajar Dewantara  – lebih dikenal dengan sebutan Empat Serangkai. Dalam kesempatan ini, tulis Bonneff, dia berhasil meyakinkan Sukarno mengenai gagasan Jimat Perang. Namun Jepang masih skeptis mengenai pembentukan milisi bumiputera.

Akhirnya setelah mengalami penolakan dan membuat panitia manggala sembilan,  usulan-usulan yang masuk ke pemerintah Jepang pun mantap diterima dengan membentuk pasukan sukarela. Seminggu setelah keputusan pembentukan tentara sukarela pada 3 Oktober 1943, Suryomentaram berpidato melalui radio Yogyakarta. Dia juga giat berkeliling Jawa untuk menggerakkan pemuda agar turut dalam pasukan sukarela Pembela Tanah Air (Peta).  Kelak tentara sukarela Peta menjadi modal kekuatan untuk mempertahankan kemerdekaan dan menjadi bagian dari Tentara Nasional Indonesia.

Kawruh Jiwa alias ilmu Bahagia

Penampilan sehari-hari Ki Ageng Suryomentaram memang berbeda dari pangeran-pangeran yang lain. Ia sering mengenakan celana pendek dan menyelempangkan kain bermotif parang rusak barong. Pada masa itu, motif ini hanya dikenakan oleh para raja. Ki Ageng mengenakannya sebagai simbol perlawanan. 

Saat usia Suryomentaram menginjak 29 tahun dan ayahandanya meninggal, kakaknya dinobatkan sebagai raja dengan gelar Sultan Hamengkubuwana VIII. Di sinilah ia kembali mengajukan permohonan berhenti dari kedudukannya sebagai pangeran. Permohonan itu pun akhirnya dikabulkan.

Berbekal uang secukupnya, Suryomentaram meninggalkan keraton untuk selama-lamanya karena ia memang tidak pernah berniat kembali ke istana. Gelar pangeran pun benar-benar ditinggalkan, ia mengganti namanya menjadi Ki Ageng Suryomentaram.

Ia pun berjalan jauh menuju ke utara, dan membeli sebidang tanah di Desa Beringin, Salatiga. Di sana, ia hidup dengan bercocok tanam sebagai petani, bergaul dengan rakyat jelata, menjalani kehidupan sebagai orang biasa. Sejak saat itulah ia dikenal sebagai Ki Gede Suryomentaram atau Ki Gede Bringin.

Di desa ini ia juga mempelajari ilmu jiwa atau psikologi. Ia mencurahkan daya dan perhatiannya untuk menyelidiki alam kejiwaan manusia dengan menggunakan dirinya sebagai kelinci percobaan dan menulisnya dalam bentuk buku, demikian menurut J.B. Adimassana dalam Ki Ageng Suryomentaram tentang Citra Manusia (1986: 23).

Apa yang didalami Suryomentaram dengan penyelidikannyan dikenal dengan istilah kawruh jiwa atau kawruh begja (ilmu bahagia). Dalam falsafah tersebut ia pun tidak memaksudkan kebahagiaan sebagai keberlimpahan materi atau tingginya kedudukan seperti yang menjadi pandangan umum manusia Indonesia saat ini. 

Ki Ageng Suryomentaram memaksudkan kebahagiaan sebagai penemuan dan pemahaman yang mendalam akan diri sendiri. Kebahagian ini adalah kebahagiaan yang bebas, kebahagiaan yang tidak terikat tempat, waktu, dan keadaan.

Setelah sekian lama, banyak dari hasil pemikiran Ki Ageng Suryomentaram yang telah dibukukan, baik dalam bahasa Jawa maupun bahasa Indonesia. Sebuah komunitas dengan nama Pelajar Kawruh Jiwa pun secara rutin mengadakan pertemuan untuk menghayati dan mempelajari wejangan-wejangan beliau. Warisan pemikiran yang ditinggalkannya sangat berharga khususnya bagi jiwa-jiwa yang mengupayakan kebebasan dan kebahagiaan.



Berita Terkait